Ketentuan tindak pidana pada Pasal 546 ayat (1) dan (2) KUHP merupakan opzettelijke delicten yaitu perbuatan-perbuatan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja, berupa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan ilmu atau pelajaran ilmu ghaib yang dimana perbuatan ini dapat dikatakan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
Pasal 547 KUHP Indonesia menyatakan bahwa : "Seorang Saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan di bawah sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah."
Dalam proses pengadilan, apabila seorang saksi memakai jimat atau benda sakti agar sumpah tidak menjadi berdaya dan dapat mengatakan sesuatu yang tidak benar maka dapat dipidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
Selain itu, perbuatan santet diatur dalam peraturan lain yakni Pasal 13 perundang-undangan Majapahit yang menyatakan bahwa:
"Barangsiapa menulis nama orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti mati, atau di atas dodot yang berbentuk boneka, atau barang siapa menanam boneka tepung yang bertuliskan nama dikuburan, menyangsangkannya di atas pohon, ditempat sangar, atau dijalan simpang, orang yang demikian itu sedang menjalankan tenung yang sangat berbahaya.
Barangsiapa menuliskan nama orang lain di atas tulang, di atas tengkorak dengan orang lain, darah dan trikatuka dan kemudian merendamnya di dalam air, atau menenemnya ditempat penyiksaan perbuatan itu disebut menenung.
Barangsiapa berbuat demikian, dikenakan hukuman mati oleh raja yang berkuasa."
Konsepsi rumusan RKUHP 2019 menyatakan bahwa :
"(1) Setiap orang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (Tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)."
Dalam rumusan Rancangan KUHP 2019 pada Pasal 252 merupakan upaya kriminalisasi dari tindakan mengenai persantetan.Â