Semalaman aku menangis. Setelah kejadian semalam, hanya kunto yang memenuhi otakku. Apalagi setelah salah satu ajudan ayah dipanggil semalam sambil membawa sebuah senapan. Ah tidak mungkin, aku dan Kunto mungkin melakukan kesalahan tapi ayahku tidak sekeji itu.
Aku pun duduk dipinggir Kasur dan menyadari bahwa semua barangku telah hilang. Tunggu, apa ini? Mengapa semua barangku menghilang? Ku buka pintu kamar untuk melihat isi rumahku yang lain.
"Vader! Moeder!mengapa semua barang kita menghilang?", Tanya ku tanpa basa-basi.
"Cath, kita akan pindah lagi, kemasi barangmu ya?", pinta ibu dengan secercah senyum diwajahnya. Hal berikutnya yang kulihat adalah ayah yang tersenyum puas ke arah ku. Apa artinya?
"Moeder,bolehkah aku mengucapkan selamat tinggal pada warga?", bisikku pada ibu. Ibu mengangguk.
Aku berlari mencari seorang yang tak lepas dari pikiranku semalaman. Aku akan bilang padanya aku akan kembali, itu pasti. Aku tidak akan melepaskannya. Tidak akan pernah. Kemana dia? Mengapa rumahnya dipenuhi orang? Aku berjalan perlahan mendekati ruang yang dikerumuni orang-orang. Mereka memandangi sesosok laki-laki terbaring pucat dengan kain putih. Lelaki itu? Kunto? Tidak mungkin. Perlahan air mata membasahi wajahku. Mengapa? Mengapa ini terjadi? Semua orang hanya memandangku dengan keji. Belum sempat aku bertanya, sebuah tangan mencengkramku keras dan menariku ke kapal. Belum sempat aku mencerna semuanya, kapal telah berlayar di lautan lepas. Akhirnya aku sadar, ini alasan keluargaku pergi. Maafkan aku Kunto, aku akan selalu mencintaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H