Aku berdecak. Setelah pertemuan di kafe yang berakhir mengambang kami sama sekali tak ada komunikasi. Tak berkabar selama sepekan. Mendadak dia datang dengan pribadi yang hangat dan manis seraya membicarakan lamaran. Aneh sekali, bukan?
"Maaf, Sweety, waktu itu aku lagi cemburu. Kamu tahu, kan, kalau aku cemburu gimana? Manalagi kamu akhir-akhir ini nggak mau diajak teleponan lama-lama padahal aku pengen ngobrol banyak."
"Bukannya gimana, Sayang, aku pernah bilang kalau aku males basa-basi. Kita bisa teleponan, tapi cuma berkabar aja, toh kamu selalu ke sini kapan pun kamu mau dan kita ngobrol banyak."
"Kamu selalu online dan kita nggak komunikasi itu bikin aku mikir macem-macem, Sweety."
"Kamu butuh bukti apalagi? Aku bukan tipe cewek yang gampang jatuh cinta. Dulu aja kamu mesti ngejar dan yakinin aku setahun baru aku nerima kamu. Karena kamu berhasil buktiin kalau kamu serius. Lagian aku online karena kerjaan, nggak ada skinship atau chating-an sama cowok lain." Nada suaraku meninggi dan aku baru menyesalinya. Aku menghela napas.
Hening.
"Maaf, Sayang. Lagian kamu aneh banget. Kemarin nyuekin aku dan sekarang kamu datang ngelamar?" Aku menyelidik Asgar yang menggeleng pelan.
"Kemarin aku nyesel. Serius. Sengaja ngejauh dulu biar dicariin. Maunya sebulan, tapi aku nggak sanggup, Sweety. Takut kamu curhat ke Akif terus nyaman sama dia."
Akif, Akif, Akif! Aku muak! Lagipula jika ada masalah dengan Asgar, aku lebih memilih curhat di diary. Kenapa dia selalu menarik masuk orang lain ke dalam hubungan ini? Aku memijit pelipis. "Kita udah dewasa, please jangan kekanakan."
"Kamu cinta sama aku, kan?" tanyanya. Aku menahan kesal. Pertanyaan menjurus ke mana lagi ini?
"Cinta, pake banget."