Latihan tiga kali seminggu. Turnamen di sana-sini diikutinya. Bahkan untuk turnamen di Singapura, orang tua R mengizinkannya. Kegiatan atau hobi yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Saat SD, R pernah juara 1, 2 atau 3. Berbanding terbalik saat R masuk SMP. Prestasi belajarnya menurun secara konstan. Tidak pernah lagi juara kelas.
R bisa membayangkan betapa kecewanya papa yang telah memberikan kebebasan anaknya untuk menyalurkan hobi. Papa tentunya berharap hobi dan kegiatan sekolah berjalan beriringan. Tidak ada yang dikorbankan. Berprestasi di olahraga, berprestasi juga di sekolah. Jangan sampai jomplang.
"Untuk mengambil rapor ini, papa sampai harus mengajukan cuti. Papa mendampingi kamu agar kamu bisa bikin bangga Papa, bukan untuk mempermalukan papa. Papa percaya pada kemampuan kamu. Terbukti waktu SD kamu bisa juara dan di SMP bisa mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade matematika. Papa tidak perlu lagi mengawasi dan mendampingimu saat belajar."
Kali ini R tidak berkata apa-apa.
Mendengar penjelasan guru, R merasa jatuh. Mendengar kata-kata papa, R merasa seperti tertiban tangga. Komplit, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
"Merpermalukan papa. Papa percaya pada kemampuan kamu."
Dua frasa menghujam nan menusuk sekaligus mengobati hati.
Secara umum R, memang malas belajar. Entah karena kecapekan, atau karena sering ikut kegiatan sepak bola yang menguras tenaga. Tetapi, untuk pelajaran matematika, sains, dan bahasa Inggris, ada gairah di sana, ada semangat di sana. Di luar pelajaran itu? Malas sekali rasanya. Bahkan melihat nama mata pelajarannya saja sudah menimbulkan rasa mual.
Ranking di sekolah akan selalu dilihat lewat penilaian seluruh mata pelajaran. Harapan R untuk mendapatkan ranking 1 di SMA hampir 0% alias nyaris mustahil. Kalaupun berhasil, patut dipertanyakan kredibilitasnya.
Pada level ini, R merasa dirinya adalah "sampah masyarakat" jika dianalogikan dengan kasta sosial masyarakat.