Pengungkapan sejarah yang dapat kita petik dari peristiwa di atas adalah bahwa perempuan seharusnya memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan; pilihan dengan siapa ia harus kawin; pilihan menolak kepatuhan terhadap suaminya jika bertentangan dengan keinginan suaminya; dan pilihan menolak dipoligami. Dalam hal ini, perempuan pun dapat merobohkan mitos-mitos tentang perempuan, baik dalam konstruksi maskulin dan membongkar seksualitas perkawinan jika lembaga tersebut dirasakan mengangkangi dirinya dan merendahkan dimensi kemanusiaannya.
1. DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA
Salah satu fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Namun, untuk menafsirkan ketenteraman tersebut, tafsir agama cenderung menempatkan perempuan pada ranah domestik dengan melekatkannya sebagai penjaga “gawang” kebahagiaan dalam rumah tangga yang mewujud dalam bentuk memelihara anak, kapan pun dan di mana pun. Pandangan keagamaan ini sangat kuat mempengaruhi kesadaran masyarakat di berbagai belahan dunia tentang keberadaan perempuan. Posisi perempuan hanya direduksi perannya sebagai ibu dan istri, tidak sebagai manusia utuh yang memiliki otonomi atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya serta peran yang ingin dimainkannya.
Fungsi berikutnya dari perkawinan menurut perspektif agama-agama adalah melahirkan keturunan. Keturunan ini tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga untuk kepentingan pewarisan ajaran. Agama Yahudi secara jelas menyatakan akan fungsi ini, karena dengan keturunan terdapat wahana untuk meneruskan perjanjian, dari generasi ke generasi, yang tidak hanya merupakan sejarah dari kelangsungan hidup Yahudi, tetapi juga bagi kelangsungan teologinya. Fungsi yang sama juga ditekankan dalam Gereja Katolik. Mengutip ayat yang sama, Katolik menekankan bahwa buah dari perkawinan adalah adanya keturunan. Dipertegas oleh Deklarasi Konsili Vatikan II pada Gaudium et Spes, no. 48, “Anak-anak adalah pemberian terbaik perkawinan”. Dalam ajaran Islam pun mempunyai pandangan yang serupa, Alquran menyatakan bahwa kesinambungan ajaran Islam sangat ditentukan oleh kelanjutan keturunannya, dan keturunan yang lahir dari keluarga muslim harus mematuhi ajaran agamanya.
Lalu fungsi berikutnya dari perkawinan adalah menghindari praktik hubungan seksual di luar nikah (zina). Perbuatan ini dikecam hampir semua agama dan dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Dalam hal ini Gereja Katolik memandang hubungan seks di luar nikah sebagai tindakan pencabulan dan dianggap sebagai perbuatan dosa yang abadi. Hubungan seksual di luar pernikahan pun dipandang telah menentang hukum alam, karena dalam perspektif Katolik dengan mengutip Santo Thomas, ikatan cinta pada para pasangan yang tidak kawin memungkinkan putusnya tali cinta tersebut, padahal anak-anak dalam suatu keluarga membutuhkan suatu lingkungan yang stabil. Dalam agama Islam secara tegas dan jelas melarang praktik itu. Perbuatan ini dipandang sebagai perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk. Larangan itu terdapat dalam Alquran, “Janganlah kamu menghampiri zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk” (QS. Al-Isra’: 32). Pesan lain terdapat dalam hadis nabi yang melarang berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi dan berpandangan mata dengan yang bukan muhrim.
2. POLOGAMI DI DUNIA ISLAM DAN INDONESIA
Beberapa pemikir muslim kontemporer menyatakan, salah satu pemicu terpuruknya dunia Islam di tengah-tengah percaturan global adalah lemahnya generasi umat Islam akibat perkawinan poligami. Setelah mengalami masa kejayaan selama kurang lebih dua ratus tahun, umat Islam terlena dengan berbagai kemewahan dan kesenangan ragawi yang diperlihatkan di istana mereka, termasuk perkawinan yang lebih dari satu (poligami).
Sebagaimana di negara-negara lain, praktik poligami di Indonesia pun banyak dilakukan oleh para laki-laki dari mulai strata kelas yang paling atas hingga paling bawah, di kota maupun desa, Sukarno, presiden pertama RI melakukan perkawinan lebih dari satu kali, Demikian pula dengan wakil presiden keempat RI, Hamzah Haz. Meskipun telah ada upaya pengetatan terhadap poligami, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Di samping itu, poligami diperbolehkan bagi pria karena perempuan dipandang memiliki “cacat dan kekurangan”, tetapi pemberlakuan yang sama tidak terjadi pada perempuan. Hal ini yang patut dipertanyakan, apakah cukup manusiawi jika seorang perempuan yang sedang sakit atau mendapat cacat badan, lantas ditinggal suaminya menikah lagi? Apakah cukup manusiawi pula seorang istri yang tidak berketurunan, yang mungkin bukan kehendaknya, lantas suami berpaling kepada perempuan lain? Lantas, apa pula yang dimaksud dengan laki-laki bisa berpoligami jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri?
3. JILBAB DAN SEPUTAR AURAT PEREMPUAN
Penggunaan pakaian ini sesungguhnya telah ada jauh sebelum Islam dan dikenal di antara bangsa Assyria, Aramea, Persia, Yunani, Turki, India Timur, Yahudi, awal Kristen, dan beberapa suku di Arab. Jenis pakaian ini sering dihubungkan dengan kelas sosial menengah dan atas. Bagi umat Islam, pada surah An-Nur ayat 30-31, seruan mengenakan jilbab ini adalah sebuah akibat dari kuatnya anggapan bahwa laki-laki cukup rentan terhadap godaan biologis atau hasrat seksual. Oleh karena itu, anjuran untuk membersihkan hati sangat ditekankan pada ayat ini, sebab dengan cara itulah perempuan tidak melulu dilihat sebagai obyek fantasi seksual. Di samping itu, ayat ini juga menekankan etika berpakaian dalam Islam yang tidak memperkenankan seseorang untuk pamer kekayaan yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Dalam hal ini, Alquran mengajarkan bahwa sebaik-baik pakaian adalah takwa (QS. Al-A’raf: 26).
III. PEREMPUAN, ISLAM, DAN NEGARA