"Ada apa sih kamu malam-malam berteriak seperti orang gila?", ayah menjawab dengan marah.
"Vader, aku tau ini gila. Tapi aku dan Kunto saling mencintai. Kumohon restui hubungan kami", ucapku tanpa berpikir panjang.
"Kamu memang sudah gila! Lepaskan dia sekarang juga!", paksa ayah sambil menarik keras tanganku.
"Maaf pak, tapi aku mencintainya", balas kunto sambil berlutut memohon.
"Dengar kamu pribumi, aku sudah kehabisan sabar melihat tingkah lakumu selama ini. Memang seharusnya aku tak pernah mengijinkan pertemanan kalian sejak awal aku melihatmu", tambah ayah sambil menutup pintu rumah kami.
Kunto's pov ***
Seharusnya tak ku ucapkan kata-kata bodohku tadi. Aku membuat semuanya menjadi kacau. Sekarang aku hanya dapat menanggung kebodohanku sendirian. Entah apa hal buruk lainnya yang dapat terjadi setelah ini, mungkin yang terburuk. Aku mencintainya, aku tidak tahu bahwa cinta dapat mengantarkan kami pada kebodohan. Aku bodoh karena mengharapkan sebuah ujung yang bahagia. Siapa aku? Hanya seonggok sampah bagi kaum mereka.
Tak kusadari langkah kaki lesu ku telah mengantarkanku sampai di depan rumahku. Haha, sadarlah kunto semua impianmu memang sebatas impian. Kubuka pintu depan rumahku sambil menghela nafas panjang. Namun tiba-tiba "DARR!", suara tembakan terdengar jelas dibelakangku. Sedetik kemudian yang kulihat adalah darah yang terus menerus keluar tepat dari dadaku.
"KUNTOOO!", teriak ibu keluar dari rumahku tanpa sempat melihat orang yang menarik pelatuk itu.
"Siapapun! Tolong kami!", teriak ibu yang merupakan suara terakhir yang dapat ku dengar.
Cath's pov***