Klakson motor menjerit disusul panggilan dari Papa. Aku mendesis kesal. Tetap berjalan tanpa menoleh.
Dulu saat kecil aku suka sekali diajak Papa jalan-jalan. Motornya kuanggap pahlawan. Seiring waktu hanya motor itu yang setia menemani. Entah sudah berapa umurnya, tapi sekarang sudah layak dipensiunkan. Hanya saja Papa tak sepaham. Lelaki pecinta benda antik itu tetap setia dengan motornya. Dulu aku bangga duduk di jok si butut, tapi sekarang malah merasa malu.
"Tumben nggak naik si butut, Li?" Seorang teman menyapa di koridor sekolah. Memantik tawa teman-teman lain. Aku berdecak. Mencoba sabar.
"Eliya, nggak denger klakson serak-serak basah motor lo, pagi gue berasa nggak afdol!" seru teman yang berada di lantai atas.
Tahan ... tahan. Jangan marah. Mulut mereka memang suka benar.
***
Piipp!
Aku menahan sebal. Di depan gerbang sekolah sudah ada Papa dengan senyum lebarnya. Teman-teman menggodaku. Dengan wajah masam aku menghampiri Papa.
"Ngapain sih jemput aku, Pa?"
Papa tertegun. "Tadi pagi kamu naik apa? Ini sengaja Papa jemput biar hemat ongkos."
Sontak aku membuang muka. Ledekan teman-teman berputar-putar dalam benak. Tanpa sadar mataku berkaca dan rasanya emosi. "Papa sadar nggak sih? Aku malu! Malu duduk di motor ini! Ralat, rongsokkan ini."
"Kamu bicara apa, Li?" Mata tua itu mendadak sendu.