Orang-orang itu masih mengerubung seperti ulat, sesaat sebelum mereka mundur menjauh dengan wajah ketakutan setengah mati. Leherku yang dingin melambai-lambai, aku meraihnya dengan kedua tanganku yang sama dinginnya. Bibirku bungkam. Â Kutekan leherku dengan telapak tangan. Jari kuku panjang kurasakan menusuk tiap-tiap otot. Aku mengeratkannya dan memaksa sensasi ini menenangkanku. Kutekan lagi hingga vena kebiruan mencuat keluar di kulit leherku.
Orang-orang bangsat itu panik. Aku tahu mereka senang aku mati.
***
Lampu jalan di jembatan penyeberangan itu tiba-tiba berkedip. Malaikat dipenuhi asap. Badannya yang tinggi hampir menabrak tiang lampu. Jubah hitamnya kini melebar seperti sayap kematian yang keluar paksa dari punggungnya. Apakah itu menyakitkan? Apakah itu mendebarkan?
"Manusia akan semakin dicintai setelah mereka mati," jawabku entah pada siapa, pada udara. "Sungguh lucu, bahwa hidup ini tergantung pada seberapa hebat kamu membual. Semakin hebat bualanmu, orang semakin terpikat. Terpikat, terpikat, terikat."
"Mau kuberitahu sebuah rahasia?" Malaikat menyunggingkan senyum aneh.
Aku menatapnya dengan mataku yang lebam sebelah.
"Hanya jika kau sanggup membayarnya seharga nyawamu," lanjutnya.
"Aku ingin membunuh mereka semua." sosoknya yang mengagumkan memaksaku bicara tanpa sadar.
"Karena itu aku membantumu," Malaikat mengeluarkan pisau itu lagi, tapi kini aku mendorongnya masuk ke dalam sakunya. Dia mengerutkan dahi.
"Tidak akan ada yang menyalahkan pilihanmu. Manusia memang seperti itu. Kau tidak perlu malu," ia menenangkanku dengan cara yang kolot.