Mohon tunggu...
Farid Ramadhan
Farid Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Life is Good, Life is Fun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

12 November 2022   16:26 Diperbarui: 17 Juli 2023   13:16 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebutuhan rakyat akan kepemimpinan yang menekankan aspek feminitas boleh jadi merupakan sebuah antitesis dari pola kepemimpinan yang patriarkat. Untuk menyebut beberapa contoh, ketika Filipina dikuasai rezim Marcos, rakyat senantiasa dihantui ketakutan bersuara dan keran demokrasi ditutup. Rakyat pun menggeliat dan memberontak. Dalam kondisi negara seperti itu, seorang ibu rumah tangga bersahaja, bernama Corazon Aquino dielu-elukan rakyat untuk tampil sebagai presiden, dan Cory tidak kuasa menolaknya. Contoh fenomena lain adalah Aung San Suu Kyi di Myanmar. Perempuan yang disebut Vaclav Havel sebagai tokoh kekuatan tanpa kekuasaan ini semula tidak menaruh perhatian terhadap dunia politik, tetapi rupanya ia tidak tega melihat saudara-saudaranya di Myanmar diinjak-injak hak dasarnya, dipasung hak-hak politiknya, dan dibayangi rasa takut dalam hidup kesehariannya.

3. POLITIK, ETIKA, DAN PEREMPUAN: SEBUAH PERTANYAAN

Kenapa perempuan yang duduk sebagai wakil rakyat di DPR hanya beberapa gelintir saja, padahal dari sekian ratus juta penduduk Indonesia lebih banyak mereka yang berjenis kelamin perempuan? Pertanyaan tersebut cukup menggelitik pemikiran saya. Hemat saya, politik sebagai sebuah profesi adalah sesuatu yang netral. Sebagai profesi ia bisa saja bersih dan juga bisa kotor, atau berada di antara keduanya. Hanya saja, ‘kotornya’ politik itu sangat transparan, dan lebih transparan dibanding dengan profesi lainnya. Politik menjadi ‘kotor’ ketika para pelaku politisi mencampuradukkan kepentingan bangsa dengan kepentingan pribadi atau golongannya, sehingga berlakulah penghalalan segala cara, termasuk politik uang, pemaksaan, keculasan, dan sejenisnya. Padahal kita bisa berkaca melalui sejarah bahwa kemerdekaan bangsa ini diperoleh dan diupayakan melalui politik.

Banyak orang terhenyak seolah-olah kita terjaga dari mimpi buruk. Kita dicukupkan kebutuhan raganya, tetapi tidak jiwanya. Pemeo yang sering terdengar ketika itu, adalah pejabat yang berusaha jujur pada nuraninya, akan tersingkir ke pinggir. Untuk menyelamatkan posisinya, berbaik-baiklah pada atasan. Jika perlu, berjalan pun harus membungkuk. Nilai manusia yang merupakan citra Tuhan di muka bumi terpuruk ke titik derajat hewani yang hanya dicukupi dengan kebutuhan yang bersifat fisik dan material, tetapi hak-hal dasarnya dirampas. Lantas di mana perempuan ketika itu? Perempuan diatur sedemikian rupa oleh alat negara yang bernama Dharma Wanita. Jika pun ada perempuan yang menonjol, akan segera disingkirkan jauh-jauh ke luar arena. Untuk menutupi bahwa negara ini bukan negara berbasis patriarki, maka diangkatlah menteri peranan wanita. Kini, di saat situasi negara sedang gamang, carut-marut persoalan bangsa tak dapat diletakkan, kekerasan merupakan pemandangan biasa, ibu-ibu stres karena sehari-hari berhadapan dengan melambungnya harga-harga, bapak-bapak sibuk mengatur posisi di partai, maka rakyat mencari model kepemimpinan yang cocok untuk bangsa ini.

4.  DAERAH DAN PEREMPUAN

Muncul gagasan bahwa Indonesia harus menganut sistem pemerintahan federalism, sementara yang lain berpandangan bahwa sistem federalisme dapat mengancam NKRI. Sebagai respons terhadap berbagai pandangan tersebut lahir kebijakan otonomi daerah. Di bidang politik, otonomi daerah bertujuan membuka ruang bagi lahirnya proses pemilihan kepala pemerintahan daerah secara demokratis. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan. Di bidang ekonomi, otonomi daerah mendorong lahirnya berbagai prakarsa pemerintahan daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi wilayahnya. Intinya, otonomi daerah memberikan peluang kepada masyarakat yang ada di daerah untuk mengurus dirinya tentang apa yang mereka mau dan apa yang mereka tuju. Dengan begini memacu kita untuk menggali potensi dan kreativitas pada diri kita, masyarakat dan lingkungan di sekitar kita untuk kita munculkan.

Dari berbagai “mudarat” yang dirasakan dan dialami sepanjang pemerintahan yang sentralistik ini, muncul suatu gagasan bahwa tidak bisa bentuk pemerintahan yang lalu dilanjutkan. Harus ada model baru di mana masyarakat Indonesia, perempuan dan laki-laki dapat mengatur dirinya sendiri, bisa menunjuk pemimpin, yang mereka percaya dan terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan daerahnya.

Dalam kaitannya dengan perempuan, selama ini potensi dan kreativitas perempuan, terutama di berbagai daerah belum sepenuhnya diberdayakan. Berbagai ruang musyawarah masyarakat hampir sepenuhnya diisi oleh laki-laki. Masjid, balai desa, balai rakyat daerah, dan pelbagai arena publik lainnya. Dalam semangat otonomi daerah, sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 22 Tahun 1999, potensi dan kreativitas perempuan harus kita gali bersama dan dapat menyongsong kemajuan agama, daerah, dan bangsa kita.

II. ISLAM DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN

Pada bab selanjutnya, kita akan disuguhkan bagaimana perempuan dalam pembahasan seksualitas dan perkawinan. Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting dalam hidup manusia dan telah dijalani selama berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagian orang menganggapnya sebagai peristiwa yang sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian, yang diusahakan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Salah satu fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci nama Tuhan.

Pandangan serupa terdapat pula dalam ajaran Islam. Alquran menyatakan bahwa kesinambungan ajaran Islam sangat ditentukan oleh kelanjutan keturunannya, dan keturunan yang lahir dari keluarga muslim harus memenuhi ajaran agamanya. Karenanya, Islam mengajarkan para laki-laki untuk kawin dengan perempuan yang bisa mempunyai anak. Kemandulan sering dianggap sebagai salah satu kemalangan terbesar bagi perempuan, karena banyak di antara mereka yang hanya memiliki “posisi tawanya” dengan suami karena ia mempunyai anak. Dan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 4 dan Pasal 5 membedakan para suami menikah dengan perempuan lain (poligami) jika istri pertamanya tidak dapat melahirkan keturunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun