Mohon tunggu...
fatma ariyanti
fatma ariyanti Mohon Tunggu... Buruh - Citizen

Point of view orang ke-3

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siapa yang Ingin Kau Bunuh Selanjutnya

7 Maret 2024   12:14 Diperbarui: 7 Maret 2024   14:05 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku benci saat orang-orang melihatku, karena itu mereka semua kubunuh. Aku tidak tahan saat mereka menatapku dengan aneh, karena itu mereka semua kubunuh. Kau pikir aku terlalu percaya diri? Tidak, justru karena aku pengecut, karena itu aku melakukannya," kata Malaikat sembari mengulurkan pisau.

"Seharusnya kau menemuiku lebih cepat," sahutku setengah sadar. Aku melirik pisau itu.

"Aku tidak menemukanmu dimanapun."

Ia melirik pisau itu dan diriku bergantian dengan raut wajah yang tidak bisa kutahu maksudnya. Tanpa kuminta, ia memberikan pisau runcingnya padaku. Aku hanya diam, membisu sembari menatapnya lama tanpa menerima pisau itu. 

"Kau ragu?" tanyanya.

"Bagaimana rasanya setelah membunuh mereka semua? Apakah luka di hatimu berubah? Apakah itu menyembuhkanmu?"

"Pertanyaan yang bagus. Mulai sekarang kau bisa mencari tahunya sendiri." Malaikat menyodorkan pisau itu semakin ke depan.

Pisau itu berkilau. Ujungnya tajam dan mengkilap di bawah bias lampu jalan. Tapi mengapa ia mendadak memberikannya padaku? Benda-benda tidak terlalu berarti. Pisau itu memiliki ruh. Terbesit dalam dadaku betapa menyakitkan setelah melenyapkan sesuatu tanpa seizinmu. Tiba-tiba Malaikat menarik pisau itu ditengah lamunan konyol. Aku terkejut.

"Apa sekarang kau punya pilihan sendiri?" tanyanya.

Aku membatu. Menundukkan kepala, menatap sepatuku yang lusuh, ah maksudku, aku bertelanjang kaki. Kakiku kotor dan dihinggapi lumut. Mana pula ruh pisau itu menancap tajam di bawah gorong-gorong jembatan tanpa lampu jalan.

***

Dirinya mirip puisi panjang. Matanya terpejam, bibirnya beku dan dadanya kembang kempis naik turun. Tapi di ranjang rumah sakit yang dingin itu, wajahnya syahdu dan bisu. Hanya saja...dadanya tidak lagi naik turun.

Aku duduk, orang-orang berdiri dan berpanik ria. Kedua telapak tanganku mengepal di atas paha. Bayangan tubuhku memantul di lantai kotor yang penuh lumpur. Kakiku menggelantung layaknya tali yang diikat di ujung tebing, berat.

Seseorang menepuk bahuku, aku mendongak dan melihat bibirnya bergerak. Dahinya berkerut dan pupilnya berlari dari kanan ke kiri, telapak tangannya terasa bergetar di bahuku. Tetapi aku mematung tak karuan. Apa yang orang ini coba katakan? Pikirku. 

Aku tak mendengar apapun selain suara mirip speaker konslet, nguing-nguing di telinga. Seperti deru mesin kereta api pada relnya yang karatan. Rupanya itu adalah monitor yang berada di dekat ranjang. Tetapi telingaku masih terasa panas, seperti digigit semut-semut dungu. Mereka mengerubungiku dengan bisu. Aku menggertakkan gigi dan memegang telingaku yang perih seperti kesetrum listrik. Sialan! Tahik kalian semua! Menyingkir dari hadapanku!

Api-api di sekitar membara seperti obor festival. Tak sudi lagi mengorek nyawaku diantara mimpi brutal pada malam-malam sebelumnya. Orang-orang asing tak tahu malu itu membuka mulut semakin lebar. Telingaku pecah. Bicara dengan jelas!

Kuangkat kedua tanganku yang bergetar. Aku membungkam telinga dengan susah payah seolah berdarah-darah. Hentikan!

Mereka menundukkan badan dan menggerak-gerakkan tubuhku yang kurus seperti mayat hidup.

"Kenapa cuma dia yang mati?! Kenapa?!"

Aku terkesiap mendengar salah satu dari mereka yang berteriak melewati kerongkongan dan paru-paruku yang kelewat habis masa waktunya. Pupil mataku mengecil, jari-jariku hampir putus. Tanganku yang berada di telinga kupaksa turun perlahan. Aku memang mayat hidup, rupanya.

Suara berdenging datang lagi, seolah memaksa memenuhi saraf-saraf neuron otak. Kulirik dia sesaat yang masih terbaring di ranjang. Namun selimut putih asing itu tanpa izin menutupi seluruh tubuhnya. Monitor telah berhenti, tapi suara memekik ini masih berada di kupingku yang rusak dan bernanah.

Orang-orang itu masih mengerubung seperti ulat, sesaat sebelum mereka mundur menjauh dengan wajah ketakutan setengah mati. Leherku yang dingin melambai-lambai, aku meraihnya dengan kedua tanganku yang sama dinginnya. Bibirku bungkam.  Kutekan leherku dengan telapak tangan. Jari kuku panjang kurasakan menusuk tiap-tiap otot. Aku mengeratkannya dan memaksa sensasi ini menenangkanku. Kutekan lagi hingga vena kebiruan mencuat keluar di kulit leherku.

Orang-orang bangsat itu panik. Aku tahu mereka senang aku mati.

***

Lampu jalan di jembatan penyeberangan itu tiba-tiba berkedip. Malaikat dipenuhi asap. Badannya yang tinggi hampir menabrak tiang lampu. Jubah hitamnya kini melebar seperti sayap kematian yang keluar paksa dari punggungnya. Apakah itu menyakitkan? Apakah itu mendebarkan?

"Manusia akan semakin dicintai setelah mereka mati," jawabku entah pada siapa, pada udara. "Sungguh lucu, bahwa hidup ini tergantung pada seberapa hebat kamu membual. Semakin hebat bualanmu, orang semakin terpikat. Terpikat, terpikat, terikat."

"Mau kuberitahu sebuah rahasia?" Malaikat menyunggingkan senyum aneh.

Aku menatapnya dengan mataku yang lebam sebelah.

"Hanya jika kau sanggup membayarnya seharga nyawamu," lanjutnya.

"Aku ingin membunuh mereka semua." sosoknya yang mengagumkan memaksaku bicara tanpa sadar.

"Karena itu aku membantumu," Malaikat mengeluarkan pisau itu lagi, tapi kini aku mendorongnya masuk ke dalam sakunya. Dia mengerutkan dahi.

"Tidak akan ada yang menyalahkan pilihanmu. Manusia memang seperti itu. Kau tidak perlu malu," ia menenangkanku dengan cara yang kolot.

"Beritahu aku rahasia itu."

"Manusia membenci seni. Karena seni yang memuaskan berasal dari pengalaman pahit yang memuakkan."

"Apa hubungannya denganku?"

"Ketika kau meromantisasi kehidupan, kematian terasa menakutkan. Tetapi ketika kau meromantisasi kematian, kehidupan terasa melegakan. Jawaban tidak selalu berupa jawaban."

Aku masih sukar memahami kata-kata Malaikat yang menurutku sangat acak dan tidak berkaitan dengan percakapan kami saat ini. Ia memasukkan kembali pisau itu ke dalam sakunya yang selebar layar bioskop. Aku menendang kaleng botol hingga melayang melewati cakrawala. Kakiku ngilu.

"Manusia itu lemah!" suaraku meninggi.

"Kau benci menjadi lemah?"

"Manusia tidak bisa mengendalikan dirinya."

"Mereka tidak perlu mengendalikan apapun."

Wajahku mengkerut dan mulai tidak nyaman dengan tatapan halusnya seolah aku adalah pendosa yang tidak tahu jalan pulang. Bukankah dia malaikat? Mengapa bersikap naif seperti makhluk rendahan?

"Berikan aku pisau itu," aku mengulurkan tangan, lebih tepatnya memintanya paksa. "Ada satu orang yang ingin aku singkirkan lebih dulu dari semua orang."

"Katakan padaku. Aku akan melakukannya untukmu."

"Diriku sendiri."

Sebuah cermin seluas samudra tersingkap seperti perut paus yang terbang di langit. Aku menatap pantulan diriku sendiri di sana. Lenyaplah! Mantra sakti itu adalah obat.

Malaikat berkata bahwa di dunia yang fana ini, manusia hanyalah subjek alam semesta. Dan rahasia yang ia bagikan, aku masih menyangkalnya seperti orang bodoh. Terlintas dalam benakku bahwa aku tidak mungkin kembali. Manusia menginginkan rumah. Aku menginginkan pisau itu. Malaikat membangunkan sebuah rumah di pohon biru di ujung lazuardi. Pohon biru yang indah dan tak lagi membuatku seperti remah.

Note: Pohon biru merujuk pada Blue Tree Project tentang proyek kesehatan mental untuk membantu orang-orang yang yang tengah melewati masa sulit dalam hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun