Mohon tunggu...
Farobi Fatkhurridho
Farobi Fatkhurridho Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Sudah saya bilang, saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Samgong

6 Mei 2020   13:22 Diperbarui: 6 Mei 2020   13:35 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mas ini udah 30 dan belum menikah lho!"

"Memangnya kenapa??"

"Mbok ya kasihan Ibu pengin gendong cucu tuh"

"Kalo mau cuma gendong, bayi tetangga masih banyak"

"Ihlahh ngeyel banget dikasih saran"

"Dah mas berangkat sek!"

Aku sampai di balai kota, orang-orang ramai berdatangan mengumpul dan menumpuk membentuk lingkaran yang berlapis-lapis. Bapak-bapak gondrong di tengah dan beberapa orang yang mengenakan seragam adat sedang memanggil-manggil hujan, ada seserahan, boneka, dan beberapa pernak pernik yang mengeluarkan asap.

Memang terhitung dalam 6 bulan terakhir ini belum juga diguyur hujan lebat, mendung hanya bercanda melewati dusun dan petak-petak tanaman padi milik warga. Bagaimana mereka tidak jengkel jika mendung pun hanya datang untuk bercanda.

Sambil menghisap rokok aku berlalu menerobos arak-arakan ritual yang dilaksanakan tepat di depan pintu masuk kantor, teringat harus segera merapihkan beberapa arsip yang sudah 3 hari terbengkalai karena pemberhentian pegawai berkala. Di dalam kantor hanya ada Sumarni yang ternyata datang lebih awal untuk membantu merapihkan berkas, sistem harus tetap berjalan meskipun setiap hari warga mengeluh dan merusak pagar dan pot tanaman hias disini.

Aku sendiri sebenarnya sudah mulai jengkel dengan keadaan, tapi pegawai sepertiku ini hanya bisa taat pada sistem dan bekerja untuk keberlangsungan sistem. Belum lagi isu akan digusurnya lahan desa S untuk keperluan jalan tol, warga semakin mengamuk dan tidak ragu untuk menyerang tempat ini. Adikku satu-satunya masih meneriaki ku setiap pagi, memaksa untuk segera menikah. Aku pikir itu hanya akal-akalannya saja yang sudah kebelet menikah dan tidak enak hati melangkahi abangnya.

Sejujurnya aku tidak peduli, sudah berulang kali aku mempersilahkannya untuk menikah lebih dulu tapi aku terus diserang dengan ocehan mitos dan sentimen tetangga. Lagi pula yang aku tahu mitos ini hanya berlaku untuk kakak perempuan, pun lagi pula ia belum ada 20 tahun, anak sekarang libidonya tinggi-tinggi. Alasannya yang mengatakan bahwa Ibu sudah tidak sabar menggendong cucu sudah mulai basi. Bagaimana mau sempat menggendong cucu, mengatur nafasnya saja Ibu sudah mulai bermasalah. Kenapa semakin kesini semakin banyak orang tidak mau mencoba untuk berpikir realistis.  

---

"Man, ayo keluar, gerah, jajan yok"

"Walah lagi gak ada duit, Mbel"

"Wes sante aja, aku abis tembus semalem"

Lalu malam berlalu seperti biasa Dimbel selalu terburu-buru dengan ajakan jajannya. Prostitusi di daerah ini memang sangat terkenal sampai ke luar kota, udaranya yang dingin menambah gairah pelancong wisata lendir ini. Semalam Dimbel mimpi sedang menggendong jemuran dan dipamerkan ke tetangganya, ia sendiri masa bodo dengan makna mimpi yang ia alami. Satu yang Dimbel tahu adalah ia harus segera membuka kamus konversi tafsir mimpi ke dalam deret bilangan unik.

Semua orang mengetahui betapa payahnya kemampuan kalkulasi Dimbel, meskipun terkadang ia dapat hoki seperti malam ini dan dengan ringan tangan foya-foya tanpa ada beban. Tapi sebenarnya kebanyakan orang dan teman terdekat lebih sering melihatnya bangkrut sejadi-jadinya dan pusing terlilit utang-piutang. Terkadang melihatnya gembira semalam seperti ini saja sudah cukup menghibur ketimbang mendengar keluhannya setiap hari sambil mewek pinjam duit. Aku yang sebenarnya mulai kesepian dan tak ada uang malam ini mau-mau saja dibawa Dimbel, mumpung jajan gratis dalam hatiku berkata.

Terkadang aku berpikir kata-kata adikku ada benarnya juga, terkadang aku merasakan kesepia     n. Mau bagaimana lagi, patah hatiku yang terakhir benar-benar membuatku muak menjalin hubungan pra-pernikahan. Lagipula kesepian ini masih bisa diobati dengan hal-hal seperti ini, Dimbel yang sudah menikah saja justru paling menggebu-gebu dalam perkara jajan.

Masih banyak hal yang harus ku urus, beberapa pekerjaan di kantor cukup memusingkan. Terlebih dengan demo warga yang menolak dengan sadar bahwa tanah dan lahan mereka akan segera digusur karena pembangunan jalan tol. Beberapa kali aku yang menjadi tumbal untuk bertatap muka langsung dengan mereka. Mau jadi apa kalau tiba-tiba aku melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini, bisa-bisa tenda pernikahan diinjak-injak, diludahi bahkan dibakar. Secara tidak langsung mereka telah menganggapku musuh, meskipun ada beberapa orang yang mengerti aku hanya berjaga menjalankan tugas dari atasan.

---

"Mas!! Warga desa sebelah petilasan banyak yang muntah-muntah, dho gumoh kuwabeh mas!!" Teriak seorang pemuda sambil menggoyag-goyangkan bahuku.

Aku belum juga tersadar dengan lamunan betapa cantiknya Roro yang lewat dengan membawa tumpukan rantang penuh berisi bekal makan siang suaminya yang jabatannya lebih tinggi sedikit dibandingkan denganku. Dalam hatiku kapan kiranya aku mendapat kiriman bekal makan siang dari istri yang mengkhawatirkan suaminya jajan sembarangan di sela-sela kesibukan pekerjaan menjadi tumbal atasan.

Tidak perlu menatapku seperti itu, ketika mata kami bertemu seperti ia melupakan suaminya dan siap untuk menyuapiku satu rantang penuh makan siang dengan lauk lodeh daun singkong dan sambel terasi. Aku siap menggigit satu demi satu suapanmu Ro, kamu terlalu cantik untuk menjadi istri Burhan penjilat itu. Nanti kita akan ketemu lagi Ro, palingkan mukamu terlebih dahulu agar aku bisa fokus dicaci-maki warga 3 desa yang berkumpul jadi kubangan emosi ini.

Sisa mabuk semalam bersama Dimbel ternyata masih menempel di sendi-sendi kepalaku, bikin pening, aku belum sepenuhnya bangun dan siap menghadapi protes pagi ini. Lalu aku tersadar badanku masih digoyang-goyang seorang pemuda yang meneriaki tepat di depan wajaku yang melamun.

"Hah... Apaa??"

"Desa sebelah petilasan mass!!"

"Hahh??"

"Sebelah makam yang baru ituu lhoo mass!!"

"Iya-iyaa sebentar saya akan membuat surat ke Puskesmas"

"Kelamaan mass, orang-orang sudah mau mati!!!"

"Yasudah, kalian semua bubar dulu, saya langsung menuju pusat kesehatan kota, dan minta bantuan!"

"Kami mau tetap disini mass!!"

"Wesss Bodoooaa Laahh!!"

Seketika itu aku meninggalkan kerumunan, meminta beberapa orang untuk berjaga di depan kantor menggantikanku. Aku meminta izin pada atasanku untuk pergi ke pusat kesehatan dan mengirim bantuan dengan segera. Namun jawabannya sangat membuat aku ingin muntah seketia.

"Buat surat dulu, harus di tanda tangani wali kota, saya harus koreksi suratnya terlebih dahulu!"

"Membuat surat dengan mesin tik butuh waktu lama, Pak, warga tidak bisa dikontrol saat ini!"

"Suruh saja penjaga untuk mengusir mereka"

Aku meninggalkan ruangannya dengan terburu-buru dan mengambil jaket, lalu dengan tidak sadar aku menggebrak meja Burhan.

"Mas, aku mau ke pusat kesehatan sekarang, tolong buatkan surat susulan!"

"Berani sekali kamu!"

Lalu aku dengan cepat mensetater Honda Benlyku dan langsung tancap gas dengan harga diri seorang pahlawan dan membanggakan diri sendiri selama perjalanan. Dalam hatiku mengumpat atasanku dengan kata-kata yang menjijikan. Lalu bayang-bayang Roro perlahan mulai membaur dengan umpatan yang ku ucapkan dalam hati. Aku harus lebih berhati-hati dalam hal ini, jangan sampai umpatan itu bercampur dengan keadaan hatiku yang sedang bergairah. Bisa-bisa justru aku malah beralih mengumpat Roro dan suaminya yang songong itu.

Apa yang sudah kulakukan terhadap mas Burhan tadi sepertinya cukup kelewatan. Dalam perjalanan cukup menyadari bahwa aku telah melampaui batas hari ini, mau tak mau harus siap dengan sanksi dan teguran yang menungguku pulang nanti. Ah, masa bodo, dihitung-hitung sampai dengan usia samgong ku ini belum pernah aku melakukan hal yang begini baik terhadap warga.

Sampai disana aku melihat dua ambulan dan satu mobil kijang lepas landas dari pangkalan kantor dengan terburu-buru kurasa. Lalu aku masuk ke kantor pusat kesehatan dan melaporkan keluhan warga yang harus ditangani dengan segera. Hal yang cukup membuatku malu dan usahaku ternyata cukup mubah terjadi.

"Wealah telat mas, santai, sudah ada laporan masuk dari Desa."

"Oh begitu yaa.." Sialan dalam hatiku, sudah sok pahlawan dan melawan malah telat juga.

"Njenengan dari mana?"

"Kantor Balai Kota"

"Lha kok repot-repot kesini, kan tinggal tilpun, wes balik saja ke kantormu"

"Nggeh Pak"

Merasa bodoh sebagai seorang pegawai kantor Balai Kota, panik memang membuat daya ledakku berapi-api. Kok aku tidak bisa berpikir jernih sebelum bertindak, kacau, mampus lah aku kalau kembali ke kantor sekarang. Dalam hatiku terpikir kalau langsung pulang ke rumah saja, besok biarlah besok. Pasti cibiran bertubi-tubi sudah menantiku, aku akan membiarkan marah orang-orang di kantor terkumpul terlebih seharian sebelum meledak besok pagi.

Bapak dirumah masih menghisap rokok dan mendengarkan Sam Saimun sampai merem. Sebagai anak pertama jujur aku tidak begitu sering mendengarkan koleksi Sam Saimun milik Bapak. Namun dikala sumpek seperti ini ada baiknya duduk sebentar dan menghabiskan rokok bersama bapak dan mendengar suara tebal Sam Saimun.

Tanpa tujuan yang tertentu,

Bujang dara keluar pintu,

Dengan harapan jumpa satu,

Penawar asmara dirindu..

"Lha kok jam segini sudah pulang?"

"Ndak Pak, lagi pening"

"Wes maem urung?"

"Nanti saja Pak"

Bapak tidak pernah menanyakan dan menyinggung masalah bujang yang tidak kunjung menikah ini. Pada dasarnya Bapak memang orang yang cukup nyentrik sehingga tidak begitu peduli dengan urusan anak-anaknya. Masalah adikku ingin menikah lebih dulu pun Bapak sudah mengizinkan dari jauh hari tanpa perlu menoleh sedikitpun ke arahku, lebih tepatnya terserah saja. Orang-orang di kantor pasti sudah ramai membicarakanku dengan segala kebodohan yang kubawa kencang menggunakan motor. Motor yang kuperoleh beberapa tahun lalu dari gaji besar yang mendadak diberikan pemerintah.

Benar saja tidak sampai besok pagi berita tentang orang-orang yang muntah-muntah di desa dekat pemakaman baru itu sudah sampai ditelinga tetangga-tetanggaku. Katanya mereka keracunan, banyak orang berasumsi keracunan setelah minum air sungai yang mungkin terlalu dekat dengan kuburan baru dan belatung jasad penuh kuman merambat ke sumber air.

Seketika perkampungan menjadi sepi, dan pedagang-pedagang malam di alun-alun kota mendadak menutup kedai dan membawa pulang gerobaknya. Patroli Polisi membawa pengeras suara melarang orang-orang keluar rumah malam ini. Suara sirine ambulan bolak-balik saling siul dari satu distrik ke distrik yang lain. Sialan, dalam benak ku padahal malam ini aku ingin sekali cari angin segar, sekadar keliling kota atau mengepulkan asap rokok di alun-alun kota seperinya cukup membuang penat.

Sudah kacau ditambah beredar berita beginian mau jadi apa aku besok di kantor. Kepala bagian sedang galak-galaknya dan wali kota sedang gemar bermain-main. Dimbel pun tidak kelihatan batang hidungnya malam ini, mungin ia sedang berdoa sampai menangis takut mati membawa dosa. Atau malah sedang lemas mendengar omelan bini nya karena hobi judi dan jajan nya bikin hidup nyaman jadi runyam.

---

Sepertinya aku melewati masa-masa yang sulit saat ini. Tahun lalu Amerika pergi ke bulan tapi disini beredar berita tentang simpang siur pembantaian di Purwodadi. Di saat Amerika dan Uni Soviet sibuk perang cepat antariksa, kami disini masih saling bacok karena hasutan dan isapan jempol. Berita baik dan buruk datang dalam kabar harian yang tak berujung. Kali ini orang-orang tidak lagi datang sendirian, melainkan dengan beberapa mahasiswa dan orang-orang yang membawa pengeras dan perekam suara. Gerbang kantor balai kota ditutup rapat-rapat, beberapa anggota ABRI berhadang untuk aksi yang lebih brutal. Sepertinya akan terjadi kekacauan. Aku memantau dari teras kantor dan orang-orang mulai berkerumun, mengibarkan beberapa spanduk dan meneriakan kata-kata kasar.

Semenjak sepekan lalu orang-orang mulai menunjukan keberaniannya menentang sesuatu yang belum pasti. Ya, memang belum pasti, namun kabar simpang siur tentang bobroknya pemerintah dan kasak-kusuk korupsi pejabat setiap hari lewat wara-wiri dari telinga dan surat kabar yang sebentar-sebentar diberedel.

Mereka pasti akan terkejut kelimpungan apabila kabar burung tentang pembangunan jalan tol ini hanya akan dibangun di jalur Jakarta, Bogor dan seterusnya. Mereka yang sudah lebih dulu ketakutan akan kehilangan rumah, harta benda, dan ladang sawah yang menjadi mata pencaharian keburu panik dan menyerang. Sampai detik ini memang pemerintah tahu bagaimana caranya menakut-nakuti warga agar patuh. Tapi buktinya mereka jauh dari kata patuh perhari ini, yang mereka cari adalah pengumuman segamblang-gamblangnya tentang desas-desus ini.

Tahu begini merepotkan menjadi pegawai pemerintahan, lebih baik aku ikut bermain toto gelap bersama Dimbel dari dulu. Pusingnya tak tanggung dan tidak dimusuhi tetangga seperti ini karena setiap rumah pasti ikut pasang nomer. Disaat seperti ini aku berpikir lebih nyaman menjadi musuh negara ketimbang menjadi musuh warga sekitar rumah.

Seisi kantor sebenarnya sudah tahu berita ini, tapi mereka, terlebih wali kota membiarkan geger warga menjadi-jadi. Mudah saja untuk melakukan pemberitahuan resmi tentang tidak akan terjadi penggusuran apapun di desa-desa yang digosipkan. Aku masih tak habis pikir permainan seperti apalagi yang diinginkan wali kota dan jajaran pejabatnya.

Meski aku sadar memikirkan hal semacam itu jauh di luar kendaliku, tapi terkadang hanya merasa heran. Mungkin itu menjadi pilihan kontrol sosial yang terbaik menghadapi krisis kepercayaan pemerintahan, masyarakat sebentar-sebentar dibuat takut, khawatir, lalu dibuat gembira dengan sengaja seketika dan di perosokan lagi ke dalam ketakutan yang masif.

Sampai saat ini sudah kali ketiga keluargaku mencoba mempertemukan aku dengan gadis-gadis pilihan mereka berharap segera melangsungkan pernikahan. Di masa-masa seperti ini entah apa yang  kupikirkan, semenjak dikhianati Roro aku jadi enggan menjalin hubungan serius. Roro yang tiba-tiba dipersunting Burhan cukup membuatku jengkel saat itu, memang waktu itu jabatanku belum setinggi Burhan dan orang tua mereka memiliki kedekatan karena pergi haji bersama.

Tapi sampai sekarang yang kurasakan tatapan mata Roro masih mencoba menggodaku setiap kali kami berpapasan secara tidak sengaja. Lagi pula dia sedang mengandung anak kedua dari Burhan, apa yang bisa kuharapkan dari nya hanyalah fantasi dan candaan saja. Roro benar-benar mempermainkanku, meskipun sampai saat ini Roro pasti masih ragu dengan anak pertamanya.

Sejak kejadian 5 hari sebelum pernikahannya, kami berdua telanjang diiringi lagu Nature Boy yang disenandungkan Nat King Cole. Roro yang hamil tidak lama setelah menikah sedikit menimbulkan gaduh dikepalaku setelah apa yang kami lakukan untuk melepas perpisahan di penginapan kelas melati dekat bukit dengan pemandangan pematang sawah. Dan apabila benar dia adalah anak ku, itu adalah satu-satunya hal yang aku menangkan dari perang yang dimulai Burhan.  

---

Kondisi kacau dan olok-olokan saling menyalahkan kemarin seketika hening setelah satu minggu pasca kejadian, warga yang dirawat tenyata keracunan makanan kadaluwarsa. Banyak orang yang terinfeksi sekaligus karena semalam sebelum hari kejadian ternyata diadakan sebuah perjamuan di tempat kepala desa. Setelah diusut ternyata perjamuan tersebut sengaja ditutup-tutupi oleh perangkat desa yang lain karena membahas demo perihal pembangunan jalan tol yang isunya akan menggerus desa tersebut.

Saat ini beberapa perangkat desa tersebut diamankan dan dimintai keterangan tentang kejadian tersebut. Mereka bakal kena masalah pikirku, setidaknya intimidasi atau bogem di pelipis akan mereka bawa pulang. Dan ternyata memang benar orang-orang di kantor Balai Kota membiarkan isu pembangunan jalan tol sedemikian rupa sehingga menghasilkan respon yang represif, akibatnya warga desa mendesak perangkat desa untuk melakukan tindakan cepat. Dan setelah konflik ini muncul ke permukaan sudah menjadi sangat abu-abu antara tindakan benar dan salah. Yang masih menjadi misteri adalah perihal makanan kadaluwarsa yang disuguhkan dalam perjamuan lalu teriakan pemuda yang menggoncang-goncang tubuhku seminggu yang lalu kembali muncul dan berputar mengelilingi kedua telingaku.

Sebenarnya siapa yang salah dalam hal ini, beberapa orang yang diperiksa oleh pihak berwajib dipulangkan setelah tiga hari tiga malam disiksa habis-habisan. Karena kejadian itu hampir seminggu lebih tidak ada warga yang datang ke kantor Balai Kota untuk protes, mereka ketakutan dan berujung pada tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi.

"Tumben sudah beberapa hari ini tidak ada yang datang protes" celetuk Burhan

"Yaiyalah mas, warga pada takut dihajar kayak kasus kemarin itu"

"Kasian amat ya, masalah snack sampe dihajar"

"Lho, bukannya sampeyan juga bodo amat"

"Iya juga si, tapi kalau ada perangkat desa terlibat, bukannya hidangan juga masuk anggaran desa"

"Lalu?"

"Ah, ndak, cuma perasaanku aja, Kades desa itu lagi sering ketemu pakbos tuh"

Sebenarnya aku agak malas harus berbicang dengan Burhan di Kantor, tapi perkataannya cukup mengganggu dan menarik untuk di usut. Ada urusan apa kades desa tersebut datang kemari, ataukah menanyakan desas desus tentang jalan tol atau meminta pembelaan atas apa yang menimpa warga desanya. Seketika naluri James Bondku memuncak dan ingin segera mengunjungi rumah warga dan beberapa perangkat desa yang mendapatkan siksaan dari aparat.

Aku tidak akan mencoba menanyakan hal tersebut pada orang-orang kantor, karena mereka sama liciknya terlebih Burhan. Namun tidak seperti biasanya ia memberi informasi seperti itu dengan santai tanpa diminta. Terkadang aku merasas kalau burhan tahu sesuatu tentang aku dan Roro dan dia ingin mencekik leherku dari belakang, tapi bertahun berlalu dan tidak terjadi sesuatu hal. Burhan adalah pegawai yang sering dipuji oleh kepala kantor, aku harus tetap berjaga dalam kondisi seperti ini.

Orang kantor sudah mulai melupakan dan mengurangi celotehnya tentang kebodohanku seminggu yang lalu. Kecanggungan perlahan kembali normal seperti semula lagi, namun Pakbos masih kadang sinis memandangku dan celoteh ketusnya tidak berkurang sedikitpun. Pada waktu jam makan siang aku sudah mulai bisa berbaur dengan pegawai yang lain setelah hampir tiga hari berturut-turut jadi bahan ocehan orang-orang sampai kupingku kuning merah.

Jam makan siang seperti biasa kantin Bu Jum menerimaku dengan apa adanya, mungkin dia orang yang tahu desas-desus kantor tapi bisa tetap ramah kepada semua orang yang berkunjung ke kantinnya. Burhan makan di mejanya sendiri seperti biasa Roro selalu menyiapkan makan siang untuknya. Aku tahu disisi lain Roro agak pelit, ia memang haus akan pujian, ia pasti tidak memperbolehkan suaminya makan selain makanan masakannya apalagi sampai mengidamkan makanan masakan orang lain Roro bisa marah besar.

Siang itu aku makan siang agak telat dan sendirian di kantin Bu Jum, sambil melahap nasi sayur lodeh dan gorengan yang tersisa aku cukup banyak melamun dan memikirkan kata-kata Burhan barusan. Tak lama berselang Roro melintas dihadapanku melirik dan seketika semua hal menjadi pelan. Tak kusangka ia berani menyapaku di kantor ini.

"Kok sendirian, Man?"

Aku keheranan, karena sudah hampir setahun terakhir ini kami tidak bernah saling sapa lagi.

"Man ... Herman!!"

"Ah, iya Ro, iya ini anu a e"

"A u a u, kaya orang kaget aja"

"ho oh, makan siang telat, Ro"

"Eh katanya orang di desa S banyak yang keracunan ya?"

"Lho kok tau?, mas Burhan dah cerita ya?"

"ho oh, tapi ..."

"Tapi apa, Ro?"

"Aku yang bikin makanannya, Man!"

Mendengar pernyataan itu seketika proses mengunyahku setengah berhenti, aku tertegun tapi wajah Roro tiba-tiba menjadi pucat dan rautnya sedih. Apa yang sebenarnya terjadi, dan terlebih lagi aku harus merespon apa terhadap pernyataan Roro ini. Tidak bisa tidak, aku tidak bisa melihat kantung matanya hampir meluap, aku menariknya untuk duduk dan memberinya segelas air mium. Ia tidak bersuara lagi, dan aku melanjutkan kunyahanku yang setengah berhenti tadi. Bu Jum mungkin mendengarnya mungkin juga tidak, dia dari tadi menggoyang goyangkan kipas diatas lauk pauknya yang penuh dengan kerumunan lalat.

Roro dengan pelan meneguk segenggam air minum dengan sedikit tersedak lalu ia ingin mulai membuka mulutnya, aku menghentikannya sejenak memastikannya tenang dan tidak keburu panik. Roro duduk bersebelahan denganku saja pasti bisa jadi geger apalagi kalau sampai Burhan tahu mampus lah aku.

"Aku yang bikin gara-gara, Man!!"

"Pelan-pelan, coba ceritakan kenapa bisa kamu yang bikinin makanan itu?"

"Aku musti gimana? Apa aku ngomong saja ke kantor pulisi?"

"Wes, tenang dulu, coba ceritain dulu.."

Lalu Roro kembali menangis sesenggukan, aku merasa ada sebuah batu berat menindih menimpa punggunnya seketika sesaat ia ingin berbicara. Pada akhirnya ia mau buka mulut perlahan sembari ku usap punggunnya pelan.

"Modyar" dalam hatiku menggumam, pasti Bu Jum bakal mikir yang aneh-aneh melihat bini orang sesenggukan dan diusap pria lain di bangku kantinnya.

Pelan-pelan aku mulai mengerti kegelisahan Roro, benar saja, untung aku tidak gegabah dengan ucapan Burhan tadi pagi. Roro menjadi penyelamatku siang ini, meskipun nanti malam aku tidak tahu bagaimana nasib perempuan ini. Sialan, sudah kuduga Burhan pasti sudah menyiapkan sesuatu untuk menjebakku. Minggu lalu aku memang terlalu bersemangat, panik dan tak tahan mendengar jeritan orang-orang. Tapi tidak hari ini, aku sudah tahu akal busuk Burhan dari mulut bininya sendiri. Aku harus segera bertemu dengan orang-orang yang kemarin jadi korban penganiayaan dan interogasi.

Aku suruh Roro segera pulang dan menghapus air mata, jangan sampai lebih banyak orang tahu perihal ini. Secara tidak langsung aku memintanya untuk mengkhianati suaminya sendiri dan ia bersedia. Tiba saatnya aku harus menghadapi Bu Jum, sembari membayar makan siangku aku dengan pelan bisik-bisik sesuatu ke telinga sebelah kanan Bu Jum. Dengan santai Bu Jum tidak merespon apapun, melempar uang kembalian dan kembali menggoyang-goyangkan kipas di atas lauk pauk yang hampir habis.

---

Aku mencoba berkunjung ke desa S diam-diam tanpa surat perintah dan tanpa satupun orang kantor yang tahu, mungkin Burhan tahu, entahlah hanya perasaanku saja. Situasi perkampungan memang sepi seperti biasa, warga sekitar sibuk mencari rumput untuk pakan ternak atau menyaring air nira kelapa. Orang-orang yang tersangkut dalam interogasi agak sulit ditemui, mungkin mereka memilih untuk berdiam diri dan tidak ingin ditanya-tanya orang. Tapi aku bertemu dengan Mas Kardi yang sepertinya hampir menghindar ketika kusapa tapi tidak punya peluang bersembunyi sehingga mau meladeniku.

            "Mas Kardi, Mas!!"

            "Eh, Herman..." gerak-geriknya tidak terlalu mempedulikanku, ia sibuk dengan perasan air niranya.

            "Bikin badheg mas??"

            "Weruhe priwe?? Arep?"

            "Mas, Aku mau nanya masalah kumpul-kum.." belum selesai aku menjelaskan perihal kedatanganku sudah dicegat dengan segelas badheg di depan muka.

            "Wes, diombe sit, sinih duduk"

            "Mas, kumpul-kumpul itu cuma akal-akalan orang dinas aja, Mas..."

            "Lha, bukannya kamu juga orang dinas?"

            "Ini beda, Mas!"

`           "Wes lah, Man, Aku wes males..."

            "Tapi ini informasi yang bener, Mas"

            "Kalo sudah habis badhegnya, segera pulang saja, sudah mendung"

            "Mas!!"

            Seketika itu juga petir menyambar degan arogan dan hujan tidak sekali dua mengintip tanpa gusar mengguyur seisi kecamatan. Tidak sia-sia ternyata ritual menari dan berasap yang diadakan rutin di balai kota meskipun cukup merepotkan karena menghalangi akses masuk dan membawa masa lebih banyak untuk berdemo. Mas Kardi pun terlihat sumringah melihat hujan yang seketika menghantam tanah menjadi becek.

            "Man, tak kandani kowe, kamu itu sudah 30 punjul durung mbojo, Samgong!, wes urusen urusanmu sendiri!. Mbok desa ini arep diobong, arep diracun, mau digusur, dibikin jalan besar, Bodoa!"

            "Maksudmu apa, Mas...??"

            "Mbok aku wis ngomong ora urusan sama sekali!"

            "Tapi, Mas..??"

            "Mending aku sing mundur, Man"

            "Mundur kemana??"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun