" Untuk pelaku utama, tidak bisa JC. Ini saya luruskan. Di undang-undang tidak bisa" tambah Jampidum.
Aturan yang disebut oleh Jampidum tadi merujuk pada Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-Undang nomor 4 tahun 2011 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyatakan bahwa JC tidak berlaku bagi tindak pidana pembunuhan berencana.
Selain itu pihak Kejaksaan juga merujuk pada keyakinan mereka bahwa Richard Eliezer bukanlah penguak fakta, menurut pendapat Jaksa penguak fakta adalah Keluarga Brigadir Josua.
Tentu saja alasan Jaksa tersebut, dibantah beramai-ramai oleh sejumlah pihak terutama oleh LPSK. Melalui Edwin Partogi, Wakil Ketua LPSK meminta Kejagung untuk membaca kembali Undang-Undang perlindungan Saksi dan Korban.
"Baca saja Pasal 28 ayat 2 huruf a. Lalu, lihat (juga) pasal 5 ayat 2 dan penjelasannya," ujar Edwin, seperti dilansir Kompas.Com. Kamis (01/01/2023).
Dalam penjelasannya Partogi mengatakan bahwa karena sudah ditetapkan oleh LPSK Â sebagai JC, terlepas dari apapun tindak pidananya maka yang bersangkutan layak menyandang status JC.
Maka dengan statusnya sebagai JC, pihak LPSK berpendapat, sesuai aturan Richard Eliezer  sangat layak untuk dituntut lebih rendah dari seluruh terdakwa lainnya.
Silang pendapat antar dua institusi Pemerintah ini menunjukan kurangnya koordinasi dan sosialisasi serta pemahaman atas sebuah aturan dan kebijakan.
Apakah dengan vonis hakim yang jauh lebih ringan dibandingkan tutntutan JPU terhadap Richard Eliezer ini menunjukan pihak Kejaksaan salah memahami aturan tersebut?
Menurut pemahaman saya, tak ada yang salah dan benar dalam hal ini, hanya saja ada perbedaan pemahaman dan penafsiran terkait peran Richard Eliezer sebagai penguak fakta dan JC.
Mungkin ke depannya koordinasi dan kesamaan pemahaman harus lebih sering dibangun antar institusi masyarakat agar output-nya bisa selaras.