Mohon tunggu...
Fahrizal A.Z Mursalin
Fahrizal A.Z Mursalin Mohon Tunggu... -

Little boy, who desperately want to make books. Mmm, Like a writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Secangkir Cappuccino

25 November 2013   15:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:42 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Secangkir Cappuccino

Aku tidak pernah mengerti dengan apa yang selalu terjadi di sini, bahkan pada diriku sendiri. Aku pernah merasa seperti lenyap, tidak memiliki sebuah alasan lagi untuk bertahan sehingga pada akhirnya aku benar-benar hilang. Tempatku juga selalu begini, ya, di sini. Padahal, ini tempat yang sama ketika aku merasa hilang dan seperti mati dalam nafas. Ada yang menganggap aku hilang, entah itu siapa atau entah itu apa. Aku melihatnya berlalu-lalang di hadapanku, namun tetap saja mereka selalu menganggap aku sudah hilang. Asal kalian tahu, aku tidak pernah benar-benar hilang. Hanya saja kalian yang sudah tidak punya sebuah alasan lagi untuk sekedar melihatku. Ya, aku hilang dalam nafas.

“hidup seperti petikan gitar di ujung senja, Rani! Kau mungkin kehilangan aku, tapi sesuatu akan melengkapimu kemudian. Pengganti aku!” Setelah berkata seperti itu, pria itu berdiri dan bergegas pergi. Aku melihat sesuatu dari mata perempuan itu keluar. Sesuatu yang sama sepertiku, namun saja ia berwarna lebih bening, tidak seperti aku yang berwarna hitam dan selalu di dalam cangkir dan mengeluarkan uap yang menandakan bahwa aku masih panas. Air bening itu perlahan lepas dari kelpoak mata perempuan itu. Ia turun dengan teratur di pipi sebelah kanan, berbelok di bibir, kemudian terhenti di ujung dagu. Sebentar, sepertinya itu mengarah kepadaku. Jangan sampai ia terjatuh di atasku, aku kan berbeda dengannya. Air itu semakin di ujung, ketika siap untuk terjatuh, tangan perempuan itu mengusapnya dengan cepat.

“aku tidak ingin menanigs karena dia!” cetusnya kemudian bergegas pergi meninggalkanku di sini. Menangis, rupanya manusia menyebut itu menangis. Apakah menangis adalah kebiasaan manusia yang terjadi setelah ditinggal pergi? Lalu mengapa ia mengeluarkan air yang suci seperti itu? Apakah karena luka? Tapi perempuan tadi mengambil kembali air itu dengan tangannya. Atau mungkin ia tidak mau air suci miliknya itu terjatuh di atasku yang jauh berbeda dengan air miliknya?

Kemudian aku tertumpah setelah merasakan guncangan yang sangat keras. Cangikir tempatku itu pecah berserakan di mana-mana, orang-orang melihat ke arahku kemudian kepada seorang pria yang terjatuh bersamaku. Sepertinya pria itu yang menyenggol meja tempat dimana cangkirku diletakkan. Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas, ia sangat tergesah. Setelah meminta maaf kepada orang-orang yang ada di sekitar, ia kembali berlari menjauh dariku. Dan kemudian aku lenyap oleh sebuah kain.

Ini gila, fikir Rani. Rumah makan cepat saji yang biasanya ia tempati untuk sekedar menyeduh kopi di penghujung senja itu penuh. Padahal ini baru pukul tiga sore, biasanya rumah makan cepat saji itu penuh di jam-jam pulang kantor. Dan ini baru pukul empat belas lebih lima puluh dua menit. Rani mengkerutkan dahi sambil mengamat-ngamati tempat yang kosong di lantai dua. Tidak ada, semuanya penuh. Rani mengeluh kesal menuruni tangga. Ia tidak tahu harus makan di mana lagi, karena memang di Jalan A.P Pettarani kota Makassar ini rumah makan yang dekat dengan kampusnya hanya ini. Yang berjarak sekitar beberapa ratus meter saja dari kampusnya.

Melewati koridor sebelum keluar dari pintu utama, Rani melihat salah satu tempat yang kosong. Rani berhenti sejenak melihat tempat itu, kemudian berjalan kembali ke arah pintu masuk utama. Entah mengapa sesuatu menyeruak di kepala Rani, ia seperti mengingat sesuatu di tempat tadi. Tapi entah itu apa. Seorang pria yang berjalan dengan langkah cepat menabrak Rani di pintu masuk. Rani jatuh terduduk karena badan pria itu jauh sangat besar dari badannya.

“aw! Bisa lihat nggak sih kalau jalan? Sakit tahu!” Protes Rani sambil mengusap-usap lengannya yang sempat terbentur di pintu. Rani mengamati pria itu dengan seksama. Santai sekali, ia malah melempar pandangannya seperti mencari seseorang. Pria itu melihat kearah Rani kemudian mengulurkan tangannya. Rani menepis lalu berdiri tanpa bantuan pria itu.

“kamu tidak apa?”

“enak saja. Ini sakit tahu, kalau tulang tanganku ini retak awas kau. Aku bisa menuntutmu di kantor polisi dengan tuduhan lalai.” Cetus Rani dengan keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun