"Kau benar-benar ingin tahu jwabanya Intan?" tanya laki-laki itu.
"Mengapa kau selalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang baru? Ketika sudah seperti ini masih perlukah aku menjawab pertanyaanmu?"
"Aku tidak ingin merusakmu Intan. Aku hanya ingin menjadikan kamu sekuntum bunga indah yang dikagumi banyak orang. Dan dari sekian banyak orang yang yang mengagumimu itu aku berharap akan ada seorang laki-laki hebat yang mengambilmu, memelihara, dan menjagamu. Laki-laki itulah yang kelak akan menggantikan tugasku. Kau paham kan?"
"Apa maksudmu?" tanya Intan datar.
"Aku hanya ingin..."
Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Suara adzan subuh berkumandang. Intan terbangun dari mimpinya.
"Mimpi. Lagi-lagi kau siksa aku. Kau selalu menyisakan tanda tanya besar ketika aku membuka mataku." Intan mengeluh.
Mimpi bagi Intan adalah soal yang harus dijawab. Ketika ia bermimpi berarti ia harus siap menjadi seorang peneliti yang harus menyiapkan data, membuat hipotesis kemudian membuat kesimpulan sendiri.
"Ah, mimpi memang selalu menyiksa. Apalagi jika bermimpi tentangmu. Tapi perlu kau tahu meskipun mimpi itu menyiksa tapi aku menikmatinya." Intan menghela nafas panjang.
Biarlah aku selalu tersiksa dengan mimpi. Bukankah dibalik siksa selalu ada nikmat tersembunyi. Bermimpi tentangmu berarti berkomunikasi denganmu. Bukankah mimpi adalah komunikasi antara jiwa, pikiran dan tubuh.
Intan selalu menikmati mimpi tentang laki-laki penjaga bunga itu. Ia ingin menjadi seperti Samuel Taylor Coleridge, seorang penulis puisi terkenal. Pada suatu waktu Samuel Taylor Coleridge bermimpi. Ia terbangun setelah mendapatkan mimpi yang indah, dia lalu segera menuliskannya di kertas untuk menggambarkan mimpinya. Mimpi itu jadi sebuah puisi yang indah. Samuel Taylor Coleridge juga menulis sebuah kisah yang idenya didapat dari mimpi. Salah satunya tentang kisah Kubilai Khan.