Mohon tunggu...
icha khouw
icha khouw Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apakah Cinta Bisa Salah?

7 November 2017   20:23 Diperbarui: 7 November 2017   21:11 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kunto's pov***

Sinar mentari mulai memasuki ruang-ruang kosong di kediamanku yang lebih mirip dengan kandang sapi. Tapi seharusnya ku syukuri hal itu, kehangatan keluargaku membuat aku nyaman hidup pada setitik rasa neraka di dunia. Ayam-ayam mulai berkokok, menandakan hari penuh siksaan dimulai. Rasanya ingin ku hilangkan mentari agar siang tak datang dan hari penuh rintihan dan ringisan tak menerpaku.

Ahiya, sebuah keluarga dari bangsa pirang itu akan datang hari ini. Mengingatnya saja membuat aku mual. Kepindahan mereka berarti bertambahlah penderitaan hidupku. Lebih banyak pekerjaan untuk bertahan pada hidup meski kata hidup tidak mencerminkan apa yang aku jalani. Aku ingat jelas kepindahan mereka karna persinggahan mereka dibuat tak jauh dari rumahku.

"Kunto, ayo mangan", teriak ibuku dari dapur.

"Nggih, bu", sahutku.

Cath's pov ***

Sudah sejak lahir aku hidup di daratan timur atau yang lebih sering disebut sebagai Nederlandsch Oost-Indie (Indonesia). Tak heran lagi, bahasa negara itu fasih ku lafalkan. Seharusnya beberapa jam lagi, kapal ayahku berlabuh di dataran Jawa. Tugasnya sebagai pengawas memang mewajibkan keluarga kami terus menerus berpindah dari pulau ke pulau.

Wangi harum mentega membuyarkan lamunanku. "ahh iyaaa klappertartku!", ujar ku sambil sedikit berlari menuju oven. Memanggang merupakan keahlian ku sejak remaja. Ya, bisa dibilang memanggang adalah salah satu hal yang dapat kulakukan untuk mengisi kehidupanku.

"Moeder,coba resep baruku deh", kataku sambil membawakan klappertart yang masih berasap dari oven.

"Bukankah kau selalu membuat klappertart dengan resep yang sama?", Tanya ibuku.

"Yang kali ini dengan cinta.", candaku.

"Turunkan jangkar!", teriak salah satu anak buah ayahku.

Akhirnya kami sampai. Entah mengapa aku merasakan hal baik akan datang kepadaku di sini. Aku pun berjalan cepat menyusul ayahku yang memulai langkahnya meninggalkan kapal, membiarkan semua anak buahnya berlarian mengangkut barang-barang kami. Semua orang-orang di tempat ini memang sama. Kulit mereka yang kecoklatan, rambut mereka yang hitam, tubuh kurus akibat bekerja seharian, ah sangat membosankan. Tapi... siapa orang itu?

 

Kunto's pov ***

"Bu, Kunto pergi dulu ya", teriaku pada ibu yang masih sibuk di dapur.

"Kunto! Cepat ke dermaga! Mereka sudah datang!", teriak salah pak Anji, pak tua yang tinggal tepat di sebelah rumahku.

"Iya pak.", turutku.

Benar saja kata pak Anji, dermaga telah dipenuhi kerumunan warga yang siap menyapa pengawas baru kami. Tak lama kemudian seorang pria berkemeja biru turun dari kapal itu. Semua orang menunduk untuk memberinya salam selamat datang. Baru saja 5 langkah diambil pria itu, terlihat langkah wanita muda menyusulnya. Wanita itu tersenyum dengan manis ke semua orang. Tidak seperti ayah atau ibunya, ia tersenyum lebar kepada kami semua. Tidak banyak yang memperhatikan wanita muda itu, kebanyakann warga masih menunduk takut kepada keluarga baru itu. Aku rasa aku sudah gila, tapi sepertinya wanita itu memang berbeda. Ah apa yang terjadi padaku, sebaiknya ku buang jauh-jauh pikiran itu. Akupun bergegas  berlari membantu memindahkan barang wanita itu dan keluarganya ke rumah baru mereka.

"Terima kasih", ujar wanita muda tadi.

"Panggil saja aku Cath", tambahnya lagi.

"C..Ca..Cath", balasku gelagapan. Tanpa pikir panjang, aku memutar balik tubuhku dan sedikit berlari keluar dari rumah itu. Apa itu tadi? Aku berbicara dengan bangsa pirang? Aku bahkan tak percaya pada diriku sendiri.

"Tunggu! Kurasa kita seumuran, ku anggap kamu teman. Teman, bolehkah kau menemaniku berkeliling tempat ini?", susul wanita itu sambil bertanya.

"Tapi saya rasa saya tidak...", jawabku bermaksud sopan.

"Ini perintah! Harus begitu baru kau mau?", balasnya.

Cath's pov ***

Entah sudah berapa lama kami begini, aku hanya ingat sudah 6 bulan sejak kepindahanku kesini. Sejak itupun kami dekat dan mulai membagikan cerita kami masing-masing. Biasanya aku tak pernah seakrab ini dengan kaum mereka. Tapi entah mengapa, dia berbeda. Dia membuat aku merasakan sesuatu berbeda. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan, sesuatu yang kurasa salah untuk kurasakan. Rasanya ingin sekali aku menghabiskan hari-hariku bersamanya. Namun hal itu hanya khayalan belaka, latar belakang keluarga dan ras menciptakan jurang yang tak dapat kami sebrangi.

Malam ini kami bertemu lagi. Ada yang aneh, matanya memancarkan kegelisahan. Apa yang terjadi padanya? Apa yang ingin ia katakan?

"Cath, apakah cinta bisa salah?", tanyanya penuh bimbang.

"Apa maksudmu?", balasku kebingungan.

"Cath, kaumku dan kaumu berbeda bukan? Sebuah kebodohan bila seorang dari kaummu dan kaumku menjalin kasih bukan? Tapi, kurasa kebodohan itu menyelimutiku. Cath, bolehkan aku mencintaimu?", jelasnya dengan tatapan menuh makna.

Entah apa yang merasukiku, sekejap aku menarik tangannya dan mengajaknya menemui ayahku. Aku sudah gila melakukan hal ini. Tapi aku tidak tahan lagi, aku tidak dapat menyembunyikan perasaanku lagi.

 "Vader!vader!", teriaku sambil menahan isakan tangis.

"Ada apa sih kamu malam-malam berteriak seperti orang gila?", ayah menjawab dengan marah.

"Vader, aku tau ini gila. Tapi aku dan Kunto saling mencintai. Kumohon restui hubungan kami", ucapku tanpa berpikir panjang.

"Kamu memang sudah gila! Lepaskan dia sekarang juga!", paksa ayah sambil menarik keras tanganku.

"Maaf pak, tapi aku mencintainya", balas kunto sambil berlutut memohon.

"Dengar kamu pribumi, aku sudah kehabisan sabar melihat tingkah lakumu selama ini. Memang seharusnya aku tak pernah mengijinkan pertemanan kalian sejak awal aku melihatmu", tambah ayah sambil menutup pintu rumah kami.

Kunto's pov ***

Seharusnya tak ku ucapkan kata-kata bodohku tadi. Aku membuat semuanya menjadi kacau. Sekarang aku hanya dapat menanggung kebodohanku sendirian. Entah apa hal buruk lainnya yang dapat terjadi setelah ini, mungkin yang terburuk. Aku mencintainya, aku tidak tahu bahwa cinta dapat mengantarkan kami pada kebodohan. Aku bodoh karena mengharapkan sebuah ujung yang bahagia. Siapa aku? Hanya seonggok sampah bagi kaum mereka.

Tak kusadari langkah kaki lesu ku telah mengantarkanku sampai di depan rumahku. Haha, sadarlah kunto semua impianmu memang sebatas impian. Kubuka pintu depan rumahku sambil menghela nafas panjang. Namun tiba-tiba "DARR!", suara tembakan terdengar jelas dibelakangku. Sedetik kemudian yang kulihat adalah darah yang terus menerus keluar tepat dari dadaku.

"KUNTOOO!", teriak ibu keluar dari rumahku tanpa sempat melihat orang yang menarik pelatuk itu.

"Siapapun! Tolong kami!", teriak ibu yang merupakan suara terakhir yang dapat ku dengar.

Cath's pov***

Semalaman aku menangis. Setelah kejadian semalam, hanya kunto yang memenuhi otakku. Apalagi setelah salah satu ajudan ayah dipanggil semalam sambil membawa sebuah senapan. Ah tidak mungkin, aku dan Kunto mungkin melakukan kesalahan tapi ayahku tidak sekeji itu.

Aku pun duduk dipinggir Kasur dan menyadari bahwa semua barangku telah hilang. Tunggu, apa ini? Mengapa semua barangku menghilang? Ku buka pintu kamar untuk melihat isi rumahku yang lain.

"Vader! Moeder!mengapa semua barang kita menghilang?", Tanya ku tanpa basa-basi.

"Cath, kita akan pindah lagi, kemasi barangmu ya?", pinta ibu dengan secercah senyum diwajahnya. Hal berikutnya yang kulihat adalah ayah yang tersenyum puas ke arah ku. Apa artinya?

"Moeder,bolehkah aku mengucapkan selamat tinggal pada warga?", bisikku pada ibu. Ibu mengangguk.

Aku berlari mencari seorang yang tak lepas dari pikiranku semalaman. Aku akan bilang padanya aku akan kembali, itu pasti. Aku tidak akan melepaskannya. Tidak akan pernah. Kemana dia? Mengapa rumahnya dipenuhi orang? Aku berjalan perlahan mendekati ruang yang dikerumuni orang-orang. Mereka memandangi sesosok laki-laki terbaring pucat dengan kain putih. Lelaki itu? Kunto? Tidak mungkin. Perlahan air mata membasahi wajahku. Mengapa? Mengapa ini terjadi? Semua orang hanya memandangku dengan keji. Belum sempat aku bertanya, sebuah tangan mencengkramku keras dan menariku ke kapal. Belum sempat aku mencerna semuanya, kapal telah berlayar di lautan lepas. Akhirnya aku sadar, ini alasan keluargaku pergi. Maafkan aku Kunto, aku akan selalu mencintaimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun