"Tidur atau chating-an sama si Akif? Abis akun WhatsApp kamu masih on. Aku chat nggak nyaut."
"Kok bawa-bawa Akif, sih?" Aku tak habis pikir.
Well, Akif adalah rekanku di salah satu komunitas. Kami sama-sama pengurus. Sering diledek oleh rekan lain karena dekat sejak empat tahun lalu. Kedekatan itu bermula karena dia punya humor receh dan sering ikut denganku dalam banyak event. Kami hanya teman dunia maya, tidak pernah berjumpa di dunia nyata. Jujur aku hanya menganggapnya sebatas sahabat.
"Ya biasanya kan, gitu. Chat sama Akif selalu lebih panjang dan seru." Suara Asgar terdengar ketus. Aku menggeleng pelan. "Aku lupa matiin data seluler. Lagian sejak setahun lalu kita pacaran, aku dan Akif nggak sedekat dulu. Dia cuma chat aku kalau ada perlu. Demi kamu aku jauhin diam, Sayang."
Asgar membuang pandangan. Aku tak habis pikir. Akhir-akhir ini dia berbeda. Mungkin dia juga merasa aku begitu. Kunci hubungan harmonis adalah komunikasi. Namun, aku merasa Asgar terlalu kekanakan untuk mengerti posisiku. "Coba sebutin apa yang bikin kamu kesel sama aku."
Asgar menggeleng. "Nggak ada, Harika."
Aku terkejut. Harika? Ke mana panggilan Sweety-nya? Pertemuan di kafe ini berakhir datar.
***
Saat sibuk-sibuknya promosi buku yang hampir cetak seribu eksemplar, aku dikejutkan oleh kedatangan Asgar ke rumah. Dia membicarakan perihal lamaran di depan orang tuaku. Sungguh kejutan luar biasa.
"Kamu kenapa, sih, Sayang?" tanyaku heran saat kami duduk berdua di teras.
Dia menoleh. "Kenapa, Sweety?