Mohon tunggu...
Sri Wahyuni Saraswati
Sri Wahyuni Saraswati Mohon Tunggu... Dosen - Freelance Writer

Menulis itu Mengobati. Membaca itu menghidupkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Pemimpi

25 Desember 2018   22:36 Diperbarui: 27 Desember 2018   13:07 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah menjadi kebiasaanku berbicara dengan diary ketika aku merindukanmu.  Aku merindukan aroma tubuh itu.  

Aroma rokok Gudang Garam Surya yang berpadu dengan aroma pewangi baju sehingga menimbulkan bau yang khas. 

Intan menutup diarynya. Ia diam sejenak sambil sesekali memandang jam dinding yang menempel di tembok kamarnya. Waktu sudah hampir menunjukan pukul 2 pagi tapi ia belum juga bisa memejamkan mata sipitnya itu. Intan gelisah. Tumpukan buku di atas meja belajarnya bertanya mengapa ia begitu risau.

Cermin berbentuk persegi panjang yang terpajang di dekat meja belajarnya merekam semua kegundahanya. Baju yang tergantung di balik pintu memandangnya dengan penuh tanda tanya. Kamar yang berukuran sedang, kira-kira lima kali lima meter persegi itu serta semua benda di dalamnya menjadi saksi bisu bagaimana kegelisahan Intan malam itu.

Rupanya di balik kegelisahanya Intan menyimpan sejuta kerinduan terhadap seorang laki-laki yang akhir-akhir ini sering hinggap di pikirannya. Laki-laki itulah yang telah menumbuhkan kesadarannya, menumbuhkan semangatnya, meluluhkan hatinya, melunakkan sifat kakunya, meruntuhkan tembok egoisnya, dan yang jelas menghapus bahkan mematikan rasa cintanya pada laki-laki masa lalunya.

Intan meyakini laki-laki itu sebagai dewa penolongnya. Seseorang yang hadir di tengah-tengah Intan memiliki masalah berat, masalah hati tepatnya. Hati yang tersakiti karena orang yang ia puja sebagai calon bapak dari anak-anaknya kelak tetapi justru malah menghianati dirinya.

Sejak itulah ia membenci cinta. Baginya hanya orang bodoh yang mengatakan cinta itu indah. Dan hanya orang sakit jiwa yang menganggap cinta sebagai penyemangat hidup. Cinta baginya bukan hal yang bersifat kreatif tetapi destruktif, tidak pula indah melainkan menakutkan.

"Siapa bilang cinta itu indah. Cinta adalah musuh kehidupan. Ia tidak terlihat tetapi mampu menghancurkan segalanya. Ya, menghancurkan masa depan," Gerutu Intan di suatu malam.

Tetapi kebencian terhadap cinta itu perlahan sirna setelah ia bertemu dengan laki-laki hebat yang memiliki sejuta keunikan. Ia paling takut dengan kata-kata karena baginya kata-kata bisa menghancurkan, melukai bahkan membunuh seseorang.  Laki-laki yang selalu menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik.

Sekompleks apapun pengalaman hidupnya, selalu dimaknai, diajarkan kepada siapa pun oleh laki-laki itu. Intan memanggil laki-laki itu dengan sebutan laki-laki penjaga bunga karena ia yakin laki-laki itulah yang akan menjadikannya sekuntum bunga indah yang dikagumi banyak orang.

Namun, sudah dua hari ini Intan merasakan ada yang berbeda dari laki-laki penjaga bunga itu. Tiba-tiba sikapnya menjadi dingin, acuh tak acuh. Penjaga bunga itu juga selalu menghindar ketika bertemu dengannya. Kalau pun terpaksa bertemu laki-laki itu hanya diam. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Intan tahu benar sifat laki-laki itu. Ketika ia diam berarti ia benar-benar marah.

Intan gelisah. Ia tidak bisa menahan gejolak hatinya, tepatnya gejolak rindu yang dua hari ini mencabik-cabiknya. Sakit dan pedih. Ia memutar kembali kejadian beberapa hari lalu dengan harapan ia bisa menemukan penyebab sang penjaga bunga itu marah kepadanya. Ia memutar ulang memori otaknya.

Intan menutup matanya sejenak sambil mengingat-ingat kapan terakhir bertemu dengan laki-laki itu. Laksana seorang peneliti yang sedang melakukan penelitian. Intan mengumpulkan data sebanyak mungkin kemudian disusun menjadi sebuah hipotesis.

Dari sekian banyak hipotesis di otaknya ada sebuah hipotesis yang sangat ia yakini kebenarannya. Ia tiba-tiba teringat peristiwa beberapa hari lalu, ketika penjaga itu mengetahui bahwa Intan masih menyimpan hal-hal yang berkaitan dengan laki-laki masa lalunya. Termasuk foto dan beberapa barang dengan warna kesukaan kekasihnya dulu.

"Mungkin kejadian itu yang membuat penjaga bunga itu marah." hati Intan berkata demikian.  

Tangan mungil Intan kembali membuka buku kesayangannya yang tadi sempat ditutupnya. Ya, buku tulis bersampulkan warna ungu dengan hiasan bunga-bunga itu ia sebut sebagai diary.

Baginya buku itu adalah sahabat sejatinya yang setiap saat siap menerima semua curahan hatinya tanpa pernah mengeluh. Apa pun bentuknya. Meskipun ia tahu buku diary itu tidak akan pernah memberikan solusi terhadap setiap masalah yang ia ceritakan. Tapi setidaknya ia bisa mengurangi beban pikirannya.

Dear Penjaga Bunga

Jika sikap telah membuat luka lalu dengan apa aku harus menebusnya?Maafkan aku. 

Intan menutup bukunya lalu mengembalikannya ke tempat semula. Ia memaksa matanya untuk terpejam karena waktu sudah jam 02.35. Namun tetap tidak bisa. Ia membolak-balikan tubuhnya ke kanan kemudian ke kiri. Sesekali ia tidur terlentang sambil memandangi langit-langit kamar. Langit-langit kamar itu seakan-akan menjelma menjadi wajah yang ia rindukan.

Wajah laki-laki penjaga bunga yang menari-nari di pikirannya. Tiba-tiba ia bangun dan mengambil sebuah sorban yang ada di dalam laci almarinya. Sorban itu adalah pemberian laki-laki penjaga bunga beberapa hari lalu. Sorban itu diberikan oleh penjaga bunga setelah Intan merengek seperti anak kecil.

Sorban itu memiliki aroma yang khas. Aroma rokok Gudang Garam Surya yang berpadu dengan pewangi baju. Ia memeluk sorban itu sesekali menciumnya dengan penuh perasaan. Imajinasinya tumbuh, memeluk sorban namun seolah memeluk pemiliknya. Terasa nyaman dan tenang.

"Aku merindukan aroma tubuh ini. "  bisiknya dalam hati.

Matanya mulai terpejam. Ia hanyut bersama aroma tubuh penjaga bunga yang melekat erat di sorban itu. Bersatu bersama mimpi-mimpi yang mengiringi tidurnya. Dalam tidurnya yang lelap laki-laki itu datang.

"Engkau marah padaku?" tanya Intan dengan tangan gemetar.

Laki-laki itu hanya diam.

"Menyesalkah engkau mengenalku?" tanyanya kembali.

"Tidak." Jawabnya singkat

"Engkau lelah mendampingiku."

Lagi-lagi laki-laki itu tidak menjawab. Namun dari sorot matanya Intan bisa mengetahui jawabannya. Sorot matanya adalah simbol yang selalu menyisakan banyak pertanyaan dalam benak Intan.

"Lalu aku harus bagaimana?" Intan menangis.

"Kamu ingin tahu jawabannya Intan?"

Intan hanya mengangguk.

"Jika kamu benar-benar ingin keluar dari jeratan masa lalu itu maka kamu harus...."

Tiba-tiba Intan terbangun dari mimpinya.

"Ah, lagi-lagi mimpi menyiksaku. Mengapa mimpi selalu membuat berpikir pelakunya?" keluh Intan.

Matanya kembali terpejam. Laki-laki itu hadir kembali.   

"Bagaimana caranya melupakan masa lalu?" kata Intan tiba-tiba. Laki-laki itu bingung. Sorot matanya nanar. Lelaki yang ia sebut sebagai penjaga bunga itu hanya tersenyum. "Lupakan semua. Hapuslah masa lalu dan buatlah semuanya menjadi baru."  Jawabnya singkat. 

"Maukah kau menghapusnya?"

"Aku?" tanyanya sedikit kaget.

"Ya."

Lelaki itu hanya diam. Tidak tahu harus menjawab apa.

Intan memandangnya dengan penuh tanda tanya. Ia menyimpan sejuta rasa penasaran.

"Jawablah dengan satu kata saja. Ia." Bisik hati Intan. 

"Kau benar-benar ingin tahu jwabanya Intan?" tanya laki-laki itu.

"Mengapa kau selalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang baru? Ketika sudah seperti ini masih perlukah aku menjawab pertanyaanmu?"

"Aku tidak ingin merusakmu Intan. Aku hanya ingin menjadikan kamu sekuntum bunga indah yang dikagumi banyak orang. Dan dari sekian banyak orang yang yang mengagumimu itu aku berharap akan ada seorang laki-laki hebat yang mengambilmu, memelihara, dan menjagamu. Laki-laki itulah yang kelak akan menggantikan tugasku. Kau paham kan?"

"Apa maksudmu?" tanya Intan datar.

"Aku hanya ingin..."

Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Suara adzan subuh berkumandang. Intan terbangun dari mimpinya.

"Mimpi. Lagi-lagi kau siksa aku. Kau selalu menyisakan tanda tanya besar ketika aku membuka mataku." Intan mengeluh.

Mimpi bagi Intan adalah soal yang harus dijawab. Ketika ia bermimpi berarti ia harus siap menjadi seorang peneliti yang harus menyiapkan data, membuat hipotesis kemudian membuat kesimpulan sendiri.

"Ah, mimpi memang selalu menyiksa. Apalagi jika bermimpi tentangmu. Tapi perlu kau tahu meskipun mimpi itu menyiksa tapi aku menikmatinya." Intan menghela nafas panjang.

Biarlah aku selalu tersiksa dengan mimpi. Bukankah dibalik siksa selalu ada nikmat tersembunyi. Bermimpi tentangmu berarti berkomunikasi denganmu. Bukankah mimpi adalah komunikasi antara jiwa, pikiran dan tubuh.

Intan selalu menikmati mimpi tentang laki-laki penjaga bunga itu. Ia ingin menjadi seperti Samuel Taylor Coleridge, seorang penulis puisi terkenal. Pada suatu waktu Samuel Taylor Coleridge bermimpi. Ia terbangun setelah mendapatkan mimpi yang indah, dia lalu segera menuliskannya di kertas untuk menggambarkan mimpinya. Mimpi itu jadi sebuah puisi yang indah. Samuel Taylor Coleridge juga menulis sebuah kisah yang idenya didapat dari mimpi. Salah satunya tentang kisah Kubilai Khan.

Bagi intan mimpi itu bagaikan puisi sebab keduanya merupakan penggambaran simbolisasi yang sangat dalam. Mimpi adalah jalan pertemuan terakhir ketika jalan nyata tidak bisa ditempuh.

Intan juga tahu para penulis terkenal Mary Shelley dan Robert Louis misalnya, mereka mengaku bahwa ide-ide paling baik dan kreatif yang mereka miliki datang dari mimpi. Intan ingin menjadi seperti mereka. Ia akan menuliskan mimpi-mimpi tentang penjaga bunga itu ke dalam tulisan. Entah itu dalam bentuk apa. Biarlah seluruh penghuni kamar ini menjadi saksi atas mimpi-mimpi kerinduanku tentangmu. 

"Terima kasih kau sudah hadir dalam mimpiku."

***

Kota Reyog, 25 Desember 2018. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun