"Ini serius, kan? Ya Allah, seneng banget. Huwaaa, pengen nangis. Alhamdulillah, kok masih kayak mimpi aja, ya," kataku yang sudah meloncat-loncat girang. Sesekali membaca lagi pesan di layar ponsel tersebut. Kesenangan itu terjeda saat ada pesan baru. Dari penerbit, menanyakan kelanjutannya. Kebetulan aku belum keluar dari room chat. Segera aku membalas dengan kalimat mengizinkan sekaligus terima kasih.
Sungguh ini di luar dugaan. Padahal sejak terbit pertama kali, aku tidak pernah berharap lebih bahwa karyaku akan begitu disukai banyak orang. Mungkin karena pembacanya yang jutaan di platform dan banyaknya review bagus di sosial media. Tak kusangka dari sekian karya, judul itulah yang pertama kalinya diterbitkan dan akan naik cetak yang kedua. Aku sampai tak bisa berkata-kata. Setelah panjangnya perjuangan. Thank God!
Hatiku terus berbunga-bunga. Bahkan hingga sore ini, ketika ingin bertemu dengan Asgar---kekasihku---di kafe langganan kami. Aku tiba lebih dulu, sibuk melirik arloji karena Asgar tak kunjung datang. Rasanya tak sabar.
"Akhirnya kamu datang!" seruku senang, berdiri menyambut lelaki berkulit gelap itu. Aroma parfumnya menguar, bau yang kurindukan beberapa hari terakhir.
"Tumben ngajak ketemu? Biasanya minta disamperin di rumah," tanyanya setelah duduk. Aku terkekeh, memamerkan senyum lebar. Segera memesankan secangkir kopi kesukaannya. Mengulur waktu. "Coba tebak alasannya."
Kening Asgar mengernyit, "Nggak tahu."
Aku berdecak. Tidak biasanya dia secuek ini. Segera aku mengambil alih keadaan, tidak ingin merusak mood. "Okelah, aku kasih tahu. Naskahku yang belum lama ini terbit sekarang mau proses cetakan kedua, Sayang! Gila nggak tuh!"
"Oh ya? Selamat," ucap Asgar setelah ada jeda sedikit. Aku mengerjap, respon macam apa itu? Binar bahagia ini mulai meredup. "Kok gitu sih, responnya, Sayang?"
Tak ada jawaban. Kebetulan pramusaji baru saja datang meletakkan kopi pesanan. Aku menatap manik Asgar, dia tampak ... bingung? Atau mungkin dia ada masalah di tempat kerja? "Kamu ada masalah di bengkel, Sayang? Kenapa lagi? Rencana buka cabang baru ada kendala, ya?" tanyaku lembut mencoba mengerti.
Asgar menghela napas. "Bukan masalah kerjaan, tapi ini tentang kamu."
Aku menunjuk diri sendiri. Bingung. Sejenak berpikir, atau ini perihal telepon semalam? "Tadi malam aku ngantuk banget, Sayang. Serius. Abis revisi naskah, udah ditagih soalnya."