"Kalau gitu kita nikah. Terima lamaran aku." Lelaki beralis tebal ini menatapku serius.
"Dalam waktu dekat nggak bisa, Sayang. Mungkin tahun depan. Aku mau ke luar daerah tahun ini, ada banyak agenda workshop dan juga kopdar komunitas. Semua itu bahkan dibiayai, jadi aku bener-bener nggak bisa ngelepas kesempatan ini. Sekalian juga promosiin buku. Sekarang waktunya aku fokus ke impian. Ini waktunya."
Asgar yang tadinya tersenyum mendadak berdecak. Dia mengacak rambut yang hampir grondong itu. "Dengan kata lain kamu mau ketemu Akif di sana?"
"Asgar-," Aku marah tertahan. Dia terlalu posesif.
"Please, Sweety. Aku laki-laki mapan, udah waktunya nikah. Kita bisa hidup berdua dengan baik. Kamu pengen hidup lebih baik, kan? Aku bisa kasih itu. Kamu berhenti kerja. Kita bisa mulai semua sama-sama. Mau, ya?" Dia memohon.
Tak terasa mataku berkaca-kaca. Hati rasanya ingin teriak. Aku tahu hubungan kami ini serius untuk menikah, tapi sekarang aku belum siap. Aku ingin mewujudkan mimpi-mimpi kecilku sebelum benar-benar menjadi istri orang. Kata penerbit, naskahku ini telah menarik minat beberapa rumah produksi. Dengan kata lain akan ada kesempatan untuk difilmkan. Bukankah ini kesempatan besar? Aku harus fokus dulu mengurusi semua ini.
"Kalau kamu siap nunggu setahun lagi, aku bakal terima. Kita nikah saat itu juga." Nadaku bergetar.
"Kenapa? Kamu nggak yakin aku bisa bahagiain kamu? Memang kerjaan aku cuma di bengkel, tapi aku bisa bikin kamu bahagia. Hidup kita bakal tenang. Kamu nggak perlu kerja online sampe tengah malam. Aku pengen kamu berhenti ngelakuin itu."
"Kamu sadar nggak sih, Gar, kamu ngajak aku nikah sekaligus ngingkarin janji yang kamu buat?"
Asgar menatap bingung.
"Kamu janji buat bahagiain aku, tapi pengen setelah nikah aku berhenti dari dunia literasi. Itu sama aja kamu ingkar janji karena bahagiaku cuma di situ. Bukan sekadar kerja, tapi itu hobi dan impianku juga. Itu duniaku dan kamu cintaku. Aku nggak mau dipaksa milih salah satu aja."