Di bawah pohon beringin, tampak Kurdi terbaring. Tak ada yang tahu kondisinya, apakah masih hidup atau sudah tak bernyawa. Darah mengucur deras dari sayatan luka yang digoreskan oleh cakar tajam si Raja Monyet. Tak jauh, Bu Irna duduk terkulai dan menangis melihat Kurdi yang terbaring di hadapan Raja Monyet.
"Bu, apa yang terjadi?" tanya Pak Seno ke istrinya. Tak ada jawaban dari mulut Bu Irna, tangannya menunjuk si Raja Monyet. Raja Monyet itu pun menyeringai memperlihatkan barisan giginya saat Pak Seno menatapnya.
Mbah Harso duduk bersila tanpa kata  di depan  si Raja Monyet.  Ia  menatap  lekat  ke arah matanya. Perlahan, didekatinya Raja Monyet itu yang mengulurkan tangan ke arah Mbah Harso sambil memperlihatkan giginya.Â
Tak ada yang tahu apa yang diucapkan Mbah Harso, tapi si monyet menurut saja ketika Mbah Harso menggandeng tangannya dan menuntunnya pergi menjauh dari kerumunan warga menuju hutan. Sebagian warga mengiringi Mbah Harso dan sebagian lagi membawa Kurdi ke Puskesdes. Lukanya sangat parah, denyut nadinya lemah. Bu Irna dan Pak Seno menangis di samping Kurdi yang terbaring.
"Bu, aku minta maaf," ucap Pak Seno pelan.
"Maksud, Bapak?" Istrinya tak mengerti.
"Aku yang salah, Bu." Diremasnya tangan istrinya sambil tertunduk lesu.
"Maksud Bapak, apa?"
"Aku telah ikut andil dalam pembukaan hutan untuk penanaman sawit itu, Bu." Suaranya bergetar dengan diiringi tangis penyesalan.
"Jadi, Bapak antek-antek mereka?" Suara Bu Irna meninggi mendapati campur tangan suaminya.
"Pak, lihat Kurdi. Ini hasil dari ulahmu, Pak." Tangisnya kembali pecah. "Kurdi sedang kritis karena ulah Bapak," sambungnya dengan isakan.