Perjalanan waktu ke masa depan mungkin menurut orang-orang itu adalah hal yang biasa-biasa aja. Tapi, kalau melihat masa depan sendiri tentu kita merasa bahagia. Masa depan tidak ditentukan oleh kita, namun kalau kita pikirkan masa depan mulai dari sekarang, mungkin masa depan itu akan muncul di masa depan nanti. Seperti itulah aku.
Aku adalah seorang pelajar berusia 16 tahun.
Kisah ini berawal saat aku menulis cerita tentang masa depan seperti apa yang aku inginkan? Tentu banyak yang aku tulis di buku catatan pribadiku. Seperti istri apa yang aku inginkan, mau anak berapa, atau saya bercita-cita jadi apa. Banyak yang aku tulis di buku catatanku. Namun, aku tak mau ada yang melihat buku catatanku. Nantinya, mereka menganggap aku ini gila. Aku juga tak mau dibilang gila.
Sampai suatu hari, buku catatanku tertinggal di taman saat sesudah pengambilan rapor. Berhubung juga orang tuaku belum muncul, jadi raporku belum diambil. Kebetulan juga wali kelasku melihat buku catatanku di taman sekolah, dan beliau memanggilku.
“Nak, apa yang kau tulis ini?” tanya wali kelasku.
“Itu, masa depan yang akan aku impikan.”
“Nak, saya ingatkan padamu. Masa depan, tidak ditentukan dari diri seseorang. Tapi, seberat apapun kau berusaha, semakin kau meraih masa depanmu. Kalau kau cuma malas-malasan dan cuma mikirin yang tidak-tidak, pasti nak, pasti masa depanmu tidak akan kau raih.”
“Oh gitu yah pak? Baiklah.”
Sebelum pergi, aku dipanggil lagi oleh wali kelasku.
“Tunggu nak, tunggu.” sembari menghentikanku. Wali kelasku mengambil sesuatu di ruang guru dan beliau mengambil raporku dan memberikannya padaku.
“Ini, rapor kamu. Kau harus lihat nilaimu dan renungkan di dalam hatimu. Aku tahu selama ini yang kau pikirkan cuma masa depan melulu. Tapi kau harus ingat. Jalanmu masih panjang, dan masih lama kau akan meraih masa depanmu. Jadi, kau harus ingat, bahwa masa depan hanya bisa dibayar oleh kerja kerasmu. Kau tahu, kerja kerasmu itu bagaikan uang yang akan dibelanjakan. Kalau kerja kerasmu terkumpul, maka terbayarlah sudah masa depanmu. Mengerti, Nak?”
“Iya, pak. Kok langsung diambil? Tidak perlu ada orang tua?”
“Tak perlu. Yang penting, kalau kau lihat nilaimu, kau boleh senang, atau kau boleh sedih. Lakukanlah sesuka hatimu.”
“Baiklah pak.”
Aku pun langsung mengambil raporku dari wali kelasku dan langsung berjalan menuju pintu gerbang sekolah.
Tiba-tiba saja, aku melihat orang tuaku yang sedang turun dari mobil. Akupun langsung menghampiri mereka.
“Ayah, ini udah aku ambil raporku.”
“Wah, kok bisa? Kenapa rapormu langsung diambil? Perasaan harus dari orang tua dulu.”
“Wali kelas langsung memberikannya padaku.”
“Oh, mungkin wali kelasmu mau cepat-cepat pulang? Oke, biar kulihat rapormu.”
Setelah orang tuaku melihat raporku, ekspresi orang tuaku mengherankan. Apakah yang terjadi?
“Lho, kenapa nilai kamu bagus-bagus semua? Kenapa bisa? Perasaan kamu tak suka belajar. Aku jadi takut nilaimu akan hancur, tapi dugaanku salah.”
“Yah, aku ingin cepat-cepat masuk kuliah, Pa.”
“Semoga aja sih. Aku ingin kau cepat-cepat masuk kuliah.”
“Oh ya Pa. Aku ingin ke rumah teman sebentar, boleh kasih saya uang?”
“Mau berapa?”
“Terserah, 350 ribu. Cukup kok.”
“Oke, ini uangmu. Kalau sudah ke rumah teman langsung pulang ya.”
“Iya pa.”
Aku melanjutkan kembali aktifitasku, dan singgah makan di cafe minimarket. Aku merenungkan diri, apakah masa depan itu sia-sia? Masa depan itu seperti sampah? Aku terus merenungkan diri sambil memakan mie instan cup yang ada di hadapanku.
Tiba-tiba, aku melihat di luar hujan dan sangat lebat sekali. Sial, aku tak bawa payung. Sambil membawa tasku yang sangat berat, mumpung kalau pergi sekolah banyak barang tak penting yang aku bawa. Sehingga aku terlihat seperti traveller.
Setelah memakan mie instan, aku langsung bayar semua makananku dan sempat berteduh di depan cafe minimarket itu. Aku takut kalau misal aku tak bisa pulang karena hujannya sangat sangat lebat. Nanti juga sampai malam aku berteduh karena tak bawa payung.
Namun akhirnya, aku memberanikan diri untuk basah-basahan. Aku jalan dalam keadaan basah kuyub. Tak berapa lama, aku melihat air yang tergenang di situ, dan air genangan itu sangat besar. Biasanya kalau aku hujan-hujanan, aku sempat jalan di air genangan di jalan-jalan, supaya kakiku tetap basah dan segar.
Aku pun menghampiri air genangan yang besar itu. Saat kakiku bersiap untuk dibasahkan, aku melihat ada sesuatu yang aneh. Air genangan itu bukan air genangan biasa, melainkan air itu layaknya sebuah kolam di dalamnya. Memang kalau dilihat dari jauh atau dekat, memang terlihat seperti air yang tergenang di lubang yang ada di jalan itu. Namun, saat aku memasukkan kakiku, aku merasakan air itu dalam sekali layaknya sebuah kolam. Aku tak tahu ini apa, tapi aku mencoba memberanikan diri untuk masuk di dalamnya.
Aku menceburkan diriku ke dalam “kolam” tergenang itu. Sesaat aku merasakan keganjalan. Namun saat aku sudah tak bisa bernafas lagi di dalam “kolam” itu, aku pun langsung naik ke atas untuk bernafas terlebih dulu.
------
Namun, ada yang aneh. Bahkan lebih dari aneh. Aku melihat sesuatu yang ganjal. Ini adalah sebuah kota yang sangat metropolitan. Bahkan kereta MRT pun juga terlihat. Bahkan pula, smartphone sudah lebih canggih lagi.
Saat aku membangunkan diriku dari kolam yang ada di jalan, aku pun bertanya pada orang yang kebetulan berjalan di sekitarku.
“Mohon maaf Bu. Aku mau nanya. Ini udah jam berapa? Dan ini udah tanggal berapa dan tahun berapa?”
“Apa?” wanita itu merasa keheranan.
“Maaf bu karena pertanyaan ini tidak masuk di akal. Tapi aku mau tanya saja bu. Ini udah tahun berapa? Dan ini tanggal berapa?”
“Tunggu sebentar yah. Ah, ada. Tanggal 23 Januari 2031.”
“Hah? Kok udah ditanggal itu sih? Apa ibu tak salah?”
“Hei, aku tak salah, memang ini tahun 2031. Kamu ini dari mana sih?”
“Ah, gak kok bu. Aku habis kecelakaan soalnya, jadi hilang ingatan. Maaf bu merepotkan.”
“Ah ya tak apa-apa.”
Aku langsung berjalan seperti orang yang kebingungan. Kenapa aku ada di tahun 2031? Apakah aku ada di masa depan? Ini tidak mungkin. Kenapa aku harus ada di masa ini?
Aku ingat jalan-jalan yang kulalui sekarang, karena jalan yang kulalui adalah jalanku menuju sekolah. Jalan itu juga adalah lorong yang sepi. Kenapa jadi jalan yang begitu rame?
Aku ingat juga rumahku. Awalnya rumahku itu sederhana saja, tapi yang aku lihat adalah rumah yang bagaikan istana. Berlantai 3, ada taman, garasi mobil luas, dan yang lainnya. Aku mengintip isi dari rumahku ini. Memang betul ini rumahku. Karena aku bisa lihat Ayah dan Ibu. Tapi kenapa Ayah dan Ibu terlihat tua? Dan kenapa semuanya pada rame? Tampak kakakku juga yang akan naik mobil bersama keluarga besarku. Aku tak ikut karena nanti keluarga besarku tak mengenalku. Jadinya aku naik ojek. Beruntung aja masih ada gojek di tahun 2031. Aku pun naik gojek dan mengikuti mobil yang akan pergi ke tempat sesuatu.
Akhirnya, aku sudah selesai mengikuti mobil itu. Tapi aneh, kenapa mereka pergi ke rumah sakit bersalin? Memang ada orang yang melahirkan? Menurut dugaanku, pasti temannya Ayahku atau temannya kakakku yang melahirkan. Aku pun mengikuti mereka, dan aku bertingkah seolah-olah menjadi detektif.
Sesaat aku melihat ruangan yang akan mereka masuki, dan aku juga akan bersiap-siap mengintip. Saat aku mengintip ruangan itu, ternyata memang benar ada yang melahirkan. Melahirkan seorang bayi yang saaangat lucu. Aku juga melihatnya gemes banget. Tapi aku lihat Ayah dari bayi itu... seperti mirip aku deh. Aku bukan mengintip lagi tapi aku menguping pembicaraan mereka di dalam.
“Wah, selamat yah kau sudah menjadi Ayah. Kau harus jaga anakmu baik-baik. Jadi Ayah yang baik untuk anakmu nanti.”
Dan ternyata aku begitu kaget mendengar ucapan mereka di dalam. Ternyata Ayah dari bayi itu memang adalah aku. Dan bayi yang tadinya aku puji gemes adalah anak aku sendiri. Aku mau masuk, namun aku malu-malu melihatnya.
Aku juga melihat diriku yang dewasa lebih tampan, tinggi, dan dada berbidang. Dan istriku juga aku lihat dia cantik dan baik hati. Ah, melihat kebahagiaan ini membuatku jadi lapar nih. Aku singgah di cafetaria yang ada di rumah sakit itu. Aku makan dan aku melihat diriku dan semua keluargaku keluar dari rumah sakit. Lho kok cepat banget yah keluar? Baru satu hari coba. Yah mungkin tanggal 20 istriku melahirkan dan ini sudah tanggal 23 dan harus keluar dari rumah sakit.
Berhubung banyak uang, uang dari Ayahku dan uang yang aku tabung, aku pulang naik bis menuju ke rumahku.
Akhirnya aku pulang ke rumahku dengan naik gojek lagi dan langsung sampai di rumahku yang sangat besar itu. Setelah semua keluarga besarku pulang, termasuk ayah dan ibuku, aku langsung masuk di rumah itu. Oh, ternyata rumah ini bukan rumah ayah dan ibuku, ini rumah selama aku menikah dan mempunyai anak. Jadi otomatis ini adalah rumahku.
Aku pun masuk dan beri salam, dan aku disambut oleh diriku yang sedang menggendong anakku.
“Siapa ya?” suara dari diriku juga agak kelaki-lakian gitu.
“Oh, maaf, saya adalah seorang traveller tapi aku tak punya tempat tinggal dan kalau aku nginap di hotel, aku gak bisa pulang.”
“Oh, traveller ya? Boleh, silakan masuk.”
Akhirnya aku diterima oleh diriku sendiri untuk masuk ke dalam rumah yang sangat besar itu. Wah, benarkah ini rumah? Kok rasanya kayak mall gitu? Ah, aku mau rebahkan diriku di sofa yang enak. Disitu aku melihat diriku yang dewasa sedang bicara dengan istriku.
“Mas, siapa dia? Kok seenaknya masuk di rumah kita?”
“Ah, dia seorang traveller. Aku kasihan dia tak punya tempat tinggal. Itupun kalau dia mau nginap di hotel, habis uangnya.”
“Ah, gak apa-apa deh. Aku tanya dia, apa yang mau dia makan?”
Si cewek cantik ini menghampiriku dan menanyakan apa yang akan aku makan?
“Hai, Anda mau makan apa?”
“Aku mau makan nasi goreng. Perutku harus diganjal lagi.”
“Hmm, boleh. Wah, ternyata kamu traveller ya? Tasmu pasti berat sekali.”
“Yah, begitulah kak. Aku suka jalan-jalan, tapi berhubung aku juga tersesat, jadi aku temukan rumah ini. Apakah tidak merepotkan bagi kakak?”
“Yah, tidak kok. Selama suamiku bisa menerima orang baik, asal jangan terima orang yang jahat.”
“Ah, kakak ini...”
Saya memanggil istriku dengan sebutan kakak, karena aku masih pelajar SMA yang menjelajah ke masa depan, yakni ketemu dengan diriku yang sudah berkeluarga.
“Sayang, ayo sini!” seru diriku yang memanggil istriku.
“Oh, iya Mas. Kamu di sini saja yah.”
Saat aku melihat diriku dan istrinya yang sangat harmonis, aku jadi keingat kalau SMA bukan masanya orang pacaran. Aku yakin mereka ketemu saat kuliah. Karena aku harapnya begitu, bisa pacaran di masa kuliah.
Aku pun juga di panggil untuk makan.
“Hei, adek, ayo makan di sini.”
“Ah, iya kak.”
Aku pun memberanikan diri memanggil diriku kakak.
Aku makan bersama diriku di meja makan bersama si bayi yang lucu yang berada di dalam gendongan sang kakak yang ganteng, tak lain kakak yang ganteng itu adalah diriku.
Setelah makan, aku pun melihat si kakak ganteng mengeluarkan buku dan juga laptop untuk pekerjaan. Dia menyalakan laptopnya dan langsung bekerja. Aku melihat buku yang dipegang si kakak ganteng itu, adalah buku kedokteran. Jangan-jangan, diriku adalah seorang dokter?
Aku pun langsung tanya kepada diriku.
“Kak, memangnya kakak ini seorang dokter?”
“Iya dek, memangnya kenapa? Tertarik juga mau jadi dokter?”
“Iya nih kak. Kok kakak ganteng yah meskipun punya anak?”
“Ah, kau ini. Saya mah ganteng, tapi umurku udah kepala 3. Udah 31 tahun.”
“Ah, gitu. Aku mau ganti baju nih, nanti bajuku bau lagi. Di mana ganti baju?”
“Oh, ke kamarku saja. Tapi jangan ribut, nanti anakku bangun.”
“Oh iya kak.”
Aku pun langsung mengambil baju yang ada di dalam tasku, dan ganti baju di kamarnya si kakak ganteng. Aku melihat si bayi lucu dan juga adalah anakku. Dia lucu seperti bayi yang lainnya. Pengen banget aku cubit dia. Tapi udah keburu dipanggil sama diriku sendiri alias si kakak ganteng.
Aku masih bergabung sama kakak ganteng yang sedang mengerjakan proyek di laptopnya. Saat sedang istirahat, si kakak ganteng sempat melihat isi tasku. Dia sempat teringat kalau tas traveller aku pernah dia milikinya saat SMA.
“Kalau melihat tas ini, perasaan aku pernah punya saat SMA. Saat SMA dulu, aku memang bodoh, karena aku membawa barang yang tak penting-penting. Kamu juga ya?”
“Iya kak.”
“Lho, hp ini, aku pernah memilikinya juga saat SMA. Dan jaketnya juga, aku memilikinya juga saat SMA. Wah, kok kita sama ya?”
“Yah sebenarnya aku...”
“Kamu ini stalker ya?”
“Tidak kok kak. Aku...”
“Aku mau tanya sama kamu. Kamu sebenarnya siapa? Kenapa kau mau tinggal di sini? Aku butuh kejujuranmu, dek.”
Aku masih gugup menjawab pertanyaan dari kakak ganteng yang notabene adalah diriku.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI