Mohon tunggu...
Fauzan Ravif
Fauzan Ravif Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahasiswa Hukum

Fauzan Ravif, Mahasiswa Fakultas Hukum UMJ angkatan 2019

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Delik Santet dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

15 Agustus 2022   19:55 Diperbarui: 16 Agustus 2022   10:54 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto media untuk alat mensantet. Sumber: tirto.id

Santet dalam pandangan masyarakat Indonesia merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap seseorang melalui ilmu sihir atau ghaib. Penyebutan santet dapat bermacam-macam, seperti dalam suku using banyuwangi disebut mesisan khantet (lengket) dan mesisan benthet (retak).

Ilmu santet di Jawa Barat disebut sogra atau teluh ganggaong, di Maluku dan Papua disebut Suangi, Sumatera Barat disebut puntianak, Sumatera Utara disebut begu ganjang, di Bali disebut dengan desti, leak, atau teluh terangjana, dan berbagai macam penyebutan lainnya di berbagai daerah.

Santet merupakan praktik ilmu hitam dengan menggunakan bantuan mediator jin yang dimana hal ini dapat dikategorikan sebagai sorcery (tenung) atau witchcraft (ilmu sihir).

Pembaharuan terkait konsep kriminalisasi terhadap delik santet dalam hukum pidana Indonesia telah mengalami berbagai macam perkembangan, hal ini pernah dirumuskan dari tahun 1993 sampai tahun 2019, yaitu :

a. Pasal 223 konsep RKUHP tahun 1993 menyatakan bahwa "Barang siapa dengan mengaku mempunyai kekuatan magis, memberitahukan atau menimbulkan harapan kepada orang lain bahwa oleh karena perbuatannya dapat ditimbulkan kematian atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV".

b. Pasal 292 konsep RKUHP tahun 1999 sampai dengan 2012 menyatakan bahwa "(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV".

c. Pasal 293 konsep RKUHP 2013 menyatakan bahwa "setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik dipidana penjara paling lama lima tahun." 

Kemudian dalam ayat (2) menyatakan bahwa "Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)."

d. Pasal 295 ayat (1) konsep RKUHP 2015menyatakan bahwa "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV." 

Kemudian dalam ayat (2) menyatakan bahwa "Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)."

e. Pasal 545 ayat (1) Konsep KUHP Indonesia menyatakan bahwa "Barangsiapa menjadikan sebagai pencahariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah." 

Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa "(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan."

       Dari ketentuan konsep Pasal 545 ayat (1) KUHP Indonesia seseorang dapat didakwa melakukan pelanggaran apabila :

a. Menjadikan objek pencaharian kehidupan,

b. Untuk peruntungan terhadap seseorang,

c. Orang tersebut melakukan perbuatan peramalan atau penafsiran impian.

Dalam ketentuan Pasal 545 ayat (1) KUHP Indonesia tersebut dapat dikatakan pelaku pelanggaran dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan harus dilakukan oleh pelaku usaha (bedriff) atau dijadikan sebagai mata pencaharian. 

Dan dalam kurun waktu 1 tahun apabila melakukan pelanggaran tindak pidana yang sama sesuai dengan pasal 545 ayat (1) sejak diputus terakhir secara sah (inkracht), maka hukuman pidana perbuatan tersebut dapat dilipatduakan. Hal ini berarti tanpa adanya penuntutan Kembali maka hukuman tersebut dapat dilaksanakan.

Pasal 546  Konsep KUHP Indonesia menyatakan bahwa: "Diancam dengan pidana kurungan paling lam tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :

1. barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib;

2. barangsiapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri."

Ketentuan tindak pidana pada Pasal 546 ayat (1) dan (2) KUHP merupakan opzettelijke delicten yaitu perbuatan-perbuatan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja, berupa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan ilmu atau pelajaran ilmu ghaib yang dimana perbuatan ini dapat dikatakan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

Pasal 547 KUHP Indonesia menyatakan bahwa : "Seorang Saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan di bawah sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah."

Dalam proses pengadilan, apabila seorang saksi memakai jimat atau benda sakti agar sumpah tidak menjadi berdaya dan dapat mengatakan sesuatu yang tidak benar maka dapat dipidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.

Selain itu, perbuatan santet diatur dalam peraturan lain yakni Pasal 13 perundang-undangan Majapahit yang menyatakan bahwa:

"Barangsiapa menulis nama orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti mati, atau di atas dodot yang berbentuk boneka, atau barang siapa menanam boneka tepung yang bertuliskan nama dikuburan, menyangsangkannya di atas pohon, ditempat sangar, atau dijalan simpang, orang yang demikian itu sedang menjalankan tenung yang sangat berbahaya.

Barangsiapa menuliskan nama orang lain di atas tulang, di atas tengkorak dengan orang lain, darah dan trikatuka dan kemudian merendamnya di dalam air, atau menenemnya ditempat penyiksaan perbuatan itu disebut menenung.

Barangsiapa berbuat demikian, dikenakan hukuman mati oleh raja yang berkuasa."

Konsepsi rumusan RKUHP 2019 menyatakan bahwa :

"(1) Setiap orang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (Tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)."

Dalam rumusan Rancangan KUHP 2019 pada Pasal 252 merupakan upaya kriminalisasi dari tindakan mengenai persantetan. 

Hal ini berujuan untuk mencegah terjadinya penipuan terhadap masyarakat umum dari seseorang yang mengaku memiliki kekuatan supranatural atau kekuatan ghaib agar tidak terjadi kejahatan, mencegah masyarakat agar tidak mencari seseorang yang memiliki kekuatan supranatural atau kekuatan ghaib ntuk kejahatan,

 mencegah masyarakat umum agar tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichtin) terhadap orang yang memiliki kekuatan supranatural atau kekuatan ghaib,dan memberikan masyarakat umum agar dapat berfikir secara rasional dan objektif dalam menjalani kehidupan.

Pembuktian dalam pengadilan terhadap pelaku santet sering kali sulit dibuktikan dikarenakan negara Indonesia menjunjung tinggi asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevie lege poenali.

 Sulitnya pembuktian terhadap perbuatan tindak pidana santet dikarenakan santet merupakan perbuatan mistis yang abstrak dimana sulit untuk dibuktikan kebenaran materiilnya mengingat hukum acara pidana bertujuan untuk menegakkan kebenaran materiil. Sehingga dalam Pasal 252 RKUHP diklasifikasikan sebagai delik formil agar pelaku santet dapat dikriminalisasi akibat perbuatannya.

Dalam rumusan RKUHP 2019, dapat kita klasifikasikan bahwa tindak pidana santet merupakan tergolong sebagai tindak pidana (delik) formil. Delik formil merupakan sesuatu perbuatan pidana yang dianggap telah memenuhi semua perbuatan pidana yang dilarang tanpa melihat akibatnya.

Dalam rumusan RKUHP 2019 Pasal 252 mengklasifikasikan bahwa delik dalam pasal ini adalah delik formil dimana suatu tindak pidana dilihat dari perbuatan pidananya tanpa melihat akibat yang dilakukan tersebut seperti dapat mengakibatkan kesengsaraan atau kematian. 

Delik formil imi menekankan terhadap dilarangnya perbuatan, bukan terhadap akibat dari suatu perbuatan.Dalam rumusan Pasal 252 menjadikan delik formil mulai dari mempersiapkan kejahatan (ante factum), melakukan kejahatan (factum), dan setelah melakukan kejahatan (post factum).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun