Mohon tunggu...
Fatmasari
Fatmasari Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pemimpi dari Kampung

Instagram : @fatmafama10 . Wattpad : heningrindu . NovelMe : Hening Rindu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Semesta Mulai Bercanda (Part 2)

7 Juni 2020   13:26 Diperbarui: 7 Juni 2020   13:25 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

2

Pada keadaan yang sebenarnya kau tidak pernah tahu benar siapa diriku, bahkan aku sendiri pun tidak pernah betul-betul mengenalinya.
_Aurum

Bila semesta memang ingin mempermainkannya lagi, maka dia terima. Akan disambutnya segala takdir yang tentu saja tidak semudah hari-hari sebelum ini. Toh, sudah sepatutnya takdir itu dijalani bukan malah diumpat, apalagi dimintai keadilan, begitu pikir gadis ini. Aurum memang berbeda dengan gadis-gadis pada umumnya. 

Dia jelita tetapi masih banyak yang lebih jelita dari dia, hanya saja dia berkharisma. Pancaran yang keluar dari jiwanya begitu membuatnya terlihat menonjol di antara gadis-gadis lain. Ya, setidaknya dari penglihatan Aska. 

Bagi laki-laki ini, tidak ada gadis serupawan gadisnya, Aurum, meski tidak sedikit gadis yang jauh lebih jelita menginginkannya. Hidupnya sebelum pertemuan mereka yang menakjubkan di suatu siang itu begitu sunyi. 

Mungkin, jika dilihat menurut warna, yang dia miliki hanya hitam dan putih. Tetapi sekarang, setelah dia berhasil memantapkan hati untuk berkata 'jatuh' pada segala hal yang ada pada diri gadis itu, warna-warna lain mulai terlihat oleh matanya, meskipun yang paling terang menampakan diri adalah warna kelabu. 

Iya, karena seberusaha apa dia mencoba menilik jauh ke dalam diri Aurum, semakin banyak pula tanda tanya yang bermunculan pada tempurung kepalanya. Gadis itu seperti tanda tanya besar yang tersusun dari tanda tanya-tanda tanya kecil yang teramat banyak.

***

Hujan sangat lebat dan hari semakin gelap. Tidak ada remang sinar bulan pun para bintang yang kalah pada pesona awan hitam. Jalanan menjadi sepi, hanya sesekali ada mobil yang lewat memecah ramainya cengkrama air langit dengan sang tanah. 

Gadis itu terlihat raganya di sebuah emperan toko sepatu yang telah tutup---karena memang saat itu sudah pukul 10 malam---tetapi dengan jelas pula terlihat bahwa jiwanya tidak ada di sana, dia seakan-akan tak hidup. 

Matanya kosong, tubuhnya seperti sudah beku oleh dinginnya angin yang membersamai hujan. Tentu saja seseorang yang tidak pandai bergaul seperti Aska tidak berani untuk menegurnya. 

Melihat wajahnya yang cantik tetapi juga sangat tegas dan garang. Alisnya yang tebal, bibir yang kecil tapi tidak tipis, hidung yang tak seberapa bangir, dan matanya yang lebar dengan iris hitam gelap. Aska terpesona, tetapi tidak berani memandang lama, takut jika tiba-tiba gadis itu mengetahuinya dan menjadi murka. 

Bukankah semua orang tidak pernah suka dipandang terlalu lama oleh orang lain? Bukan semua, pikirnya waras, dia sadar hanya dirinya yang merasa seperti itu. Nyatanya, orang-orang di luaran sana justru membuat sensasi hanya untuk mendapat pengakuan dan terkenal. Berlagak baik dan menjadi dermawan hanya karena ingin dilihat dan menjadi terpandang.

Tunggu! Bukankah gadis itu yang sempat meminjamkan pena padanya siang tadi? Aska yakin itu gadis yang sama. Tetapi kenapa tatapan matanya tidak seceria tadi? Matanya begitu hidup ketika kali pertama mereka bertemu, tetapi sekarang lain.

Bersamaan dengan hadirnya kilat yang disusul garangnya petir yang bergema, jeritan yang tidak kalah mengerikan keluar dari mulut gadis di pojok emperan toko itu. Tubuhnya yang sedari tadi berdiri mematung, kini sudah berubah gaya menjadi jongkok dengan kedua tangannya memeluk erat tempurung lututnya. 

Dan jika tak salah lihat, tubuhnya yang meringkuk itu bergetar. Dia seperti ketakutan? Gadis yang memiliki wajah secuek itu takut pada kilat petir dan gemuruh suara petir sampai sebegitunya? Hal ini sangat tidak masuk dalam akal Aska. Dia ingin menolong---karena memang hanya ada dia dan gadis itu di sana---tetapi dia tidak berani.

"Maaf, Mbak. Mbak tidak papa?" Akhirnya lelaki itu memberanikan diri untuk mendekat dan bertanya.

Wajah yang sedari tadi dibenamkan dalam-dalam pada kedua lutut itu memandangnya. Matanya yang semula dilihat oleh lelaki itu begitu kosong, kini jelas sekali terlihat takut. Bahkan mata itu sudah sempurna memerah karena tangis. Gadis itu sesegukan. Membuat Aska menjadi lebih bingung dan takut pula ditatap dengan diam oleh sang gadis.

"Ma-Mas, bisa minta tolong antarkan saya pulang?" ucap gadis itu berusaha menenangkan hatinya. Air mata terus mengalir dari mata indahnya. Membuat siapapun orang yang melihatnya tidak akan sampai hati menolak permintaannya.

"Tentu saja, tapi ini masih hujan, Mbak. Lebih baik kita nunggu sampai benar-benar reda, ya?" Hujan memang sudah tidak sederas sebelumnya, tetapi masih sanggup membuat kuyup jika nekat diterjang. Gadis itu mengangguk dengan sungguh. Sepertinya dia sudah mampu menguasai dirinya. Tetapi tetap saja, laki-laki itu tidak berani bertanya kenapa, untuk bertanya siapa nama gadis itu saja nyalinya ciut.

***

Seperti biasa, setiap pagi mereka akan berkunjung ke sebuah kedai kopi terlebih dahulu sebelum menuju tempat yang sebenarnya dituju. Dan seperti biasa pula, itu adalah permintaan dari Aurum. Sekarang mereka sudah duduk berhadap-hadapan sembari menunggu kopi yang telah dipesan. Tiba-tiba bayangan tentang pertemuan keduanya dengan Aurum melintas pada ingatan Aska. Pertemuan itulah yang membawanya masuk untuk pertama kalinya ke kedai kopi ini. Dan pertemuan itulah yang membuatnya semakin tertarik pada sosok gadis yang sekarang duduk dengan begitu manis di depannya.

Waktu itu, dia sedang menuntun sepeda motornya yang entah kenapa bannya bisa kempes. Tanpa sengaja seorang gadis menabrak tubuhnya dari arah samping yang membuatnya sedikit oleng. Gadis itu dengan suara yang terdengar tergesa-gesa meminta maaf. Setelah ditengoknya, ternyata gadis itu lagi, gadis yang meminjaminya pena saat ujian masuk perguruan tinggi dan gadis yang dilihatnya mematung di emperan toko ketika hujan lebat beberapa waktu lalu, gadis yang pada malam itu akhirnya diantarkan pulang olehnya, dan gadis itu, yang semenjak malam dengan hujan deras mengguyurnya, meduduki salah satu ruang dalam rongga kepalanya. Tidak menyangka dia akan bertemu lagi dengan gadis yang entah siapa namanya itu, dia tidak berani bertanya.

"Sekali lagi saya minta maaf, ya, Mas," ucap gadis itu, "eh, Mas ini kan yang beberapa hari lalu mengantar saya pulang, Masnya masih ingat?" ucapnya dengan sedikit ragu, takut jika dia salah orang.

"I-iya, Mbak."

"Nama saya Aurum." Tangan kanannya tak lupa terulur sebagai tanda bahwa dia ingin berjabat tangan dengan laki-laki itu. Laki-laki itu pun mengerti dan langsung menjabat tangan gadis di depannya dengan diam, tidak mengucapkan siapa namanya, dan hanya memandang takjub pada lengkung senyum yang begitu pas terlukis pada wajah ayu itu.

"Maaf, Mas, kalau boleh tahu, nama Mas siapa?"

"S-saya Aska." Setelah gadis itu bertanya baru dia memberitahukan namanya.

"Motornya kenapa, Mas?"

"Bannya kempes, Mbak."

"Di sebelah sana ada tukang tambal ban, mau saya antarkan? Itung-itung sebagai permintaan maaf saya karena tadi telah menabrak Masnya."

"B-boleh." Aska masih saja merasa kagum kepada pesona yang meguar dari raga gadis itu. Belum pernah dia merasa setertarik ini pada seorang wanita. Gadis itu seperti memiliki magnet yang kutubnya berlainan dengan kutub magnet milikinya. Yang mengakibatkan munculnya gaya tarik-menarik yang sangat besar dan tidak mampu ditolak oleh sang pemiliknya.

Setelah urusan ban motor milik Aska terselesaikan, dia berniat mengantarkan gadis itu pulang. Gadis itu sempat menolak, tetapi karena dia memaksa dan langit sudah sangat muram, akhirnya gadis itu mau. 

Dia berpikir pada waktu itu, mengapa pertemuannya dengan sang selalu pada keadaan seperti ini? Meskipun kali ini hujan belum turun, tidak seperti kali pertama mereka bertemu, tetapi langit sudah mengabarkan dengan pasti kalau sebentar lagi hujan deras akan datang. Benar saja, beberapa menit kemudian gerimis halus mulai menetes dengan gemulai.

"Maaf, Mas, kalau kita berteduh dulu bagaimana?" Suara gadis itu melerai bayangan dalam kepalanya mengenai pertemuan pertama mereka. Dia berkata tidak keberatan untuk mencari tempat berteduh terlebih dahulu, malahan hatinya akan sangat senang karena jika hujan benar-benar turun deras, dia bisa menikmati waktu lebih lama bersama makhluk indah yang sekarang diboncengnya.

Sampailah mereka di sebuah kedai kopi yang pada beranda depannya bertuliskan "Kopi Tak Pernah Berkhianat". Aneh sekali nama kedainya, pikir Aska. Aurum, gadis itu yang menyarankan untuk berteduh di kedai ini. Katanya, sekalian dia ingin mentraktirnya sebagai tanda terima kasih karena telah mau mengantarkan pulang pada waktu itu dan pada saat ini.

"Mbaknya duduk saja biar saya yang memesan, bagaimana?" tawar Aska pada gadis itu, entah kenapa tiba-tiba muncul keberanian itu. Untungnya gadis itu setuju dengan tawarannya, membuat hatinya merasa senang?

"Maaf, ini kopinya diberi gula?" Pertanyaan gadis itu diterima dengan janggal oleh kedua telinga Aska. Bukankah setiap seduhan kopi memang diberi gula? Tetapi kenapa gadis itu masih bertanya? Seolah hal itu sangat jarang dilakukan.

"Iya," jawabnya yang tidak bisa berpikir kata apa lagi yang lebih pantas untuk dikeluarkan dari pada kata yang barusan dia ucapkan.

"Kali lain kalau memesankan kopi untuk saya tidak perlu diberi gula. Saya tidak suka." Gadis itu berucap seakan-akan pertemuan mereka tidak akan terhenti sampai hari itu habis dimakan waktu.

"Kenapa? Bukankah itu akan sangat pahit?"

"Rasa kopi memang pahit, 'kan?" katanya balik memberikan pertanyaan, "saya hanya tidak ingin melukai kejujuran dari kepahitannya." Ditutupnya kalimat itu dengan senyum lebar yang memperlihatkan rentetan gigi putihnya. Manis sekali.

"Aska?" Aurum heran dengan laki-laki di hadapannya, yang tengah tersenyum dengan menatapnya, "Aska!" Dengan keras dia memanggil nama laki-laki itu, sampai seluruh pasang mata yang ada di sana mengarah pada mereka berdua.

"I-iya? Ada apa?" Sementara orang yang dipanggilnya merasa gugup karena tahu dia ketahuan melamun lagi.

"Ngelamunin apa, sih? Suka banget ngelamun, kemasukan setan tahu rasa!" Aurum sebal dengan Aska. Hari ini dia begitu suka melamun, entah apa yang dia lamunkan, tidak menjadi pemikiran Aurum. Yang jelas gadis itu tidak suka kehadirannya tak diacuhkan seperti itu.

"Nggak ngelamun, cuma ingat pertama kali aku ke sini dan mesenin kamu kopi yang kuberi gula."

"Terus?"

"Sebenarnya aku udah lama mau nanya ke kamu, kenapa suka sekali minum kopi hitam tanpa gula setiap pagi? Dan kenapa harus kedai ini yang jadi tempat pertama kamu datangi setiap hari?"

"Perlu banget dijawab, nih?"

"Iyalah."

Aurum pun becerita bagaimana awal mula dia merasakan sentuhan kenikmatan dari kopi hitam tanpa gula. Katanya, dulu sekali, saat dia masih kelas satu SMA, dia pergi ke kedai kopi ini untuk menghindari hujan yang lebat. Kebetulan saat itu dia merasa haus dan akhirnya memesan secangkir kopi. 

Tetapi bukan kopi hitam tanpa gula yang dia pesan, melainkan kopi susu yang manis. Lalu dia duduk di salah satu tempat yang kosong---saat itu keadaan kedai kopi ini sangat ramai. 

Selang beberapa menit Aurum duduk gelisah sendirian, ada seorang laki-laki yang datang dan meminta izin untuk duduk di bangku kosong di depannya. 

Orang itulah yang mengenalkannya pada kenikmatan kopi hitam. Kata Aurum, orang itu sangat pandai bercerita tentang bagaimana cara menikmati kopi dengan kejujuran. Katanya, jika kopi yang kita minum itu terasa manis sebab bercampur dengan gula, maka kita membohongi diri kita sendiri. 

Rasa kopi itu pahit dan saat dia berkata jujur, kenapa kita harus mengkhianatinya? Begitu kalimat yang Aurum kutip dari ucapan orang yang memperkenalkannya pada kopi hitam tanpa gula. 

Aska hanya mengangguk-angguk mendengar cerita itu tanpa mau tahu siapakah sosok yang ditemui kekasihnya dulu sampai-sampai dia memiliki kebiasaan aneh seperti ini. 

Dan apakah orang itu pernah menjadi sosok istimewa dalam kehidupan kekasihnya sebelum ini? Sehingga kegemarannya meminum kopi tanpa gula ditiru dan menjadi kebiasaan bagi gadisnya? Aska tidak mau tahu lebih jauh tentang sosok itu. Tanpa dia pungkiri hatinya sedikit cemburu. Tetapi apa mau dikata? Toh, itu hanya masa lalu. Tetapi bagaimana jadinya jika sosok itu suatu saat tanpa sengaja ditemui lagi oleh gadisnya? Apakah Aurum akan meninggalkannya?

bersambung ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun