Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukuman Mati bagi Koruptor di Indonesia, Kilas Balik dan Menakar Efek Jeranya

10 Desember 2021   11:06 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:24 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Heru Hidayat terpidana kasus Jiwasraya dan terdakwa kasus dugaan korupsi Asabri, dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung pada lanjutan sidang Tindak Pidana Korupsi pada Selasa (07/12/21).

Selain itu Heru pun dituntut membayar uang ganti rugi dengan jumlah cukup fantastis dan mungkin menjadi uang pengganti terbesar sepanjang sejarah hukum Indonesia selama ini yakni sebesar Rp.12,6 triliun.

Alasan JPU menuntut mati Heru lantaran terdakwa koruptor itu mengulang tindak pidana yang sama setelah sebelumnya terlibat sebagai salah satu pelaku utama  dalam menggarong Perusahaan Asuransi milik negara yang lain, PT. Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara dalam jumlah raksasa.

Pasca Jokowi memerintah, ini lah kali pertama seorang terdakwa kasus korupsi dituntut dengan hukuman mati.

Sepanjang sejarah berdirinya Republik ini tuntutan mati dalam kasus korupsi termasuk kasus Heru ini baru tiga kali terjadi.

Pertama pada masa perbatasan  Orde Lama dan Orde Baru, adalah Jusuf Muda Dalam yang menurut sejumlah referensi sejarah jabatan terakhirnya adalah Menteri urusan Bank Sentral periode tahun 1963-1966.

Ia menggangsir uang negara di jaman Orde Lama saat Soekarno berkuasa, tetapi diadili dan dituntut hukuman mati di awal Orde Baru saat Soeharto mulai berkuasa.

Jusuf Muda Dalam memulai karier politiknya di Indonesia pada tahun 1947 sebagai salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) wakil dari Partai Komunis Indonesia, sepulang bersekolah di  Sekolah Dagang di Rotterdam Belanda.

Tak lama ia bercokol menjadi anggota PKI, lantaran alasan merasa tidak cocok lagi secara politik, Jusuf pindah haluan menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).

Setelah itu, kariernya melesat ia menjadi Pengurus Pusat PNI, anggota parlemen sekaligus menjadi direktur hingga kemudian diangkat menjadi Direktur Utama Bank Negara Indonesia.

Puncaknya saat ia diangkat menjadi Menteri urusan Bank Sentral merangkap Gubernur Bank Indonesia pada 1963.

Saat itu, Bank Indonesia masih masuk dalam kabinet, sebelum terbitnya undang-undang bank sentral tahun 1968 yang mengatur kedudukan dan tugas BI sebagai bank sentral

Sejak masuk kabinet inilah laku lancung Jusuf, perlahan mulai terkuak, ia disebutkan gemar main perempuan.

Jika  mengacu pada putusan kasasi kasusnya, seperti dilansir website Mahkamah Agung, salah satu dakwaan jaksa dalam menuntut Jusuf adalah lantaran ia memiliki 6 orang istri, karena pada saat sidang dilangsungkan hal tersebut melanggar undang-undang.

Itu yang resmi, menurut Historia.id, selain 6 istri Jusuf pun masih memiliki banyak perempuan simpanan lain. 

Semuanya diberi penghidupan yang cukup mewah pada masa itu. Malangnya, yang digunakan untuk membiayai semuanya itu adalah uang negara.

Pada saat di sidang terungkap bahwa Jusuf Muda Dalam dituduh merugikan uang negara sebesar Rp. 97,3 miliar, jumlah yang luar biasa besar pada masa itu.

JPU mengajukan 3 dakwaan lain selain memiliki enam 6 istri pada Jusuf, ia dianggap telah melakukan tindakan subversif, korupsi dalam pemberian kredit impor secara serampangan menyebabkan insolvensi pembayaran internasional Indonesia, dan memiliki senjata api.

Atas dasar 4 dakwaan ini Jusuf dituntut JPU hukuman mati, dan tuntutan tersebut dikabulkan hakim yang memvonis Jusuf Muda Dalam dengan vonis mati pada 1966.

Meskipun demikian, Jusuf tak pernah menemui algojo hukuman matinya, lantaran ia keburu meninggal karena sakit pada tahun 1976 sebelum hukuman mati dilaksanakan.

Vonis mati hakim bagi Jusuf Muda Dalam ini menjadi vonis mati satu-satunya yang pernah diputuskan hakim untuk kasus korupsi sepanjang sejarah Indonesia pasca kemerdekaan hingga saat ini.

Terdakwa korupsi kedua yang dituntut JPU dengan hukuman mati adalah Ahmad Sidik Maulady Iskandar Dinata alias Dicky Iskandar Dinata yang menjadi dalang utama kasus Letter of Credit (LC) fiktif Bank BNI yang heboh pada 2005/2006 lalu.

Dicky yang merupakan Ayahanda dari produser film Nia Dinata ini dituntut hukuman mati oleh JPU yang dipimpin oleh Sahat Sihombing dalam persidangan di PN Jakarta Selatan pada 6 Juni 2006.

JPU mengenakan tuntutan maksimal yakni hukuman mati dalam perkara tersebut dengan menggunakan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pertimbangan Jaksa penuntut ketika itu, Dicky memiliki peran sangat besar dalam pembobolan Bank BNI senilai Rp1,7 triliun. ia duduk sebagai Dirut PT. Brocolin Indonesia, yang menerima kucuran dana hasil pembobolan Bank BNI sebesar Rp. 49,2 miliar dan US$ 2,99 juta dari pencairan L/C fiktif PT. Gramarindo Group pada Bank BNI Cabang Kebayoran Baru.

Alasan lain menuntut hukuman mati Dicky, lantaran Dicky merupakan residivis dalam perkara korupsi di Bank Duta. Dalam perkara tersebut Dicky di vonis hukuman 8 tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 800 miliar.

Uang pengganti ini hingga saat ini belum di bayar oleh yang bersangkutan.

Namun, tuntutan JPU tersebut tak dikabulkan oleh Majelis Hakim yang dipimpin Efran Basyuning, ia tak sependapat dengan Jaksa. Hakim lebih memilih mengenakan Pasal 2 ayat 1 UU nomor 31/1999 yang ancaman hukuman maksimalnya 20 tahun penjara atau seumur hidup.

Hakim kemudian menjatuhkan vonis 20 tahun penjara dan membayar denda  sebesar Rp. 500 juta subsider kurungan 5 bulan, bagi Dicky Iskandar Dinata.

Dalam, kasus L/C fiktif BNI ini, hukuman tertinggi justru dijatuhkan pada Adrian Woworuntu, ia dianggap sebagai otak dari perkara pembobolan ini dan di ganjar hukuman seumur hidup.

Nah, dalam kasus Heru Hidayat yang juga dituntut hukuman mati dalam kasus ASABRI,pihak  JPU juga menggunakan kontruksi hukum yang sebangun dengan kasus Dicky Iskandar Dinata yakni  menggunakan Pasal 2 ayat 2 UU nomor 31/199 yang menyatakan

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Pasal ini menyebutkan “keadaan tertentu”, keadaan yang dimaksud adalah ketika bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana hukuman mati."

Pun dengan alasan lain yang dijadikan sebagai dasar penguat tuntutan mati oleh JPU pun serupa dengan alasan yang digunakan Jaksa dalam persidangan Dicky Iskandar Dinata, yakni karena Heru Hidayat telah melakukan kejahatan korupsi yang sama secara berulang.

Alasan ini lah yang kemudian menjadi polemik karena dianggap tidak memenuhi syarat sebagai dasar tuntutan hukuman mati pada Heru Hidayat seperti yang diungkapkan oleh Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa seperti yang saya kutip dari Bisnis.com.

"Pengulangan tindak pidana atau recidive pada dasarnya adalah keadaan yg memperberat. Makna recidive atau pengulangan apabila terdakwa sebelumnya telah divonis bersalah dan telah menjalani sebagian atau seluruh pidananya," ujar Eva.

Eva menambahkan bahwa dalam perkara Heru ini, bukanlah pengulangan tetapi perbarengan. Adapun syarat pengulangan tertulis dalam Pasal 348-349 KUHP.

Terlepas dari silang pendapat kontruksi hukumnya, Hukuman mati memang selalu memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat karena menyangkut Hak Azasi Manusia (HAM).

Sejumlah penggiat HAM yang menolak hukuman mati menjadikan hak hidup seseorang sebagai sesuatu yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebagai catatan utamanya.

Selain itu, untuk kasus korupsi hingga sejauh ini hukuman mati yang dijatuhkan secara ilmiah belum mampu dibuktikan menimbulkan efek jera bagi kasus-kasus korupsi.

Apalagi jika perkara itu terjadi di negara yang penegakan hukumnya masih banyak pat gulipat atau error seperti Indonesia. 

Mungkin, hukuman mati bisa efektif menimbulkan efek jera bagi koruptor jika seluruh kontruksi hukumnya seperti yang dilakukan oleh pemerintah China.

Menurut Amnesty International, ribuan orang di hukum mati di China setiap tahunnya termasuk untuk korupsi. Dan menurut riset Transperancy Internasional 84 persen responden penduduk China yang diteliti menganggap Pemerintah Xi Jinping berhasil mengatasi korupsi.

Kendati demikian, Indeks Korupsi di China yang dirilir Transparancy International tak menunjukan perbaikan, dari tahun 2013 hingga 2020masih berada diperingkat 80.

Mungkin bisa jadi hukuman mati bagi koruptor memang efektif di China, lantaran sistem hukum dan pemerintahannya menunjang untuk melakukan itu, tapi belum tentu bisa dilakukan di negara lain, apalagi Indonesia.

Masalah pemberantasan korupsi itu tidak sederhana apalagi jika dikaitkan dengan moral dan etika sebuah bangsa. Saya lebih setuju apabila para pelaku itu dimiskinkan saja sampai semiskin-miskinnya.

Karena korupsi itu kan pada dasarnya bentuk kejahatan bermotif ekonomi, ya rampas kembali saja aset yang berasal dari hasil kejahatannya tersebut, bila perlu dengan pembuktian terbalik.

Apakah pemiskinan koruptor tersebut akan efektif dalam pemberantasan korupsi, belum tahu juga. Tetapi logikanya seseorang melakukan korupsi itu karena alasan keserakahan mereka ingin hidup nyaman, kaya raya dengan cara yang tidak sah.

Untuk itulah mungkin jika ancaman hukumannya dimiskinkan akan lebih efektif dibandingkan hukuman mati, orang serakah akan harta benda kan lebih takut kehilangan kekayaannya dibanding mati.

Sayangnya  RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana tak kunjung jua disahkan DPR, padahal itu menjadi salah satu pilar hukum yang penting dalam pemberantasan korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun