Saat itu, Bank Indonesia masih masuk dalam kabinet, sebelum terbitnya undang-undang bank sentral tahun 1968 yang mengatur kedudukan dan tugas BI sebagai bank sentral
Sejak masuk kabinet inilah laku lancung Jusuf, perlahan mulai terkuak, ia disebutkan gemar main perempuan.
Jika  mengacu pada putusan kasasi kasusnya, seperti dilansir website Mahkamah Agung, salah satu dakwaan jaksa dalam menuntut Jusuf adalah lantaran ia memiliki 6 orang istri, karena pada saat sidang dilangsungkan hal tersebut melanggar undang-undang.
Itu yang resmi, menurut Historia.id, selain 6 istri Jusuf pun masih memiliki banyak perempuan simpanan lain.Â
Semuanya diberi penghidupan yang cukup mewah pada masa itu. Malangnya, yang digunakan untuk membiayai semuanya itu adalah uang negara.
Pada saat di sidang terungkap bahwa Jusuf Muda Dalam dituduh merugikan uang negara sebesar Rp. 97,3 miliar, jumlah yang luar biasa besar pada masa itu.
JPU mengajukan 3 dakwaan lain selain memiliki enam 6 istri pada Jusuf, ia dianggap telah melakukan tindakan subversif, korupsi dalam pemberian kredit impor secara serampangan menyebabkan insolvensi pembayaran internasional Indonesia, dan memiliki senjata api.
Atas dasar 4 dakwaan ini Jusuf dituntut JPU hukuman mati, dan tuntutan tersebut dikabulkan hakim yang memvonis Jusuf Muda Dalam dengan vonis mati pada 1966.
Meskipun demikian, Jusuf tak pernah menemui algojo hukuman matinya, lantaran ia keburu meninggal karena sakit pada tahun 1976 sebelum hukuman mati dilaksanakan.
Vonis mati hakim bagi Jusuf Muda Dalam ini menjadi vonis mati satu-satunya yang pernah diputuskan hakim untuk kasus korupsi sepanjang sejarah Indonesia pasca kemerdekaan hingga saat ini.
Terdakwa korupsi kedua yang dituntut JPU dengan hukuman mati adalah Ahmad Sidik Maulady Iskandar Dinata alias Dicky Iskandar Dinata yang menjadi dalang utama kasus Letter of Credit (LC) fiktif Bank BNI yang heboh pada 2005/2006 lalu.