Brem! Brem! Brem!
Aku melirik kesal motor butut yang sedang dipanaskan itu. Sudah tua, tapi masih saja sering dipakai. Bagian yang paling menganggu adalah saat bunyi mesinnya yang lancar itu mendadak seperti sedang batuk-batuk. Aku gemas ingin memberinya obat warung.
"Kasian motornya dah berumur, jangan terlalu dipaksa," kata tetangga yang lewat.
Uhuk! Aku langsung pura-pura menoleh ke arah lain. Menegaskan bahwa aku tak ada hubungannya dengan motor itu.
"Makin tua makin antik, Bu." Papa menimpali dengan kekehan. Heran, Papa masih bisa baik-baik saja padahal tadi tetangga sedang menyindir.
"Ayo buruan, Li! Biar nggak telat nanti!" seru Papa mengajakku yang langsung mendengkus. Cemberut sebal. Lelaki bertubuh jangkung itu malah mengedipkan mata, aku mengentakkan kaki sebelum menghampiri.
"Kapan sih Papa ganti motor? Aku malu!" ketusku bersidekap dada.
Kalau tahu begini lebih baik aku naik ojek saja. Daripada ke mana-mana selalu diantar Papa dengan motor bututnya itu.
"Dia ini antik, lho, Li."
"Iya, udah layak dimuseumkan!" Dengan kesal aku berlalu. Sudah cukup menahan semua ejekan gara-gara si butut itu.
"Eh, Li! Li kamu mau ke mana? Eliya!" Papa berseru yang tentunya tak kuabaikan.
Piipp!