"R, kamu bisa main ke rumahku gak? Ajarin pelajaran ini dong. Gua belum ngerti nih." Kata teman baik R.
Untuk pelajaran matematika, sains, atau bahasa Inggris teman-teman R sering minta tolong untuk diajari oleh R. Baik itu teman SMP, SMA, hingga bimbel. Tepatnya mungkin bukan diajari, tetapi merekan meminta penjelasan tambahan agar bisa memahami pelajaran dengan lebih mudah.
"Saya gak percaya kamu dapat peringkat segitu."
Komentar ini dan dan komentar sejenis teman-teman yang pernah dibimbing R saat belajar matematika, sains dan bahasa Inggris sungguh menjadi pelipur lara, membangkitkan semangat dan rasa optimisme.
Les di salah satu bimbel ternama, menjadi keharusan dari papa. Karena papa saat itu melihat bahwa itu adalah satu-satunya obat ampuh untuk mengobati ranking 'terbaik' yang pernah R alami.
Waktu berlalu, saatnya lulus SMA, saatnya kuliah. Kuliah lewat jalur cepat, jalur rapor, sudah lah, gak mungkin diharapkan. Pengisian formulir lewat jalur ini hanya sebatas menunaikan kewajiban dari sekolah.
Di luar SMBPTN, R ikut ujian PKN STAN. Sekolah kedinasan. Bebas biaya kuliah. Bahkan untuk buku untuk menunjang kegiatan kuliah disediakan secara gratis. Komplit banget. Kurang apalagi coba. Hanya perlu mikirin biaya kos-kosan dan biaya makan sehari-hari. Lulusan PKN STAN dijamin jadi ASN, tanpa perlu lagi mengikuti ujian penerimaan ASN.
Jadi, bisa dimaklumi peminatnya bejibun. Waktu R ikut ujian PKN STAN, pesertanya ribuan, kalau gak salah hampir 10.000. Saingan ribuan orang bisa bikin ciut nyali.
R kebagian tempat ujian di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Tempat kebanggaan R untuk urusan sepak bola. Sayangnya, hari itu, di tempat tersebut, R datang bukan untuk olahraga favoritnya, tapi pertarungan untuk menentukan masa depannya.
Tribun yang biasanya dipenuhi penonton, saat itu dipenuhi saingan yang berasal dari seluruh Indonesia. Tribun yang biasanya dipenuhi sorak sorai penonton saat mendukung kesebelasan favoritnya, kali ini dipenuhi rasa cemas, deg-degan dan sejenisnya.
Untuk SMBPTN, R memilih FMIPA ITB, matematika ITS, dan matematika UGM. Bukankah itu pilhan top semua? Pilihan yang rada tidak nyambung memang jika dilihat dari rapor R yang inferior selama masa SMA. Mungkin ini adalah pilihan tidak tahu diri atau tidak sadar akan kemampuan diri sendiri. Utopis sekali angan-angannya.