Diperlukan sebuah solusi dari penerapan skema keusangan terencana yang terus menerus berkembang guna meminimalisir sampah elektronik. Tujuan dari skema ini pada dasarnya untuk meningkatkan minat pada lingkaran produksi akan tetapi berdampak tidak baik pada alam dan manusia yakni barang yang dihasilkan tidak berkualitas maka menimbulkan sampah dengan cepat.Â
Ada banyak penelitian tentang skema keusangan akan tetapi masih minim yang membahas terkait revolusi industri 4.0. Padahan jika mengacu pada pendapat Merkel (2014) hadirnya revolusi industri 4.0 seharusnya dapat meciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia termasuk menguntamakan sumbedaya berkelanjutan.Â
Topik bahasan terkait revolusi industri 4.0 yakni sampah elektronik dan keusangan terencana dihadirkan sebagai sebuah diskursus dalam kaitannya dengan desain berkelanjutan. hasil dari pembahasan ini dapat digunakan sebagai sebuah refleksi dan sumbangsih pemikiran kepada para konsumen, produsen atau desainer serta kepada para pemangku kepentingan dalah hal ini pemerintah. Secara khusus pembahasan ini untuk menanggunlangi dampak berlebih dari hal tersebut di atas terkait dengan ekosistem, ketahanan sumber daya alam serta dasar hukum sebagai regulasi untuk mencegah skema keusangan terencana untuk berkembang.
Semakin pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan adanya peningkatan produksi barang elektronik akan tetapi peningkatan tersebut menimubulkan sampah elektronik atau e waste. Hal yang sama dikatakan oleh Gaidajis (2010) bahwa e waste merupakan campuran dari zat berbahaya dan tidak berbahaya sehingga memerlukan pemisahan, pengumpulan, transportasi, pengelolaan serta pembuangan. Zat berbahaya dari sampah elektronik ada karena kandungan Bahan Beracun Berbahaya (B3) pada komponennya diantaranya timbal, merkuri, cadmium, PVC, kromium dan PBB.
Semakin banyaknya barang elektronik akibat persaingan produk dapat memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim. Hal ini karena penggunaan produk tersebut menggunakan energi listrik yang bersumber dari (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) PLTU sehingga semakin banyak penggunaan barang elektronik maka memerlukan semakin banyak energi. Salah satu bentuk bahwa individu peduli pada lingkungan adalah dalam kehidupan sehari-harinya mampu menghemat energi dalah hal ini menggunakan energi listrik seperlunya.Â
Kebutuhan energi yang berbasis batu bara yang melimpah untuk pembangkitan tenaga listrik sebesar 35,000 MW (Murdiyarso dkk, 2019). Maka semakin banyaknya penggunaan barang elektronik merupakan tantangan tersendiri dalam pencapaian target NDC. Seperti komputer jika dibiarkan selama 24 jam akan menghasilkan sekitar 675kg CO2 yang berarti bahwa 100-500 pohon akan diperlukan untuk mengimbangi emisi tahunan computer.
Menurut Wasista (2020) sampah elektronik adalah isitilah dari segala peralatan elektronik serta komponen di dalamnya yang dibuang tanpa diolah kembali. Artinya benda dari berbagai macam perangkat elektronik termasuk barang elektronik dari rumah tangga hingga perangkat lunak. Secara umum limbah elektronik diartikan sebagai peralatan eketronik yang sudah tidak digunakan sehingga dibuang.
 Pembuangan tersebut akan menimbulkan dampak yang negatif kepada manusia bahkan biota laut selain itu pencemaran udara, tanah dan air serta permasalahan lingkungan lainnya. Permasalahan yang muncul pada lingkungan tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu :
- Dilansir dari Worl Health Organization (WHO) penyeab pencemaran udara apabilan proses daur ulang dilakukan secara tradisional maka dapat mencemari udara karena perangkat elektronik terdapat bahan seperti timbal serta gas hidrokarbon sehingga apabila dihirup oleh mahluk hidup dapat menyebabkan gangguan pada syaraf otak, muncul penyakit kejang-kejang, kemandulan bahkan hingga kehilangan nyawa manusia. Â
- Pencemaran Air Tanah terjadi karena di dalam sampah elektronik terdapat loga berat yang beracun yakni merkuri, timbal, barium, cadmium, litium dan arsenik sehingga keseimbangan mahluk hidup terganggu. Logam berat tersebut masuk dan mencemari tanah maka diserap oleh batuan akuifer atau sumber air tanah sehingga ekosistem terganggu.
Limbah Elektronik atau Elektronic Waste adalah barang-barang elektronik menggunakan listrik yang telah memasuki masa akhir pakai dan siap digantikan dengan barang- barang baru yang lebih canggih dan berkualitas. Tingginya persaingan produk menyebabkan semakin banyaknya perangkat elektronik seperti semakin banyaknya merek baru serta diakibatkan adanya perbedaan kualitas sehingga senantiasa perangkat elektronik semakin di update. Masih banyak orang-orang yang belum menyadari bahaya dari limbah elektronik yang memang tidak secara langsung dapat dirasakan dampak bahayanya.
Menurut Suwargana (2020) impor limbah B3 serta sampah masih terjadi di Indonesia bahkan sejak 2018-2020 terdapat 3.272 kontainer diantaranya 1.662 kontainer tersebut berisi lmbah B3 yang semestinya tidak bisa masuk karena dilarang diimpor ke Indonesia. Akan tetapi adanya manipulasi dengan menyatakan bahwa sampah tersebut limbah Non B3 maka bisa masuk ke Indonesia. Beberapa limbah B3 dan sampah yang diimpor secara terselubung sebagai bahan baku industri diantaranya adalah :