Sepulang sekolah tak kutemukan si butut di rumah. Kali ini aku senang. Apalagi mendengar info dari Mama bahwa motor itu sudah dijual. Tak sia-sia aku merajuk.
Drtttt ....
Ponsel Mama bergetar lantas bernyanyi. Volumenya keras. Ada panggilan masuk. Berhubung Mama masih di dapur, aku lekas mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, iya saya anaknya. Ini siapa ya? Kok pake hape papa saya?"
"..."
Deg.
Napasku seakan terhenti. Tanganku bergetar.
"Dari siapa, Li?" tanya Mama. Aku menoleh, menatap kosong. Kalimat itu ada, tapi aku seperti tak bisa bicara. Raut Mama sedetik kemudian berubah cemas. Segera mengambil alih ponsel. Mama ikut terhenyak setelah bicara di telepon. Kami saling bertatapan dengan mata berkaca, sontak Mama menarikku untuk lekas pergi.
Tap! Tap! Tap!
Kami menelusuri koridor rumah sakit dengan langkah cepat. Dalam hati aku berdoa semoga Papa baik-baik saja. Jantungku bertalu-talu dengan perasaan campur aduk. Kami menemukan Papa yang terbaring lemah di ruang penangan pertama. Sedang ditangani.
Sepuluh puluh menit kemudian kami bisa menemuinya. Aku sudah menangis, lekas memeluk Papa yang menatap kami dengan tenang. Kakinya diperban. Aku menyesal karena merasa akulah penyebab insiden ini. Andai aku tak meminta si butut dijual, mungkin Papa tidak akan mengalami kemalangan ini.
"Shhtt, udah Papa nggak papa. Cuma keserempet motor pas mau nyebrang. Tadi si butut udah laku. Lumayan, kita bisa beli motor baru, tapi yang seken. Nggak papa, kan?" Papa tertawa.