"Ckk, Papa nggak akan ngerti. Mulai sekarang aku nggak akan pernah mau naik motor ini lagi!"
***
Tok! Tok!
"Li, Papa minta maaf."
Aku mendengkus. Tak berniat menjawab atau bahkan membuka pintu kamar. Biarlah ini sebagai bentuk protes. Selama ini aku sudah lelah mengeluh, tapi tak ditanggapi.
"Buka pintunya dong, Li." Itu suara Mama.
"Aku mau berhenti sekolah aja kalau masih dianter jemput pake rongsokan itu!" seruku. Terdengar helaan napas dari Papa dan suara Mama yang menyemangatinya.
Esoknya aku tak menemukan si butut di depan rumah. Baguslah. Setidaknya teras rumah terlihat lebih cantik. Juga aku tak perlu sakit hati mendengar nyinyiran tetangga tentang si butut. Namun, senyum cerahku mendadak mendung saat terdengar bunyi motor yang khas dari kejauhan. Aku meringis, tapi Papa malah tersenyum senang.
Ckk!
"Li, biarin ini jadi momen terakhir kita naik si butut. Ayo!" Papa tampak bersemangat.
Mama mengangguk-angguk, memintaku menyetujui. Meski tidak mau, terpaksa aku duduk lagi di boncengan. "Pokoknya ini yang terakhir, Pa!" tegasku.
"Iya-iya." Papa tertawa.
***