1. Definisi Kepemimpinan Menurut Aristoteles
Menurut Aristoteles, kepemimpinan bukan hanya tentang mengambil keputusan atau memegang kendali. Ia mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni yang melibatkan kombinasi karakter dan kebajikan moral, yang semuanya disatukan oleh apa yang ia sebut sebagai phronesis, atau kebijaksanaan praktis.Â
Aristoteles menekankan bahwa pemimpin yang baik tidak hanya harus memiliki pengetahuan teoretis, tetapi juga kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam konteks nyata untuk mencapai tujuan yang baik.
Kebijaksanaan praktis ini, menurut Aristoteles, sangat penting dalam pengambilan keputusan yang etis dan efektif. Berbeda dengan sophia (kebijaksanaan kontemplatif), phronesis lebih berorientasi pada tindakan dan hasil.
 Pemimpin harus memahami situasi yang dihadapi, mempertimbangkan berbagai pilihan, dan kemudian membuat keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai etika dan tujuan yang lebih tinggi, yakni eudaimonia.
2. Karakter dan Kebajikan
Bagi Aristoteles, karakter adalah fondasi utama bagi kepemimpinan yang efektif. Ia berpendapat bahwa kualitas seorang pemimpin harus mencerminkan kebajikan moral tertentu, seperti keadilan, keberanian, kedermawanan, dan kebijaksanaan.Â
Kebajikan-kebajikan ini bukanlah sesuatu yang diwariskan secara genetik, melainkan hasil dari latihan dan pembiasaan. Aristoteles berpendapat bahwa "kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali," dan dari sinilah muncul gagasan bahwa kebiasaan baik akan membentuk karakter yang baik.
Selain itu, Aristoteles menekankan pentingnya keseimbangan atau "mean" dalam menjalankan kebajikan. Seorang pemimpin yang baik harus dapat menyeimbangkan antara berani dan berhati-hati, dermawan namun tidak berlebihan, adil tanpa menjadi kaku. Kebajikan dalam kepemimpinan adalah tentang menemukan keseimbangan yang tepat dalam setiap situasi, dan kebijaksanaan praktis (phronesis) adalah instrumen utama untuk mencapai keseimbangan tersebut.
3. Eudaimonia: Tujuan Akhir Kepemimpinan
Aristoteles memperkenalkan konsep eudaimonia, yang secara kasar diterjemahkan sebagai kebahagiaan tertinggi atau kesejahteraan, sebagai tujuan akhir dari segala tindakan etis, termasuk dalam konteks kepemimpinan.Â