Rangkaian sidang  putusan perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pekan ini, ditutup dengan vonis yang dijatuhkan kepada Richard Eliezer Pudihang Lumiu Ak.a Bharada E.
Dalam persidangan hari ini, Rabu (15/02/2023) yang baru saja rampung, Wahyu Iman Santoso selaku Ketua Majelis Hakim menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Bharada E.
"Menjatuhkan Pidana selama 1, tahun dan 6 bulan penjara kepada terdakwa."ujar Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso, seperti yang saksikan lewat siaran langsung Kompas.TV.
Majelis hakim berkeyakinan bahwa Richard Eliezer secara sah dan meyakinkan dengan bersama-sama melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap korban Brigadir Josua, untuk itu ia melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 (ayat) 1 ke-1 KUHP.Â
Namun demikian, dalam keputusannya tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan status Richard Eliezer sebagai justice collabolator, penguak fakta kebenaran ditengah ancaman sejumlah pihak
Hal-hal yang memberatkan Richard Eliezer dalam kasus ini menurut Majelis Hakim ialah hubungan yang baik dengan korban  namun masih tetap ia melakukan penembakan.
Sementara hal-hal yang meringankan adalah terdakwa merupakan penguak kebenaran, masih berusia muda, telah bertobat dan berjanji tak akan mengulangi perbuatan salahnya, serta tak pernah dihukum sebelumnya.
Vonis terhadap Richard Eliezer ini jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan sebelumnya yang meminta hakim untuk menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara.
Satu hal menarik yang bisa ditelaah dari rangkaian vonis para terdakwa dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir Josua adalah seluruh putusan hakim seolah berbanding terbalik dengan tuntutan Jaksa.
Ferdy Sambo dituntut JPU dengan hukuman seumur hidup, dalam persidangan Senin (13/02/2023) awal pekan ini, divonis Majelis Hakim lebih tinggi oleh hakim dengan putusan hukuman mati.
Pada hari yang sama, Putri Chandrawathi divonis hakim 20 tahun penjara, Â putusan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan JPU yang hanya 8 tahun penjara.
Selanjutnya, dalam persidangan yang berlangsung Selasa (14/02/2023) kemarin, Kuat Ma'ruf  divonis hakim hampir dua kali lebih banyak  dari tuntutan JPU yang selama 8 tahun penjara, dengan putusan hukum 15 tahun penjara.
Demikian pula dengan terdakwa lainnya, Rizky Rizal Wibowo yang dituntut JPU 8 tahun penjara, divonis hakim 13 tahun penjara pada hari yang sama.
Sementara, Richard Eliezer yang dituntut Jaksa 12 tahun penjara, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga terdakwa lainnya di luar Ferdy Sambo yang dianggap sebagai intelectual dader, justru divonis 1 tahun 6 bulan jauh lebih rendah oleh majelis hakim.
Dalam hal tuntutan JPU pada persidangan beberapa pekan lalu, sebagian besar publik menganggap kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Jika disarikan dari ramainya perbincangan netizen di media sosial, rasa ketidakadilan publik terutama diarahkan pada ringannya tuntutan hukum Jaksa terhadap Putri Candrawathi, padahal istri dari Ferdy Sambo inilah yang dianggap sebagai pemicu terjadinya peristiwa yang menghilangkan nyawa seorang manusia bernama Nofriansyah Josua Hutabarat.
Di lain pihak, Richard Eliezer dituntut JPU 12 tahun lebih tinggi 50 persen dibandingkan tuntutan terhadap Putri Candrawathi. Padahal Richard merupakan "sang penguak kebenaran,' justice collaborator, tanpa kejujurannya kasus pembunuhan berencana ini berpotensi menjadi dark number, bahkan JPU menjadikan kesaksian Richard sebagai jangkar dari kontruksi tuntutan yang mereka bangun dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Menanggapi keresahan masyarakat tersebut, Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana, tuntutan 12 tahun penjara untuk Richard Eliezer sudah sesuai aturan.
"Dalam menentukan tinggi rendahnya tuntutan pidana ada aturannya. Itu lah yang saya pakai, saya mengendalikan itu. Ada aturannya, bukan kita asal-asalan. Ini proses penuntutan dilaksanakan secara arif dan bijaksana," ujar Fadil, seperti yang saya kutip dari Tempo.co.
Pertimbangan Jaksa didasarkan pada sisi pelaku, korban, hingga peran masing-masing terdakwa. Selain melihat persamaan niat dan perbedaan peran masing-masing terdakwa yang terungkap di pengadilan, serta melihat latar belakang terdakwa dan rasa keadilan di tengah masyarakat.
Hal lain yang menarik perhatian terkait tuntutan JPU terhadap Richard Eliezer ini adalah, dalam menetapkan besaran tuntutannya Jaksa tak memasukan status Richard sebagai justice collaborator seperti yang telah ditetapkan sebelum persidangan dimulai oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Jaksa berpendapat, Richard Eliezer tidak bisa menjadi justice collaborator (JC) karena status hukumnya sebagai eksekutor sekaligus pelaku utama pembunuhan berencana.
" Untuk pelaku utama, tidak bisa JC. Ini saya luruskan. Di undang-undang tidak bisa" tambah Jampidum.
Aturan yang disebut oleh Jampidum tadi merujuk pada Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-Undang nomor 4 tahun 2011 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyatakan bahwa JC tidak berlaku bagi tindak pidana pembunuhan berencana.
Selain itu pihak Kejaksaan juga merujuk pada keyakinan mereka bahwa Richard Eliezer bukanlah penguak fakta, menurut pendapat Jaksa penguak fakta adalah Keluarga Brigadir Josua.
Tentu saja alasan Jaksa tersebut, dibantah beramai-ramai oleh sejumlah pihak terutama oleh LPSK. Melalui Edwin Partogi, Wakil Ketua LPSK meminta Kejagung untuk membaca kembali Undang-Undang perlindungan Saksi dan Korban.
"Baca saja Pasal 28 ayat 2 huruf a. Lalu, lihat (juga) pasal 5 ayat 2 dan penjelasannya," ujar Edwin, seperti dilansir Kompas.Com. Kamis (01/01/2023).
Dalam penjelasannya Partogi mengatakan bahwa karena sudah ditetapkan oleh LPSK Â sebagai JC, terlepas dari apapun tindak pidananya maka yang bersangkutan layak menyandang status JC.
Maka dengan statusnya sebagai JC, pihak LPSK berpendapat, sesuai aturan Richard Eliezer  sangat layak untuk dituntut lebih rendah dari seluruh terdakwa lainnya.
Silang pendapat antar dua institusi Pemerintah ini menunjukan kurangnya koordinasi dan sosialisasi serta pemahaman atas sebuah aturan dan kebijakan.
Apakah dengan vonis hakim yang jauh lebih ringan dibandingkan tutntutan JPU terhadap Richard Eliezer ini menunjukan pihak Kejaksaan salah memahami aturan tersebut?
Menurut pemahaman saya, tak ada yang salah dan benar dalam hal ini, hanya saja ada perbedaan pemahaman dan penafsiran terkait peran Richard Eliezer sebagai penguak fakta dan JC.
Mungkin ke depannya koordinasi dan kesamaan pemahaman harus lebih sering dibangun antar institusi masyarakat agar output-nya bisa selaras.
Apakah rangkaian vonis hakim terhadap para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Josua tersebut sudah memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat?
Keadilan itu nisbi, setiap orang bisa merasakan dan menerjemahkannya menurut sudut pandang kepentingan mereka masing-masing. Â Berkeadilan menurut korban dan masyarakat belum tentu juga dirasakan oleh pelaku dan sebagian masyarakat lain.
Karena Hukum itu tidak sama dengan keadilan, keadilan adalah sebuah ide tentang kesempurnaan, sementara hukum hanyalah alat untuk mendapatkan keadilan.
Hukum itu tentang fakta, sementara keadilan itu abstrak.Â
Dalam konteks perkara Pembunuhan berencana Brigadir Josua yang melibatkan begitu banyak pihak, andai ada yang merasa hukum yang dimanifestasikan dengan vonis hakim tak dirasakan berkeadilan, masih ada upaya hukum lanjutan yang dapat dipergunakan, meskipun pada akhirnya keadilan yang hakiki hanyalah miliki Tuhan yang Maha Adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H