FILSAFAT NURCHOLISH MADJID TENTANG SEKULARISME DAN PLURALISME AGAMA
Lusi Anggraini
Ushuluddin dan studi Agama, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang1
lusianggraini2006@gmail.com
Abstrak
  Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisme dan pluralisme agama? Gagasan Nurcholish Madjid tentang sekularisasi yang dipopulerkannya pada era 1970-an, Nurcholish Madjid tampil menjadi sosok intelektual dan pembaharu yang berdiri di garda depan dalam kancah pemikiran Islam di-Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan library resear. Dari hasil penelitian ini, maka dapat di simpulkan bahwa sekularisasi sebagai proses yang dapat membantu memahami Islam secara lebih luas dan inklusif, serta memperluas ruang dialog antaragama. Teori Cak Nur tentang kemajemukan, yaitu teori yang menjustifikasi paham pluralisme agama. Dalam tulisannya Cak Nur begitu mengatakan,"Jadi Pluralisme sesugguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (sunnat Allah, "sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehigga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.
Kata kunci : Nurcholish Madjid , sekularisme, dan pluralisme agama
Â
A. Pendahuluan
      Membincangkan sosok Nurcholish Madjid memang tiada kata henti, pesona dan kharisma tokoh asal Jombang ini memang sangat luar biasa, beliau juga dianggap sebagai salah seorang tokoh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Lewat gagasannya tentang teologi Islam Inklusif dan sekularisasi yang dipopulerkannya pada era 1970-an, Nurcholish Madjid tampil menjadi sosok intelektual dan pembaharu yang berdiri di garda depan dalam kancah pemikiran Islam di-Indonesia. Kendatipun begitu, juga tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran yang dilontarkannya juga memunculkan polemik-polemik mendalam diantara banyak kalangan elit intelektual Muslim. Sekuler". Tidak berhenti disitu, cak Nur juga menerjemahkan ungkapan syahadat yang diyakini umat Muslim sebagai rukun Islam pertama dengan terjemahan: "Tiada tuhan selain Tuhan." Dalam hal ini, khususnya kelompok Islam skripturalis pun menganggap hal tersebut sebagai "Kejahatan" intelektual dan menyelewengkan makna Islam.[1]
Â
 Dan sejak itu pulalah, sosok Nurcholish Madjid semakin dikenal luas di kalangan masyarakat umum dan terlebih lagi di kalangan elit intelektual Muslim di Indonesia. Berbeda dengan sosok intelektual Islam lain, semacam Abdurrahman Wahid yang cenderung memilih segmen populis dalam mengartikulasikan gagasan-gagasannya. Cak Nur justru mengambil wilayah segmen elitis dalam melontarkan gagasangagasan cerdasnya, sebab beliau menyadari betul bahwa itulah cara yang harus ditempuhnya. Jika beliau menulis, maka akan dijumpai sekian banyak referensi yang digunakan untuk menguatkan pendapatnya. maka dalam pembahasan dalam kepenulisan jurnal ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana pandangan Nurcholish Madjid tentang sekularisme dan pluralisme agama?
Â
B. Metode Penelitian
Â
  Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Sedangkan metode yang dipakai didalam penelitian ini ialah metode deskriptif analisis. Adapun pendekatan yang dipakai berupa pendekatan filosofis kritis. Penelitian ini mencoba mengkulik filsafat Nurcholish Madjid tentang sekularisme dan pluralisme. Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini diperoleh dari buku, artikel jurnal, skripsi, dan website tentang  filsafat Nurcholish Madjid tentang sekularisme dan pluralisme.
Â
C. Hasil dan Pembahasan
Â
1. Riwayat Hidup Nurcholis MadjidÂ
Â
Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939,11 bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 H. Nurcholish Madjid adalah putra dari seorang petani Jombang yang bernama H. Abdul Madjid. Abdul Madjid adalah seorang ayah yang rajin dan ulet dalam mendidik putranya dia adalah seorang figur ayah yang alim. Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H. Abdul Madjid kepada Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah, moral, etika, atau pun dengan pembelajaran membaca Alquran saja, akan tetapi juga dengan arah pendidikan formal bagi Nurcholish Madjid. Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat dasar, yaitu di Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang. Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul ,Ulum Jombang menjadi pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid.
Â
Di pesantren ini Nurcholish Madjid hanya mampu menjalani proses belajarnya selama dua tahun. Atas izin ayahnya, kemudian Nurcholish Madjid pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mualimien al Islamiah) Gontor Ponorogo pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan yang dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari teman-temannya, terkait dengan pendirian politik ayahnya yang terlibat di Masyumi.[2] Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Cak Nur yang fenomenal itu, diperhatikan oleh KH. Zarkasyi, salah satu pengasuh pesantren Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud mengirimkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo Mesir.Â
Â
Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat Nasional tersebut merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualisme kehidupannya. Pada sisi lain, keterlibatannya pada kegiatan Internasional yakni kunjungannya ke Timur Tengah dan ke Amerika Serikat telah semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat itulah, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No. 15 Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral (Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cumlaude. Adapun disertasinya ia mengangkat pemikiran Ibnu Taymiah dengan judul "Ibn Taymiyah dalam ilmu kalam dan filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam" (Ibn Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in Islam). Disertasi doktoral yang dilakukan ini menunjukkan atas kekaguman dirinya terhadap tokoh tersebut.[3]
Â
2. SekularisasiÂ
Â
Ide sekularisasi Nurcholish Madjid pertama kali muncul saat beliau berkesempatan memberikan ceramah dalam acara beberapa organisasi mahasiswa pada 3 Januari 1970. Nurcholish Madjid mengajurkan sekularisasi sebagai sebuah bentuk pembebasan dari segala pandangan-pandangan keliru yang dianggapnya telah mapan, namun Nurcholish Madjid sendiri tidak bermaksud menerima paham sekularisme, bahkan secara tegas ia menolaknya. Memulai anjurannya, Nurcholish Madjid mengatakan; "Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup yang dipandang berfungsi sangat mirip dengan agama.[4]
Â
Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal."
Â
 Dari penegasan tersebut, nampaknya Nurcholish Madjid ingin menjelaskan bahwa antara sekularisasi dan sekularisme merupakan dua hal yang berbeda. "Sekularisasi" cenderung kepada sebuah proses, dan "sekularisme" dengan isme-nyamerupakan bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai padanan agama,seperti yang ada pada dua ideologibesar dunia, sosialisme-komunis dan kapitalisme-sekuler yang dalamprosesnya berusaha melepaskan ketergantungan manusia dari asuhan agama.
Â
Dengan mengutip pandapat Talcot Parson, Nurcholish Madjid menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya,dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan. Secara konkret, menurut cak Nur sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis.
Â
 a) Pandangan dan Kritikan dari H.M Rasyidi
Â
 Dalam pandangan H.M Rasyidi, yang digambarkan Nurcholish Madjid tentang tauhid sebagai sekularisasi besar-besaran, yakni tidak memuja selain Tuhan,dan segala benda di dunia ini harus kita selidiki dan dipergunakan. Seakan-akan menunjukkan bahwa manusia di dalam dunia ini hanya menghadapi dua alternatif yaitu apakah ia harus menyembah Allah saja sebagai orang bertauhid, atau menyembah segala yang ada di dunia ini sebagai animis. Padahal persoalannya tidaklah demikian adanya, manusia pada dasarnya tidak hanya berhadapan dengan Allah dan alam saja, tetapi ia juga berhadapan dengan jiwanya sendiri. Meskipun ia menyelidiki sesuatu dalam alam, sesungguhnya baru sedikit sekali yang diketahui oleh manusia.
Â
Dan hal itu juga tidak boleh dilakukan dengan terlepas dari Tuhan atau menjadi sesuatu yang otonom, karena segala sesuatu yang dilakukan manusia adalah dalam kerangka pengabdian kepada Tuhan. Selain itu, pada zaman teknologi ini sesungguhnya manusia dihadapkan pada satu persoalan pokok, yakni: persoalan mana yang baik aku lakukan dan mana yang tidak baik untuk dilakukan. Disinilah letaknya kepentingan agama di dunia ini. Agama bukan hanya untuk akhirat, tetapi juga untuk dunia. Akhirat hanya merupakan akibat dari hukum agama didunia ini.
Â
b) Pandangan Dan Kritikan Faisal IsmailÂ
Â
Secara ringkas, beliau mengkritik bahwa konsep Nurcholish Madjid yang memisahkan antara sekularisasi dengan sekularisme merupakan suatu bentuk kekacauan berpikir (confusion of mind). Seperti yang penulis paparkan diatas, Nurcholish Madjid beranggapan bahwa antara sekularisasi dan sekularisme merupakan dua hal yang berbeda."Sekularisasi" cenderung kepada sebuah proses, dan "sekularisme" dengan ismenya merupakan bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai padanan agama, seperti yang ada pada dua ideologi besar dunia, sosialisme-komunis dan kapitalismesekuler yang dalam prosesnya berusaha melepaskan ketergantungan manusia dari asuhan agama.
Â
Dengan mengutip pandapat Talcot Parson, Nurcholish Madjid menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan.Padahal, menurut Faisal Ismail jika dilihat dari sisi semantik, konsep cak Nur yang memisahkan antara konsep sekularisasi dan sekularisme adalah hal yang absurd dan merupakan suatu semantic confusion.
Â
 Secara tegas, Faisal Ismail menyimpulkan bahwa sekularisasi merupakan proses pengaplikasian dan praktik-praktik penerapan sekularisme. Atau, proses dan praktikpraktik penerapan sekularisme dalam tatanan kehidupan masyarakat disebut sekularisasi. Tingkat intensitas sekularisasi dalam tatanan kehidupan masyarakat akan mempengaruhi tingkat intensitas perkembangan sekularisme dalam kehidupan mereka.
Â
Sebaliknya, jika pelaksanaan sekularisasi kurang intensif dalam masyarakat, maka perkembangan sekularisme kurang intensif pula. Secara ringkas, Faisal Ismail ingin menegaskan bahwa sekularisasi pasti menuju ke sekularisme. Tidak seperti yang dipaparkan oleh cak Nur yang memisahkan kedua konsep tersebut.[5]Sebetulnya masih ada banyak kritikan yang dilontarkan oleh para kritikus tersebut. Namun disini, penulis hanya memaparkan sebagian saja dari gagasan-gagasan cerdas para kritikus di atas dengan asumsi kritikan tersebut sudah cukup sedikit mewakili dari pandanganpandangan pokok mereka.Â
Â
Pemikiran Cak Nur tentang sekularisme dan pluralisme agama dapat dilihat dalam beberapa aspek berikut:
Â
1. Sekularisme
Â
   Cak Nur membedakan antara "sekulerisme" dengan "sekularisasi". Sekularisasi tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekulerisme, tetapi sebagai proses pembebasan nilai-nilai duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrowikan nilai-nilai agama. Tujuan sekularisasi ini adalah untuk memantapkan tugas manusia sebagai "khalifah Tuhan di muka bumi" dan memberikan kebebasan manusia untuk memilih cara perbaikan hidupnya.
Â
2. Pluralisme Agama
Â
  Cak Nur memandang pluralisme agama sebagai keniscayaan dari Tuhan yang diberikan kepada umat manusia agar dipahami dan diamalkan. Bentuk pengalamannya adalah saling menghargai antara satu sama lain dan menerima keberadaan orang lain yang berbeda agama[6]
Â
  Pemikiran Cak Nur tentang pluralisme agama juga menekankan pentingnya menghargai nilai-nilai spiritual dan sosial dari semua agama, serta mengakui bahwa yang sakral hanya Tuhan. Dengan demikian, semua agama mengajarkan menghargai orang lain dan menjunjung nilai-nilai musyawarah.[7]
Â
3. Eksperimen Madinah
Â
Cak Nur juga mengacu pada "Eksperimen Madinah" yang dilakukan Nabi Muhammad, yang menunjukkan terciptanya tatanan masyarakat yang egalitarianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, serta keterbukaan anggota masyarakat dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan. [8]
Â
4. Pengaruh pada Pendidikan Islam
Â
  Pemikiran Cak Nur tentang pluralisme agama juga relevan dengan deradikalisasi pendidikan Islam. Dengan mengajarkan pluralisme agama, pendidikan Islam dapat dilakukan secara inklusif, menghapus kekakuan beragama, dan menjalin persahabatan dan harmoni beragama dalam masyarakat.[9]
Â
Dalam sintesis, pemikiran Cak Nur tentang sekularisme dan pluralisme agama menekankan pentingnya pembebasan nilai-nilai duniawi, menghargai nilai-nilai spiritual dan sosial dari semua agama, serta mengakui keberagaman agama dalam masyarakat. Pemikiran ini juga relevan dengan deradikalisasi pendidikan Islam untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif.
Â
3. Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pluralisme Agama
Â
   Membaca pemikiran Nurcholish Madjid, sedikitnya terdapat tiga gagasan utama yang digulirkannya ke wilayah diskursus intelektual Indonesia sejak awal gerakan pembaruan pada tahun 70-an; keislaman, kemodernan dan keindonesiaan yang didasarkan pada pandangan etis moral yang lebih substansif dan normativitas doktri Islam. Melalui kajian-kajian Islam ini, ia berusaha menampilkan wajah Islam sebagai agama yang toleran dan terbuka, bahkan agama yang berpihak pada nilai-nilai universal kemanusiaan.[10]
Â
   Dalam pandangan Nurcholis Madjid, pada dasarnya kemajemukan masyarakat atau hakekat pluralisme, tidaklah cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, tapi yang lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Menyatakan bahwa masyarakat itu adalah majemuk, terdiri dari berbagai suku dan agama justeru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai "kebaikan negatif" (negative good), hanya ditilik dari kegunannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay).
Â
  Pluralisme harus dipahami sebagai "pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban" (genuine engagement of diversities within bonds of civility). Bahkan, lanjutnya, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Perspektif teologi pluralis ini lah yang "memaksa" Nurcholis Madjid merekonstruksi penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran mengenai pluralisme agama dan hubungan antar umat beragama.
Â
   Dalam tulisannya Cak Nur begitu mengatakan,"Jadi Pluralisme sesugguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (sunnat Allah, "sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehigga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari." Dari perspektif ini kemudian mencoba mendekonstruksi makna Islam sebagai; sikap pasrah kepada Tuhan (arti generiknya); Islam (sebagai agama formal) merupakan hasil produk sejarah: dan Islam sebagai common flatform, kalimatun sawa, agama-agama.
Â
D. PenutupÂ
Â
Sebagai seorang tokoh yang dilahirkan di lingkungan yang sangat kental dengan nilai-nilai ajaran agama Islam serta mendapatkan pendidikan barat yang modern dan sekuler, telah membuat sosok Nurcholis Madjid menjadi seorang yang benar-benar ampuh dan mumpuni dalam memadukan khazanah Islam klasik dan khazanah keilmuan modern. Hal ini pula yang menjadikan cak Nur sebagai seorang figur yang sangat dikagumi baik oleh para gurunya, rekan dan mahasiswanya. Beliau tidak hanya merupakan seorang tokoh yang dekat dengan iman, tapi juga merupakan tokoh yang sangat dekat dengan kebeban berfikir.
Â
- Nurcholish Madjid memahami sekularisasi sebagai proses yang dapat membantu memahami Islam secara lebih luas dan inklusif, serta memperluas ruang dialog antaragama.
- Teori Cak Nur tentang kemajemukan, yaitu teori yang menjustifikasi paham pluralisme agama.
- Dalam tulisannya Cak Nur begitu mengatakan,"Jadi Pluralisme sesugguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (sunnat Allah, "sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehigga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.
Â
E. DAFTAR PUSTAKAÂ
Â
_____, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
Â
 _____, Sejarah Pemikiran dalan Islam, Jakarta, Pustaka Antara, 1996.
Â
Anwar, M. Syafii, "Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran, Nomor 1, Vol. IV, Th. 1993.
Â
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina, 1999.
Â
Bunyamin, dkk, Aqidah Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta, UHAMKA Press, 2012.
Â
Cendekiawan dan Relgiusitas Masyarakat , Jakarta: Paramadina, 1999
Â
http://dx.doi.org/10.24127/att.v4i02.1464
http://repository.uinsu.ac.id/3222/1/THESIS%20PDF.pdf
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/38727/1/17204010163_BAB-I_%20V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf
https://journal.iain-manado.ac.id/index.php/jpai/article/download/2078/1303
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jaqfi/article/view/9399/0
https://ojs.ummetro.ac.id/index.php/attajdid/article/download/1464/pdf
https://repository.ptiq.ac.id/id/eprint/1405/1/Revisi%20Skripsi%20ttd%20%20Nurul%20Anwar.pdf
https://repository.uin-suska.ac.id/3970/4/BAB%20III.pdf
Khaeroni, Cahaya , AT-TAJDID: Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam (p-ISSN: 2548 5784 |ISSN:2549-2101)Vol.(4)(02),(Juli-Desember)(2020),(Halaman)(178-190)
Kurniawan, Syamsul, "Pluralisme Cak Nur dan Bangsa Indonesia", dalam SKH Pontianak Post, 21 Mei 2007.
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
Munir, Ghazali, Ilmu Kalam Aliran-aliran dan Pemikiran Islam, Semarang: RASAIL Media Group, 2010.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI Press, 2002.
Rakhmat, Jalalludin, Islam Aktual, Bandung: Mizan, 1991.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H