"Beritahu aku rahasia itu."
"Manusia membenci seni. Karena seni yang memuaskan berasal dari pengalaman pahit yang memuakkan."
"Apa hubungannya denganku?"
"Ketika kau meromantisasi kehidupan, kematian terasa menakutkan. Tetapi ketika kau meromantisasi kematian, kehidupan terasa melegakan. Jawaban tidak selalu berupa jawaban."
Aku masih sukar memahami kata-kata Malaikat yang menurutku sangat acak dan tidak berkaitan dengan percakapan kami saat ini. Ia memasukkan kembali pisau itu ke dalam sakunya yang selebar layar bioskop. Aku menendang kaleng botol hingga melayang melewati cakrawala. Kakiku ngilu.
"Manusia itu lemah!" suaraku meninggi.
"Kau benci menjadi lemah?"
"Manusia tidak bisa mengendalikan dirinya."
"Mereka tidak perlu mengendalikan apapun."
Wajahku mengkerut dan mulai tidak nyaman dengan tatapan halusnya seolah aku adalah pendosa yang tidak tahu jalan pulang. Bukankah dia malaikat? Mengapa bersikap naif seperti makhluk rendahan?
"Berikan aku pisau itu," aku mengulurkan tangan, lebih tepatnya memintanya paksa. "Ada satu orang yang ingin aku singkirkan lebih dulu dari semua orang."