Mohon tunggu...
Fauzi Rohmah
Fauzi Rohmah Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis

Guru di SMP Negeri 1 Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Kalsel - Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Porak-poranda

21 September 2019   11:02 Diperbarui: 21 September 2019   11:10 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dipejamkan matanya yang mulai tak jelas memandang sekelilingnya. Direbahkannya raga yang mulai renta dimakan musim yang berganti. Kulitnya legam terbakar matahari setiap hari. Di gubuk yang terbuat dari kayu galam itu ia melepas lelah. 

Kegiatannya keluar masuk hutan mengumpulkan kayu untuk dijadikannya kayu bakar dan dijual istrinya ke pasar. Ia jalani berpuluh-puluh tahun. Kakinya hapal betul jalan menuju hutan meski matanya tak lagi jelas memandang.

Siang itu, mentari tepat di atas kepalanya. Ia memutuskan untuk istirahat di gubuk yang ia bangun tepat di tengah hutan. Dua ikat kayu berhasil ia kumpulkan dari sisa penebangan ilegal. Kayu yang ia kumpulkan di tahun-tahun terakhir ini tidak seperti duapuluh tahun lalu. Biasanya, ia mampu mengumpulkan sepuluh ikat kayu yang ditampung di gubuk.

Mbah Harso, tetangga memanggilnya. Laki-laki setengah abad lebih itu tinggal bersama istri dan dua anak angkatnya. Pernikahannya dengan Winarsih tak diberikan momongan, lalu ia mengangkat dua saudara yang yatim piatu, karena kedua orang tuanya disapu longsor delapan tahun lalu. Jamal dan Maisarah nama keduanya. 

Mbah Harso sangat bahagia menyaksikan pertumbuhan anaknya yang sekarang sudah duduk di sekolah menengah pertama, Jamal kelas tiga dan Maisarah kelas satu.

Mentari kian condong ke barat, Mbah Harso memikul dua ikat kayu menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Segenggam daun pakis ia jinjing dengan tangan kanannya. "Lumayan untuk sayur lauk makan malam," pikirnya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Pak," sambut istrinya.

"Ke mana anak-anak, Bu?"

"Jamal tadi pergi ke rumah juragan Ismail, kalau Maisarah ada di dalam sedang belajar."

"Sekarang kayu yang aku kumpulkan tak sebanyak dulu lagi, Bu. Hutan kian hari makin gundul. Ditebang oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Mereka mengambil kayu tanpa melakukan penanaman pohon yang baru. Kalau terus begini, anak cucu kita mau bagaimana kehidupannya kelak?" Mbah Harso berkeluh kesah pada istrinya.

"Begitulah, Pak. Orang-orang kota yang rakus itu kian menggerus penghidupan kita. Kehidupan kian sulit, penghidupan pun kian sakit," sahut istrinya.

"Lihatlah, bibit-bibit pohonku semakin sedikit. Sebagian sudah kutanam. Jika, orang rakus itu tak menggerus, setidaknya kita masih bisa menikmati kayu lima atau sepuluh tahun lagi."

"Orang kota itu sakti, Pak. Mereka sedang asyik duduk santai di balik meja, tapi hutan dapat gundul hanya dengan perintahnya yang ia kirim ke anak buahnya."

"Begitulah, Bu. Orang sekarang kian canggih."

"Apa Bapak tidak tahu, tangan kanan dari orang kota itu si Wiryo dan antek-anteknya? Wiryo yang menjalankan mesin pemamah pohon-pohon di hutan itu."

"Wiryo anak Pak Slamet, Bu? Wah, dia menghalalkan segala cara demi uang. Tak menyadari dampak dari penggundulan hutan itu. Lama-lama, desa kita bisa terkubur karena longsor." Mbah Harso geram.

"Ini tehnya, Pak." Winarsih keluar dari dapur dengan segelas teh dan mengambil tempat di sebelah suaminya duduk.

"Kasihan anak cucu kita jika terus begini. Orang kota itu hanya mementingkan perutnya sendiri." Mbah Harso masih geram sambil menyeruput teh panas kental manis buatan Winarsih.

"Aku akan terus menyemai bibit pepohonan dan menanamnya. Agar anak cucu kita tidak terlantar," sambungnya.

***

Selepas Subuh dengan berbekal nasi yang dibungkus daun pisang Mbah Harso melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak menuju hutan. Baginya, pantang ke hutan sesudah mentari terbit lebih dulu. 

Dipanggulnya beberapa bibit pohon semampunya, maklum saja tubuhnya tak segagah dulu yang mampu memanggul bibit sampai sepuluh pot. Cangkul tua saksi pergantian musim pun tak ketinggalan dibawanya. Sesampainya di gubuk, ia beristirahat sebentar. Ia mengumpulkan tenaga yang terkuras di perjalanan.

Tangan keriputnya masih saja terampil mengurai mimpinya, menghijaukan hutan kembali. Saat dirasa tenaganya cukup pulih, ia melangkahkan kaki menuju daerah hutan yang dianggapnya kritis, tandus, dan pohon-pohonnya telah tumbang. Ia pun menggali lubang dan menanam bibit pohon akasia.

"Jika pohon ini besar nanti, bunganya akan tertiup angin dan akan ada banyak bibit pohon yang bermunculan," pikirnya kala itu.

"Mbah Harso, Mbah Harso... ! Kurang kerjaan. Ini untuk apa? Jangan bermain-main seperti anak kecil!" Suara pongah itu merendahkan usaha Mbah Harso. Wiryo, pemilik suara itu. Ia mencabut dan membuang bibit-bibit yang sudah ditanamnya.

"Wiryo, jangan gila kamu!"

"Gila? Aku? Apa bukan kamu yang gila, Mbah? Lihat, apa yang kau lakukan? Tidak berbeda dengan permainan anak kecil."

Mbah Harso hanya diam duduk terpekur memandangi bibit-bibit pohon yang dibawanya sudah berserakan. Ia tertunduk lesu, tapi tekadnya untuk menghijaukan hutan tetap berkobar di hatinya. Ia tak boleh berhenti dan mengaku kalah atas penjajah hutan.

"Aku peringatkan, jangan sekali-kali menanam bibit pohon lagi kalau tidak mau berurusan denganku! Paham?" gertak Wiryo sambil berlalu.

Mbah Harso mengerti usahanya bakal mendapat perlawanan dari tangan kanan orang kota penguasa itu. Ia hanya mampu mengelus dada. Tatapannya nanar memandang bibit-bibitnya teronggok di mana-mana. Hatinya teriris memandang impiannya disapu badai. Ia putuskan untuk kembali ke gubuk.

***

"Pak, Pak E ...." Terdengar suara Winarsih dari dapur.

"Ada apa kok teriak-teriak, Bu?"

"Monyet, Pak. Ada monyet. Ia mengambil pisang yang ada di dapur."

"Lho, sejak kapan monyet-monyet mampir ke rumah kita, Bu?" Mbah Harso bingung.

"Entahlah, Pak. Mungkin monyetnya nyasar," selorohnya.

Sejak kejadian itu, Mbah Harso dan istrinya semakin berhati-hati menyimpan makanan. Mereka pun masih bertanya-tanya dari mana asalnya si monyet itu.

"Mak, tadi aku dari rumah juragan Ismail. Aku melihat tiga ekor monyet masuk ke dapur dan mengacak-ngacak lumbung makanan milik juragan." Cerita Jamal yang kala itu baru saja pulang.

"Monyet? Masuk rumah?" tanya Winarsih ke anaknya.

"Baru saja ada seekor monyet yang sedang khusyuk makan pisang di dapur kita." Cerita Mbah Harso ke Jamal.

"Pisang yang ada di dapur?"

"Iya, Jamal. Lihat saja ke dapur, tinggal kulitnya!" ucap Winarsih.

Cerita mengenai monyet masuk perumahan warga pun bergulir kian cepat di kampung. Penduduk bertanya-tanya mengenai penyebab penyerbuan yang dilakukan monyet-monyet itu. Kebun-kebun warga pun porak-poranda di jajah monyet. Begitu juga dengan simpanan makanan mereka di dapur, ludes. Kepala Desa pun mengumpulkan warga untuk berembug.

"Kalian mau tau penyebabnya?" Mbah Harso yang baru saja datang menyela perbincangan warga.

"Apa itu, Mbah?"

"Hutan," jawabnya singkat.

"Hutan? Ada apa dengan hutan?" tanya Pak Seno tak mengerti.

"Lihat, hutan tempat monyet-monyet mencari makanan juga tempat tinggalnya kini telah gundul. Monyet itu kehabisan makanan, makanya mereka menyerbu pemukiman kita," jelas Mbah  Harso. Mendengar penjelasan Mas Harso, warga yang hadir pun mangggut-manggut mengerti.

Sejak itu, penduduk desa bersatu untuk melawan pembukaan hutan yang direncanakan untuk penanaman sawit oleh salah satu perusahaan. Warga menyusun strategi untuk mempertahankan hutan yang ada di batas desa.

"Selama ini, aku selalu menyemai bibit pohon dan aku tanam di hutan. Jika kalian berminat, kita bisa lakukan ini bersama-sama," Mbah Harso memberikan sebuah ide.

"Mbah, itu pekerjaan yang melelahkan tapi tak ada uangnya," seloroh salah satu warga.

"Betul kata Pak Marto, Mbah. Adakah ide yang bagus tapi sangat menguntungkan untuk kantong kita," Pak Eko menimpali.

"Ha ..., ha ...! Niat kalian itu menghijaukan kembali hutan atau menghijaukan dompet?" sahut Mbah Harso menimpali sambil menghisap rokok kreteknya.

"Kalau kalian inginkan uang, berpihaklah pada orang kota itu!" sambungnya.

Perbincangan pun semakin panas. Ide Mbah Harso dimentahkan oleh beberapa warga. Mereka menganggap ide itu tidak praktis. "Membuang waktu," katanya. Tapi, Mbah Harso tetap kukuh dengan idenya yang telah ia lakukan berpuluh tahun, menanami hutan kembali.

"Tolong ...! Tolong ...!" Terdengar teriakan ibu-ibu yang berlari menuju balai desa memecah konsentrasi bapak-bapak yang berkumpul.

"Ada apa ini, Ibu-ibu?" tanya kepala desa.

"Monyet, Pak. Monyet itu ada rajanya.  Mereka mengobrak-ngabrik warung  Bu Sri,"  cerita seorang ibu yang sedang ngos-ngosan.

"Raja monyet? Ah, yang benar saja, Bu?" kepala desa tak percaya. "Mana mungkin monyet mempunyai raja," sambungnya.

"Pak, Kurdi, Pak. Kurdi anak bapak. Em, anu ...!?" Ibu separuh baya itu bicara dengan terbata.

"Kenapa dengan Kurdi?"

"Anu, Pak. Dia ditahan oleh raja monyet."

"Tidak mungkin!" kepala desa itu kembali tak percaya mendengar cerita warganya.

"Benar, Pak. Kurdi membutuhkan pertolongan. Segera, Pak!"

Warga dipimpin Pak Seno sebagai kepala desa pun bergegas menuju tempat Kurdi ditahan raja monyet. Hati Pak Seno pun tidak karuan mendengar putra semata wayangnya disandera. Apa yang sebenarnya terjadi?

Di bawah pohon beringin, tampak Kurdi terbaring. Tak ada yang tahu kondisinya, apakah masih hidup atau sudah tak bernyawa. Darah mengucur deras dari sayatan luka yang digoreskan oleh cakar tajam si Raja Monyet. Tak jauh, Bu Irna duduk terkulai dan menangis melihat Kurdi yang terbaring di hadapan Raja Monyet.

"Bu, apa yang terjadi?" tanya Pak Seno ke istrinya. Tak ada jawaban dari mulut Bu Irna, tangannya menunjuk si Raja Monyet. Raja Monyet itu pun menyeringai memperlihatkan barisan giginya saat Pak Seno menatapnya.

Mbah Harso duduk bersila tanpa kata  di depan  si Raja Monyet.   Ia  menatap  lekat  ke arah matanya. Perlahan, didekatinya Raja Monyet itu yang mengulurkan tangan ke arah Mbah Harso sambil memperlihatkan giginya. 

Tak ada yang tahu apa yang diucapkan Mbah Harso, tapi si monyet menurut saja ketika Mbah Harso menggandeng tangannya dan menuntunnya pergi menjauh dari kerumunan warga menuju hutan. Sebagian warga mengiringi Mbah Harso dan sebagian lagi membawa Kurdi ke Puskesdes. Lukanya sangat parah, denyut nadinya lemah. Bu Irna dan Pak Seno menangis di samping Kurdi yang terbaring.

"Bu, aku minta maaf," ucap Pak Seno pelan.

"Maksud, Bapak?" Istrinya tak mengerti.

"Aku yang salah, Bu." Diremasnya tangan istrinya sambil tertunduk lesu.

"Maksud Bapak, apa?"

"Aku telah ikut andil dalam pembukaan hutan untuk penanaman sawit itu, Bu." Suaranya bergetar dengan diiringi tangis penyesalan.

"Jadi, Bapak antek-antek mereka?" Suara Bu Irna meninggi mendapati campur tangan suaminya.

"Pak, lihat Kurdi. Ini hasil dari ulahmu, Pak." Tangisnya kembali pecah. "Kurdi sedang kritis karena ulah Bapak," sambungnya dengan isakan.

"Aku minta maaf, Bu. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku telah membuat nyawa anak kita terancam." Pak Seno bersimpuh di hadapan istrinya.

"Aku berjanji akan melawan perusahaan yang menjarah hutan kita, Bu. Aku akan memerangi mereka demi menebus kesalahanku pada Kurdi."

Tak ada sahutan dari Bu Irna. Hanya isak tangis yang menggema di ruangan yang begitu sempit. Bu Irna meratapi nasib anak semata wayangnya.

Semenjak kejadian itu, Pak Seno memimpin warga untuk melawan penjarah hutan dengan menanami kembali bagian hutan yang gundul. Ia menggalakkan cinta lingkungan. Pak Seno tak mau lagi disogok dengan rupiah bermilyar pun oleh orang kota yang akan menjarah hutan. Ia yang didampingi Mbah Harso mensosialisasikan ke warga mengenai reboisasi hutan. 

Mbah Harso sebagai pelopor reboisasi pun mendapatkan pengakuan oleh pihak pemerintah. Mbah Harso bahagia, di ujung senja hidupnya lebih berharga bagi hutan lindung yang baginya sebagai rumahnya.

Kini, warga dapat hidup tenang dan tentram. Tak ada lagi monyet-monyet yang menyerang pemukiman. Mereka hidup berdampingan dengan penghuni hutan dengan menjaga kelestarian hutan.

***

"Belantara lara tak lagi terluka. Kini ia hijau, membuatku terpukau. Rimbaku amat nyaman dan tentram. Hidupku tenang dan perutku kenyang. Oh, bahagia tak terkira." Kidung yang dinyanyikan raja monyet dengan diiringi tetarian rakyatnya di altar agung raya.

Mbah Harso ternyum bahagia menyaksikan tontonan yang disuguhkan rakyat hutan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun