"Aku minta maaf, Bu. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku telah membuat nyawa anak kita terancam." Pak Seno bersimpuh di hadapan istrinya.
"Aku berjanji akan melawan perusahaan yang menjarah hutan kita, Bu. Aku akan memerangi mereka demi menebus kesalahanku pada Kurdi."
Tak ada sahutan dari Bu Irna. Hanya isak tangis yang menggema di ruangan yang begitu sempit. Bu Irna meratapi nasib anak semata wayangnya.
Semenjak kejadian itu, Pak Seno memimpin warga untuk melawan penjarah hutan dengan menanami kembali bagian hutan yang gundul. Ia menggalakkan cinta lingkungan. Pak Seno tak mau lagi disogok dengan rupiah bermilyar pun oleh orang kota yang akan menjarah hutan. Ia yang didampingi Mbah Harso mensosialisasikan ke warga mengenai reboisasi hutan.Â
Mbah Harso sebagai pelopor reboisasi pun mendapatkan pengakuan oleh pihak pemerintah. Mbah Harso bahagia, di ujung senja hidupnya lebih berharga bagi hutan lindung yang baginya sebagai rumahnya.
Kini, warga dapat hidup tenang dan tentram. Tak ada lagi monyet-monyet yang menyerang pemukiman. Mereka hidup berdampingan dengan penghuni hutan dengan menjaga kelestarian hutan.
***
"Belantara lara tak lagi terluka. Kini ia hijau, membuatku terpukau. Rimbaku amat nyaman dan tentram. Hidupku tenang dan perutku kenyang. Oh, bahagia tak terkira." Kidung yang dinyanyikan raja monyet dengan diiringi tetarian rakyatnya di altar agung raya.
Mbah Harso ternyum bahagia menyaksikan tontonan yang disuguhkan rakyat hutan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H