Syahdan, di sebuah negara di Selatan Benua Amerika, sekitar lima tahun lalu, tepatnya pada Oktober 2019, pemerintah Chili mengumumkan kenaikan tarif metro (kereta bawah tanah) yang membelah ibu kotanya, Santiago, sebesar 30 peso Chili atau sekitar Rp 500 pada jam sibuk.Â
Bayangkan hanya Rp500, kenaikan yang terbilang tak terlalu signifikan sebenarnya, namun ternyata kenaikan ini dianggap tak kecil, alih-alih memberatkan bagi banyak warga, terutama pelajar dan pekerja berpenghasilan rendah yang sangat bergantung pada transportasi publik.
Mengutip sejumlah sumber informasi yang saya dapatkan, ada sekitar 2,2 juta orang setiap hari yang menggunakan Metro ini.
Dipicu oleh kebijakan kenaikan tarif Metro yang merupakan tulang punggung transportasi umum di Ibu Kota Chili itu (di Indonesia mungkin bisa disamakan dengan Kereta Commuterline Jabodetabek), aksi protes mulai muncul yang dilakukan dengan cara "penghindaran" tarif.
Para pelajar menolak membayar tarif baru dengan cara melompati pintu putar di setiap stasiun Metro. Aksi ini kemudian meluas, tak hanya pelajar, para pekerja dan masyarakat lain pun melakukan hal yang sama.
Protes lewat penghindaran bayar ini, kemudian bergulir menjadi demontrasi berjilid-jilid yang terus membesar bak bola salju dari waktu ke waktu.
Dan yang dituntut pun melebar, bukan hanya pembatalan kenaikan tarif. Tetapi juga perubahan sosial dan kebijakan ekonomi yang lebih luas.
Isu kenaikan tarif KRL-nya Santiago ini, sepertinya menjadi pintu masuk bagi masyarakat Chili untuk menyampaikan ketidakpuasannya terhadap berbagai kebijakan ekonomi Pemerintah Chili yang terkesan menganatirikan kelas menengah.
Kemarahan masyarakat Chili kian menggelegak, terbukti dengan imbuhan kekerasan dalam demostrasi di berbagai kota di Chili, fasilitas publik dan kantor-kantor pemerintah dirusak, bentrok dengan petugas keamanan tak terhindarkan, korban luka-luka mulai berjatuhan.
Puncaknya, terjadi pada 25 oktober 2019, di mana lebih dari satu juta orang turun ke jalan di Santiago dengan tuntutan yang lebih luas lagi, mencakup, reformasi konstitusi, peningkatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta pengurangan ketimpangan sosial, bahkan hingga menuntut mundur Presiden Sebastian Pinera yang saat itu memasuki periode ke-2 Pemerintahannya.
Untuk merespon kemarahan massa yang kian membesar tak tertahankan, Pemerintah Chili memberlakukan keadaan darurat dan mengerahkan militer ke jalan-jalan.
Respon lain dari Pemerintah Chili untuk meredam aksi massa adalah dengan mengikuti sebagian besar poin-poin tuntutan masyarakat, yaitu membatalkan kenaikan tarif Metro, memulai proses penyusunan konstitusi baru untuk menggantikan konstitusi era Kediktatoran Augusto Pinochet yang dianggap tidak adil, melakukan perombakan kabinet besar-besaran serta menjanjikan penyelenggaraan Pemilu yang dipercepat, dengan janji Presiden Pinera tak maju lagi sebagai kandidat Presiden dalam Pemilu yang kemudian berlangsung pada 2021.
Reaksi kemarahan rakyat Chili yang bermula dari protes mereka terhadap kenaikan tarif Kereta Metro, menjadi titik balik penting dalam sejarah Chili, yang memicu perubahan sosial dan politik yang signifikan.
Padahal, di masa itu kondisi politik dan ekonomi Chili lagi bagus-bagusnya seperti yang tercermin dalam berbagai indikator ekonomi kunci saat itu,Â
Geliat ekonomi di Chili relatif stabil dengan rata-rata pertumbuhan PDB sekitar 3% per tahun dalam beberapa tahun terakhir sebelum protes.
Tingkat kemiskinan di Chili terus menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, menjadi hanya 5-6 persen, salah satu yang terendah di Amerika Latin.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Chili termasuk yang tertinggi di Amerika Latin, menunjukkan kemajuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan standar hidup.
Tingkat perkapita Chili pada masa itu luar biasa tingga di angka 14.551 US Dollar, jauh lebih tinggi dari Indonesia dan salah satu yang tertinggi di kawasan Amerika Selatan.
Sayangnya, indikator ekonomi positif Chili ini tidak mencerminkan distribusi kekayaan yang sebenarnya di dalam masyarakat.
Meskipun Chili memiliki PDB per kapita yang relatif tinggi, negara ini juga mengalami tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi. Gini coefficient, yang mengukur ketimpangan pendapatan, berada di sekitar 0,45, menunjukkan distribusi kekayaan yang tidak merata.
Tingkat utang rumah tangga di Chili juga  relatif tinggi, terutama untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Hal ini menjadi beban berat bagi banyak keluarga kelas menengah, yang jumlahnya mayoritas.
Di sisi lain, kelas menengah pun merasakan biaya hidup mereka semakin membengkak, terutama di kota-kota besar seperti Santiago, membuat banyak warga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Chilean Paradox
Seluruh rangkaian "kisah" gonjang ganjing sosial, ekonomi dan politik di negara bernama Chili ini, oleh Sebastian Edwards, Profesor Ekonomi di UCLA Anderson School of Management yang juga ekonom Chili disebut sebagai fenomena "Chiliean Paradox" seperti yang tertuang dalam tulisannya yang berjudul "The Chilean Paradox: High Growth, Low Inequality, and the Rise of the Middle Class"
Dalam tulisannya, Edwards menyoroti fenomena unik di Chili di mana negara tersebut berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mengurangi tingkat kemiskinan secara signifikan, namun pada saat yang sama menghadapi ketidakpuasan sosial yang meluas, terutama di kalangan kelas menengah.
Edwards menjelaskan bahwa meskipun Chili telah membuat kemajuan ekonomi yang luar biasa, masih ada ketimpangan yang signifikan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap layanan publik berkualitas.Â
Hal ini menciptakan rasa frustrasi dan ketidakpuasan di kalangan kelas menengah yang merasa tertinggal dan tidak merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
Nasib Kelas Menengah Indonesia
Nah fenomena "Chilean Paradox" yang intinya memperlakukan kelas menengah secara "tidak senonoh" ini, pembahasannya di bawa dalam konteks Indonesia oleh ekonom Senior Universitas Indonesia Muhammad Chatib Basri atau yang biasa disebut Dede ini.
Dalam beberapa kesempatan, terutama dalam berbagai tulisannya di Harian Kompas, Dede memang sering mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk lebih memerhatikan kelas menengah, agar situasi di Chili tak terjadi di Indonesia.
Apalagi saat ini memang kondisi kelas menengah Indonesia menghadapi situasi yang sangat berat, seiring kondisi ekonomi yang masih belum sepenuhnya stabil.
Seperti di Chili, Pemerintah Indonesia belakangan lebih banyak memberi atensi pada kelompok miskin dan sangat miskin dengan guyuran berbagai bantuan sosial dan golongan ekonomi atas dengan berbagai insentif perpajakan sementara kelas menengah terabaikan.
Mereka harus menanggung akibat kondisi perekonomian yang tidak stabil itu "sendirian" nyaris tanpa bantuan dari Pemerintah alhasil mereka hidup dalam kondisi megap-megap.
Makanya tak heran jika kemudian dalam lima tahun terakhir jumlah kelas menengah di Indonesia, setiap tahunnya terus mengalami penurunan yang sangat signifikan.
Sebelum lanjut, saya akan memaparkan siapa sih kelas menengah ini.
Menurut Bank Dunia, kelas menengah Indonesia adalah mereka yang memiliki rentang pengeluaran 3,5 kali hingga 17 kali di atas garis kemiskinan.
Sementara aspiring middle class atau calon kelas menengah ialah mereka yang memiliki range pengeluaran antara  1,5 kali sampai 3,5 kali di atas garis kemiskinan. dengan angka garis kemiskinan pada tahun 2024 sebesar Rp550.000.
Mengacu pada standar tersebut, menurut catatan Badan Pusat Statistik(BPS), pada 2019 jumlah penduduk kelas menengah Indonesia mencapai 57,33 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2024 jumlahnya hanya sebesar 47,85 juta jiwa, turun sekitar 9,48 juta jiwa.
Lantas kemana hilangnya mereka, naik kelas kah? tentu tidak, kebanyakan dari mereka turun kelas menjadi aspiring middle class hal itu terbukti dengan kenaikan jumlah di kelompok ini menjadi 137,50 juta jiwa.Â
Jadi setengah dari penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa tersebut adalah calon kelas menengah yang memiliki kerentanan masuk ke jurang kemiskinan hanya dengan sekali "goyang".
Dengan demikian sudah sepantasnya Pemerintah memperluas cakupan perlindungan sosial pada kelompok ini, bukan terus menerus dihajar dengan berbagai kenaikan tarif.
Sebut saja misalnya tentang kebijakan pemberlakuan potongan gaji untuk iuran Tapera, meskipun tak jadi diberlakukan tapi belum dibatalkan, yang sudah pasti adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai berlaku tahun 2025 mendatang.
Tarif KRL Berbasis NIK, Beban Baru Kelas MenengahÂ
Eh di tengah beratnya tekanan ekonomi itu, muncul lagi wacana perubahan pentarifan KRL Jabodetabek dengan basis Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Seperti yang ditulis dalam Dokumen Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025.
Meskipun tujuannya adalah agar subsidi tepar sasaran untuk efesiensi anggaran, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketidakadilan baru bagi kelas menengah yang menjadi pengguna mayoritas KRL jabodetabek.
Bagaimana mungkin penumpang dengan layanan dan jarak tempuh yang sama dikenakan tarif berbeda hanya karena perbedaan data NIK? Belum lagi urusan implementasinya yang sangat sulit dilakukan.
Come on, semua kebijakan itu jelas menunjukkan yang akan kena hajar adalah kelas menengah dan calon kelas menengah, kelompok penyumbang terbesar pertumbuhan PDB Indonesia, dan mayoritas penduduk Indonesia.
Mau sampai di mana "nginjek-nginjek" kelas menengah ini? Sampai mereka terjerembab ke jurang kemiskinan?
Ingat kisah dari Chili yang saya paparkan di atas, kenaikan tarif Metro atau di Indonesia bisa disamakan dengan KRL, bisa memicu social unrest yang mengubah kondisi sosial, ekonomi dan politik di Chili. Apalagi situasi pendukungnya di Chili saat itu, tak jauh berbeda dengan Indonesia saat ini.
Jadi, inikah 'hadiah' bagi kelas menengah Indonesia yang gigih berjuang, Â tarif KRL berdasarkan NIK, seolah-olah status sosial bisa dibaca dari 16 digit angka.Â
Sementara itu, para pembuat kebijakan mungkin asyik berdiskusi di ruangan ber-AC, tak merasakan bagaimana rasanya berdesakan di KRL, menghitung setiap rupiah demi bertahan hidup.Â
Semoga saja, 'Chilean Paradox' yang dulu hanya jadi cerita di negeri seberang, tidak menjadi kenyataan pahit di negeri sendiri. Karena ketika kelas menengah tumbang, negeri ini pun akan oleng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H