Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman saya mengurus Ayah yang mengalami gagal ginjal mulai dari tahun 2015 akhir hingga melakukan transplantasi ginjal pada pertengahan mendekati akhir 2016 lalu.
Mungkin pengalaman yang saya alami ini, tak banyak dialami oleh orang lain karena pelaksanaan transplantasi ginjal atau organ tubuh di Indonesia tak banyak dilakukan.
Karena selain biayanya sangat besar, rumit dan prosesnya panjang. Hanya Rumah Sakit tertentu saja di Indonesia yang memiliki kapabilitas untuk melakukannya.
Dan saya berkesempatan mengetahui dan mengurus proses tersebut secara detil langsung di TKP. Semoga pengalaman yang saya bagi ini bisa bermanfaat bagi yang membaca.
Ok.. Let's Begin.
Beliau dan kita semua anak mantunya tadinya tak pernah tahu bahwa ada masalah di ginjalnya karena sebelumnya tak pernah menunjukan gejala apapun dan tentu saja karena pengetahuan kami tentang itu sangat terbatas, sehingga tak mampu mendeteksinya.
Ia memang sejak lama memiliki riwayat penyakit hipertensi atau dalam istilah awam darah tinggi, yang baru saya tahu kemudian bahwa hipertensi ini lah yang menjadi pemicu rusaknya ginjal.
Gejala awalnya, mulai terasa sekitar bulan November 5 tahun lalu, ia mulai sesak, untuk berjalan dari kamar ke ruang keluarga saja ia seperti kita lari cepat 100 m, terengah-engah. Kemudian beberapa bagian tubuhnya mulai membengkak terutama di bagian wajah dan kaki.
Kami semua waktu itu kemudian memaksa ayah untuk harus pergi ke Dokter, ia harus dipaksa setiap mau ke dokter dan selalu terjadi perdebatan panjang, sampai akhirnya ia bersedia.
Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, diagnosis dokter pun keluar dan menyatakan ayah "gagal ginjal". Kedua ginjalnya sudah rusak fungsinya hanya sekitar 15 persen dari kondisi normal.
Kami semua prihatin, sedih tak terkira saat itu, walaupun bagi saya tak mengejutkan karena dengan gejala seperti itu besar kemungkinan ya ada masalah di ginjalnya.
Pengetahuan itu saya dapatkan setelah melakukan riset sederhana lewat Googling dan tanya teman-teman yang berprofesi sebagai dokter.
Dokter kemudian menyarankan untuk segera mempersiapkan diri untuk melakukan hemodialisis atau lebil dikenal dengan cuci darah.
Bagi para pengidap gagal ginjal, hemodialisis adalah sebuah proses yang harus dilakukan agar bisa tetap hidup dalam kondisi yang memungkinkan untuk beraktivitas.
Menurut beberapa litelatur yang saya baca, gagal ginjal yang terjadi di Indonesia kebanyakan merupakan ekses dari penyakit lain, seperti diabetes, hipertensi, atau asam urat yang sudah sangat akut.Â
Meskipun dalam beberapa kasus ada juga yang diakibatkan oleh kerusakan ginjal itu sendiri seperti karena peradangan pada ginjal, dan kista pada ginjal.
Indikasi yang kasat mata adalah pembengkakan dibeberapa bagian tubuh akibat ginjal tak mampu membuang kelebihan cairan dalam tubuh.
Ginjal merupakan satu-satunya organ di dalam tubuh yang berfungsi memfilter darah dan berbagai cairan agar tetap bersih, dan tak berubah menjadi malapetaka bagi tubuh.
Jika ginjal gagal berfungsi efeknya darah akan menjadi kotor dan berubah menjadi racun, alhasil tubuh bakal keracunan darah kotor tersebut.
Seperti yang ayah saya rasakan dan alami, gejala yang akan terasa bagi si penderita biasanya berasa gatal-gatal tapi tak jelas sumbernya dari mana, mual, muntah, mudah lelah, sesak nafas yang hebat.Â
Lantas susah buang air kencing yang mengakibatkan penumpukan cairan di beberapa bagian tubuh, seperti perut, pergelangan kaki, bahkan muka. Bagi penderita yang sudah akut untuk berjalan tiga langkah saja akan membuat nafas sesak.
Nah, proses hemodialisis ini adalah mencuci darah agar bisa bersih kembali, fungsi ginjal digantikan oleh mesin hemodialisa.
Intensitas melakukan hemodialisis tergantung pada tingkat keparahan kerusakan ginjalnya, bisa 1 kali seminggu bahkan ada juga yang 3 kali seminggu.
Untuk bisa melakukan hemodialisis biasanya ada kondisi minimal tubuh, artinya sebelum dilakukan hemodialisa darah pasien akan di periksa untuk mengetahui kadar hemoglobin dalam tubuhnya.
Oh iya di awal, saat pertama kali proses hemodialisis dilakukan akan dipasang alat yang dinamakan cimino, untuk mencangkok arteri vena yang dilakukan dengan menyambungkan antara arteri dan vena dengan menambahkan selang sintetis fleksibel, agar memudahkan proses hemodialisis.
Proses hemodialisis ini sangat melelahkan, yang nganternya aja cape apalagi pasiennya. Itu juga yang dirasakan kami sekeluarga, kita bergiliran mengantar ayah jadwal siapa mengantar kapan ditempel di dinding rumah. Jadwal kami harus disesuaikan, apalagi bagi ayah ia benar-benar seperti tersiksa.
Tak lama memang ia menjalani proses hemodialisis, mungkin sekitar 6 bulan. Karena cape harus bolak balik rumah sakit, lantas kondisi yang tidak nyaman pasca hemodialisis serta keinginan sembuh dan beraktivitas kembali dengan normal, akhirnya ia dan kami sekeluarga memutuskan untuk melakukan transplantasi ginjal.
Kami melaksanakannya tak di luar negeri, tapi di Indonesia, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Kencana, setelah saya cari tahu, konon katanya untuk urusan transplantasi ginjal, RSCM Kencana merupakan salah satu yang terbaik di Asia Tenggara.
Proses persiapan melaksanakan transplantasi itu cukup panjang, berkaca pada pengalaman saya bisa sampai 6 bulan. Dan biayanya sangat besar.
Terdapat tiga tahapan dalam melaksanakan transplantasi ginjal. Pra-transplantasi, pelaksanaan transplantasi, dan yang terakhir pasca transplantasi.
Pra-Transplantasi
Saat itu saya bersama ayah mendatangi seorang Dokter bergelar Profesor dari FKM-UI bidang bedah Urologi Prof. DR. Endang namanya, sudah cukup senior. Untuk berkonsultasi dengannya agar dapat memastikan bahwa kondisi ayah saya memungkinkan untuk melakukan transplantasi, mengingat usianya saat itu sudah mencapai 65 tahun.
Setelah di periksa ternyata ayah kondisinya memungkinkan untuk dilakukan transplantasi. Dan kebetulan ada keponakan ayah yang bersedia untuk mendonorkan ginjalnya.
Maka mulailah rangkaian panjang proses pra-tranplantasi dilaksanakan. Setelah kembali memeriksa kondisi ayah, sang pendonor pun dicek kesehatannya, seperti medical check up.
Oh iya gol darah calon pendonor itu sama dengan ayah. Dari awal memang Dokter mensyaratkan calon pendonor harus bergolongan darah sama dengan penerima atau resepien agar bisa ditindak lanjuti, karena jika tak sama akan percuma katanya.
Setelah pendonor dinyatakan sehat, kami menghadap ke salah satu dokter yang mengurus etika dalam melakukan tindakan medis. Semacam komite etik lah atau kalau di perusahaan itu Compliance affair.
Untuk memastikan tak ada transaksi apapun terkait organ tubuh yang akan di donorkan tersebut. Butuh waktu kurang lebih 3 hari mereka melakukan assesment administrasi terhadap sang pendonor ini.
Lumayan ketat sih, pendonor disyaratkan harus berusia diatas 18 tahun, dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, mendapat izin dari keluarga terdekat (suami/istri, orangtua atau anak).
Calon pendonor itu di wawancarai seperti mau melamar kerja, dari wawancara itu lah kemudian Dokter yang melakukan assesment bisa melihat apakah ada unsur transaksi atau tidak.
Seluruh aturan prosedur tranplantasi ini harus sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 mengenai Penyelenggaraan Transplantasi Organ.
Setelah ini oke, calon pendonor masuk dalam tahapan medical assestment untuk memastikan kondisi ginjal pendonor dalam keadaan baik dan dapat diterima oleh tubuh si resepien.
Pemeriksaan medis ini meliputi cek ulang golongan darah, tipe jaringan, crossmatch atau uji silang serta serologi. Intinya dokter harus memastikan bahwa antara si resepien dan pendonor itu harus cocok. Karena jika tidak, akan ada penolakan dari dalam tubuh.
Dan ini waktunya tak sekaligus dalam satu hari, bisa dalam jangka waktu 3 hari sekali setiap tindakan. Nah hal ini lah buat kami lumayan menjadi siksaan karena kami tinggal di Sukabumi, dan ayah tak mau tinggal bahkan untuk sementara di Jakarta. Jadi setiap tindakan kami harus bolak-balik.
Dari seluruh pemeriksaan awal transplantasi berupa pencocokan antara calon pendonor dan respien, hal paling menentukan setelah golongan darah cocok adalah crossmatch, yakni keduanya diambil 3 ampul darah kemudian disilangkan untuk menemukan kecocokan antibodi di tubuh masing-masing, jika pecahnya tak lebih dari 40 persen maka itu bisa dikatakan cocok, dan proses transplan bisa dilanjutkan.
Khusus untuk crossmatch ini, pihak RSCM merujukan pada Rumah Sakit PGI Cikini, karena hanya di rumah sakit inilah proses uji silang itu bisa dilakukan, saat itu masih satu-satunya di Indonesia, entah saat ini.
Nah, bersyukur sekali saat itu antara ayah dan sepupu saya itu cocok, dan hasil crossmatch nya bagus. Setelah itu mulai lah pemeriksaan kondisi tubuh dan kejiwaan masing-masing di lakukan.
Selanjutnya setelah donor dinyatakan match proses transplantasi berlanjut. Prof. Endang sebagai dokter yang bertanggung jawab dan mensupervisi tindakan medis tersebut, membentuk tim Dokter yang terdiri dari Dokter Spesialis Jantung, Paru-Paru, Internis, Gigi, Psikiater, Anestesi, Radiologi, dan terakhir Dokter Bedah Urologi.
Yang kami datangi pertama adalah Dokter Jantung kemudian dilakukan EKG, lantas Dokter spesialis Paru-Paru, setelah itu kami bertemu dengan Psikiater dan diwawancarai serta melakukan psikotest.
Ya, calon pendonor dan resepien sama-sama melakukan psikotest, dengan questioner sebanyak 600 soal yang harus diselesaikan selama 3 jam. Dan itu sangat melelahkan bagi orang tua seperti ayah saya, walau akhirnya saya yang mengerjakan psikotest tersebut.
Yang merepotkan adalah saat pemeriksaan gastronomi (lambung dan usus) serta gigi. Butuh waktu yang sangat panjang untuk dua pemeriksaan ini, butuh waktu sekitar 1,5 bulan.
Kenapa gigi, lambung, dan usus juga harus diperiksa secara detil, untuk memastikan tidak ada potensi infeksi terjadi di dalam tubuh pasca-transplantasi dilakukan.Â
Karena ayah saya atau siapapun penerima donor sesaat sebelum operasi dilakukan, daya tahan tubuhnya akan diturunkan melalui obat-obatan yang akan diberikan.
Maka sebelum operasi dilakukan potensi infeksi harus diminimalkan, Gastroskopi atau endoskopi lambung harus dilakukan untuk memastikan bahwa lambung tak ada masalah, saat itu ketika lambung ayah diperiksa ditemukan beberapa bercak putih yang menandakan ada luka dalam lambung dan itu berpotensi terjadi infeksi.
Maka kemudian kondisi ini harus disembuhkan terlebih dahulu, dengan diberikan beberapa obat lambung, dan akhirnya bisa sembuh dalam jangka waktu 3 minggu.Â
Setelah sembuh kemudian pemeriksaan beralih ke gigi, setelah diperiksa ternyata ada 3 gigi ayah dalam kondisi berlubang, dan ke-tiganya itu harus dicabut, dokter gigi kemudian mencabutnya setiap minggu satu gigi.
Setelah semua pemeriksaan tersebut selesai, seminggu sebelum jadwal operasi transplantasi tiba, dilakukan CT Scan khusus Ginjal. Saat itu kami direkomendasikan melakukan CT scan di Rumah Sakit Abdi Waluyo Menteng, Jakarta Pusat. Karena kualitas Scanning-nya bagus katanya.
Setelah semua pemeriksaan tersebut selesai, persiapan pelaksanaan operasi dilakukan. Secara administrasi 50 persen biaya operasi harus kami selesaikan 2 hari sebelum ayah masuk RSCM.
Kami menyelesaikan seluruh proses pra-transplantasi itu dalam jangka waktu kurang lebih 6 bulan, dihitung mulai dari kami konsultasi awal.
Bagi ayah saya sebagai resepien, harus mulai masuk rumah sakit 5 hari sebelum operasi dilakukan. Selama di rawat beberapa pemeriksaan ulang dilakukan, jantung, paru-paru, gigi, lambung, dan psikologi kembali diperiksa untuk memastikan kondisinya baik-baik saja.
Sementara bagi calon pendonor, ia masuk 3 hari sebelum operasi dilakukan, sama seperti resepien ia di periksa ulang untuk memuktahirkan data.
Pelaksanaan Operasi Transplantasi.
Protokol pelaksanaan operasi mulai dilaksanakan 18 jam sebelum operasi dilakukan, dengan mencukur habis rambut-rambut yang ada di tubuh bagian bawah. Kemudian mandi menggunakan cairan khusus anti septik.
Bagi kami itu benar-benar saat-saat yang menegangkan, semua keluarga sulit tidur. Pukul 8.00 operasi transplantasi itu akan dilaksanakan, jam 7.15 pendonor di bawa ke ruang operasi, setengah jam kemudian barulah ayah di bawa ke ruang operasi.
Operasi itu berlangsung sekitar 6,5 jam, Operasi selesai dilakukan pukul 14.30. Kemudian pada pukul 17.00 pendonor di bawa kembali ke ruang perawatan. Sedangkan resepien di masukan ke ICCU karena pasca operasi mengurus ayah yang merupakan resepien jauh lebih rumit di banding pendonor.
Karena di tubuh resepien sekarang ada benda baru dan harus dipastikan bisa diterima oleh tubuh, dan butuh perlakuan khusus dalam jangka waktu tertentu.
Pasca Transplantasi.
Karena daya tahan tubuh resepien sedang dalam kondisi di turunkan oleh obat-obat yang sengaja diberikan agar organ baru lebih cepat beradaptasi dengan tubuh resepien.
Selama satu bulan penuh harus berada ditempat yang sangat bersih dan dipastikan harus memakai masker dimanapun dia berada, ayah waktu itu menyewa apartemen di sekitar RSCM. Karena harus kontrol setiap minggu, dan perjalanan jauh tak diperkenankan karena kondisi pasca operasi tak memungkinkan itu.
Setelah satu bulan, 3 bulan berikutnya 2 minggu sekali kontrol, 3 bulan berikutnya sampai dengan 1 tahun kontrol harus dilakukan setiap bulan.
Keberhasilan transplantasi ginjal ditentukan pada perawatan keluarga terhadap si pasien, masalah kebersihan harus benar-benar dijaga. Jangan terlalu sering berhubungan atau menerima tamu terlebih dulu.
Jadi treatmentnya itu seperti saat pandemi Covid-19 saat ini, jaga jarak, menggunakan masker dan hindari keramaian.
Karena dengan kondisi imun turun, kuman/virus akan cepat masuk ke dalam tubuh, dan biasanya langsung akan menyerang organ tubuh yang belum sepenuhnya menyatu dalam tubuh, akhirnya infeksi terjadi di ginjal yang baru terpasang, dan gagal ginjal sangat berpotensi terjadi lagi.
Bagi pendonor sih tak terlalu rumit, setelah luka operasinya sembuh ia bisa segera pulang dan kembali beraktivitas normal. Karena pada dasarnya manusia bisa hidup dengan satu ginjal kok.
Semoga pengalaman ini bisa bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H