Dipanggulnya beberapa bibit pohon semampunya, maklum saja tubuhnya tak segagah dulu yang mampu memanggul bibit sampai sepuluh pot. Cangkul tua saksi pergantian musim pun tak ketinggalan dibawanya. Sesampainya di gubuk, ia beristirahat sebentar. Ia mengumpulkan tenaga yang terkuras di perjalanan.
Tangan keriputnya masih saja terampil mengurai mimpinya, menghijaukan hutan kembali. Saat dirasa tenaganya cukup pulih, ia melangkahkan kaki menuju daerah hutan yang dianggapnya kritis, tandus, dan pohon-pohonnya telah tumbang. Ia pun menggali lubang dan menanam bibit pohon akasia.
"Jika pohon ini besar nanti, bunganya akan tertiup angin dan akan ada banyak bibit pohon yang bermunculan," pikirnya kala itu.
"Mbah Harso, Mbah Harso... ! Kurang kerjaan. Ini untuk apa? Jangan bermain-main seperti anak kecil!" Suara pongah itu merendahkan usaha Mbah Harso. Wiryo, pemilik suara itu. Ia mencabut dan membuang bibit-bibit yang sudah ditanamnya.
"Wiryo, jangan gila kamu!"
"Gila? Aku? Apa bukan kamu yang gila, Mbah? Lihat, apa yang kau lakukan? Tidak berbeda dengan permainan anak kecil."
Mbah Harso hanya diam duduk terpekur memandangi bibit-bibit pohon yang dibawanya sudah berserakan. Ia tertunduk lesu, tapi tekadnya untuk menghijaukan hutan tetap berkobar di hatinya. Ia tak boleh berhenti dan mengaku kalah atas penjajah hutan.
"Aku peringatkan, jangan sekali-kali menanam bibit pohon lagi kalau tidak mau berurusan denganku! Paham?" gertak Wiryo sambil berlalu.
Mbah Harso mengerti usahanya bakal mendapat perlawanan dari tangan kanan orang kota penguasa itu. Ia hanya mampu mengelus dada. Tatapannya nanar memandang bibit-bibitnya teronggok di mana-mana. Hatinya teriris memandang impiannya disapu badai. Ia putuskan untuk kembali ke gubuk.
***
"Pak, Pak E ...." Terdengar suara Winarsih dari dapur.