Mohon tunggu...
faris yudza ghifari
faris yudza ghifari Mohon Tunggu... Penulis

Penulis di berbagai niche, tetapi paling suka menulis tentang sains, kesehatan, dan olahraga. Di samping menulis, saya juga rutin bermain sepak bola. Pemilik situs https://farisyudza.com. Blog tentang blogging, digital marketing, SEO, dan dunia kerja.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Balasan Kebaikan yang Tidak Terduga, Aneh bin Ajaib, tapi Nyata!

1 Agustus 2022   21:59 Diperbarui: 1 Agustus 2022   22:02 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

R (nama samaran) adalah pemuda yang saat ini berumur 24 tahun 6 bulan. Ia sedang mengenang hal yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Tiga kursi kayu satu meja. Dua kursi sejajar. Satu kursi menghadap dua kursi dibatasi meja kayu.

"Berikutnya." Pengumuman dari wali kelas.

R duduk di sebelah kiri. Papa duduk di sebelah kanan. Di papan tulis tertera nama siswa yang mendapat ranking 1 sampai ranking 10. Ruang kelas berada di lantai 2. Tidak ada nama saya di sana.

R melirik ke arah papa. Papa tidak berkata apa-apa.

"R berada di urutan 34 dari 37 siswa. Jika saat ini adalah penerimaan rapor kenaikan kelas, maka R tidak naik kelas."

Itu puncak dari penjelasan dari beragam penjelasan guru saat penerimaan rapor sementara saat R duduk di kelas IX semester pertama.

Kepala menekuk, tertunduk lesu. R tidak berani lagi melirik ke kanan atau kiri. Tidak berani menatap wajah guru apalagi wajah papa. Hanya lantai kelas saja yang ia bisa tatap.

Sama seperti waktu penerimaan rapor saat SD atau pun SMP, kalau papa yang mewakili orang tua, papa selalu ingin buru-buru. Tidak ingin menerima penjelasan ini itu dari bu guru. Papa adalah orang yang to the point, terima rapor, lalu pulang.

Pertama kali R merasakan ranking 3. Bukan ranking 3 dari depan. Tapi ranking 3 dari belakang. 

Waktu SD, R mengikuti klub renang, bahkan ikut lomba di berbagai tempat. Saat SMP, R berpindah haluan. Ia bergabung dengan klub sepak bola dan berlanjut sampai SMA.

Latihan tiga kali seminggu. Turnamen di sana-sini diikutinya. Bahkan untuk turnamen di Singapura, orang tua R mengizinkannya. Kegiatan atau hobi yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Saat SD, R pernah juara 1, 2 atau 3. Berbanding terbalik saat R masuk SMP. Prestasi belajarnya menurun secara konstan. Tidak pernah lagi juara kelas.

R bisa membayangkan betapa kecewanya papa yang telah memberikan kebebasan anaknya untuk menyalurkan hobi. Papa tentunya berharap hobi dan kegiatan sekolah berjalan beriringan. Tidak ada yang dikorbankan. Berprestasi di olahraga, berprestasi juga di sekolah. Jangan sampai jomplang.

"Untuk mengambil rapor ini, papa sampai harus mengajukan cuti. Papa mendampingi kamu agar kamu bisa bikin bangga Papa, bukan untuk mempermalukan papa. Papa percaya pada kemampuan kamu. Terbukti waktu SD kamu bisa juara dan di SMP bisa mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade matematika. Papa tidak perlu lagi mengawasi dan mendampingimu saat belajar."

Kali ini R tidak berkata apa-apa.

Mendengar penjelasan guru, R merasa jatuh. Mendengar kata-kata papa, R merasa seperti tertiban tangga. Komplit, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

"Merpermalukan papa. Papa percaya pada kemampuan kamu."

Dua frasa menghujam nan menusuk sekaligus mengobati hati.

Secara umum R, memang malas belajar. Entah karena kecapekan, atau karena sering ikut kegiatan sepak bola yang menguras tenaga. Tetapi, untuk pelajaran matematika, sains, dan bahasa Inggris, ada gairah di sana, ada semangat di sana. Di luar pelajaran itu? Malas sekali rasanya. Bahkan melihat nama mata pelajarannya saja sudah menimbulkan rasa mual.

Ranking di sekolah akan selalu dilihat lewat penilaian seluruh mata pelajaran. Harapan R untuk mendapatkan ranking 1 di SMA hampir 0% alias nyaris mustahil. Kalaupun berhasil, patut dipertanyakan kredibilitasnya.

Pada level ini, R merasa dirinya adalah "sampah masyarakat" jika dianalogikan dengan kasta sosial masyarakat.

"R, kamu bisa main ke rumahku gak? Ajarin pelajaran ini dong. Gua belum ngerti nih." Kata teman baik R.

Untuk pelajaran matematika, sains, atau bahasa Inggris teman-teman R sering minta tolong untuk diajari oleh R. Baik itu teman SMP, SMA, hingga bimbel. Tepatnya mungkin bukan diajari, tetapi merekan meminta penjelasan tambahan agar bisa memahami pelajaran dengan lebih mudah.

"Saya gak percaya kamu dapat peringkat segitu."

Komentar ini dan dan komentar sejenis teman-teman yang pernah dibimbing R saat belajar matematika, sains dan bahasa Inggris sungguh menjadi pelipur lara, membangkitkan semangat dan rasa optimisme.

Les di salah satu bimbel ternama, menjadi keharusan dari papa. Karena papa saat itu melihat bahwa itu adalah satu-satunya obat ampuh untuk mengobati ranking 'terbaik' yang pernah R alami.

Waktu berlalu, saatnya lulus SMA, saatnya kuliah. Kuliah lewat jalur cepat, jalur rapor, sudah lah, gak mungkin diharapkan. Pengisian formulir lewat jalur ini hanya sebatas menunaikan kewajiban dari sekolah.

Di luar SMBPTN, R ikut ujian PKN STAN. Sekolah kedinasan. Bebas biaya kuliah. Bahkan untuk buku untuk menunjang kegiatan kuliah disediakan secara gratis. Komplit banget. Kurang apalagi coba. Hanya perlu mikirin biaya kos-kosan dan biaya makan sehari-hari. Lulusan PKN STAN dijamin jadi ASN, tanpa perlu lagi mengikuti ujian penerimaan ASN.

Jadi, bisa dimaklumi peminatnya bejibun. Waktu R ikut ujian PKN STAN, pesertanya ribuan, kalau gak salah hampir 10.000. Saingan ribuan orang bisa bikin ciut nyali.

R kebagian tempat ujian di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Tempat kebanggaan R untuk urusan sepak bola. Sayangnya, hari itu, di tempat tersebut, R datang bukan untuk olahraga favoritnya, tapi pertarungan untuk menentukan masa depannya.

Tribun yang biasanya dipenuhi penonton, saat itu dipenuhi saingan yang berasal dari seluruh Indonesia. Tribun yang biasanya dipenuhi sorak sorai penonton saat mendukung kesebelasan favoritnya, kali ini dipenuhi rasa cemas, deg-degan dan sejenisnya.

Untuk SMBPTN, R memilih FMIPA ITB, matematika ITS, dan matematika UGM. Bukankah itu pilhan top semua? Pilihan yang rada tidak nyambung memang jika dilihat dari rapor R yang inferior selama masa SMA. Mungkin ini adalah pilihan tidak tahu diri atau tidak sadar akan kemampuan diri sendiri. Utopis sekali angan-angannya.

Papa Kembali ke tabiat lamanya. Tidak berkata apa-apa. Tidak punya komentar atas pilihan R. Papa cuma bilang, "Papa percaya pada kemampuan kamu."

Penggalan kalimat yang sama ucapkan dengan kalimat waktu terima rapor 'terbaik R' dulu.

Tapi, R merasa papa tidak percaya akan pilihan yang R ambil.

"Oh ya, kenapa pilihan kamu itu?"

Itu saja komentar papa. Tidak ada arahan untuk mengambil pilihan lain.

Pengumuman hasil tes PKN STAN lebih dulu keluar daripada pengumuman hasil tes SMBPTN.

Hasilnya? Jreng..jreng..jreng nama R ada di antara nama-nama yang diterima di PKN STAN. Selanjutnya? Tinggal proses daftar ulang.

Berselang beberapa minggu kemudian, saatnya pengumuman SMBPTN.

Hasilnya? Alhamdulillah... nama R kembali muncul pada daftar peserta yang lulus SBMPTN. Alhamdulillah-nya lagi, R diterima pada pilihan pertama, yaitu FMIPA ITB.

"Papa gak percaya kamu pilih FMIPA ITB."

Papa baru mengungkapkan ketidakpercayaannya akan pilihan R sebelumnya.

R pun menjelaskan bahwa pilihan itu bukan pilihan dia sendiri, melainka pilihan dari mentonya di bimbel. Pilihan tersebut dibuat berdasarkan pada hasil sekian kali try out dimana R memiliki kemungkinan untuk bisa diterima.

Saat try out di bimbel, R selalu berada di ranking 2. Kontras dengan ranking di sekolahnya. Mentornya di bimbel pun meyakini bahwa pelajaran yang diujikan tidak sebanyak pelajaran di sekolah. What a coincidence, pelajaran yang diujikan adalah pelajaran yang R sukai dan dari dulu unggul di bidang itu, yaitu matematika, sains dan bahasa Inggris.

Ilmu itu kata orang, kalau dibagi, tidak akan pernah berkurang. Malah makin mengerti dan makin lengket di kepala.

Setelah memberi tahu kabar bahagia kepada teman baiknya, ternyata teman-teman R tidak ada yang heran saat mendengar kabar yang menurut R adalah hal yang tidak terduga.

"Kamu selalu mengajari kami dengan passionate, bahkan kamu rela didatangi atau mendatangi kami saat kami ingin diajari. From zero to hero".

Mata R berkaca-kaca setelah pengunguman dan kata-kata temannya di chat salah satu media sosial tersebut, terlebih lagi saat R sedang memikirkan orang tuanya dan ternyata orang-orang yang dulu ia ajari juga lolos tes SBMPTN.

"Jadi, mungkin Ini ya yang dimaksud balasan yang tidak terduga atas kebajikan?"

Hidup ini memang misteri, karena tidak ada seorang pun yang mengetahui masa depan. Salah satunya adalah balasan atas kebajikan.

R lupa kalimat 'tiada balasan kebaikan selain kebaikan pula', apakah itu kata-kata bijak atau tertulis di kitab suci. Apa pun itu, R makin percaya akan hal ini.

Tapi, pertanyaannya, kapan terjadinya balasan kebaikan itu?

Tidak ada yang bisa menjawab hal itu dengan pasti, tetapi percayalah, balasan itu pasti akan datang di waktu yang tepat, tidak terduga, dan akan membuatmu menangis bahagia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun