Mohon tunggu...
Farid Ramadhan
Farid Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Life is Good, Life is Fun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

12 November 2022   16:26 Diperbarui: 17 Juli 2023   13:16 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari: Gramedia Digital

1. Identitas Buku

Judul               : Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

Pengarang    : Neng Dara Affiah

Penerbit         : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Kota Terbit   : Jakarta

Tahun Terbit: Desember 2017

Cetakan          : Pertama

Tebal               : xii + 200 halaman

Ukuran           : 14,5 x 21 cm

Bahasa            : Indonesia

Kategori         : Pendidikan (nonfiksi)

ISBN                : 978-602-433-55-7

Harga              : Rp80.000

2. Kepengarangan 

Neng Dara Affiah lahir di Pandeglang, Banten, pada tanggal 10 Desember 1969. Aktivitasnya saat ini adalah menjadi dosen di program studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) program studi Sosiologi dan Humaniora. Selain itu, ia juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas, seperti Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Pascasarjana Universitas Muhammadiyah (UMM) Malang, dan Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta.

Neng Dara Affiah terlibat intens dalam proses persiapan, pelaksanaan, dan pasca-Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Di antara proses persiapan KUPI yang ia ikuti adalah workshop perumusan metodologi fatwa KUPI, sementara pada saat pelaksanaan ia termasuk dalam tim seminar dan workshop. Selain itu, ia juga bertanggung jawab sebagai ketua forum musyawarah keagamaan yang membahas dan menghasilkan sikap dan pandangan keagamaan KUPI terkait isu kekerasan seksual

3. Sinopsis

Buku ini merupakan rekaman dan catatan jejak gerakan perempuan Indonesia dengan penanda era Reformasi. Jejak tersebut dimulai dengan substansi dan topik yang diperdebatkan, bentuk-bentuk dan aktor gerakannya, serta irisan dengan dinamika perjalanan agama dan negara.

Di awal era Reformasi, isu krusial yang menjadi perdebatan publik mengenai hak-hak perempuan adalah isu kepemimpinan perempuan, dipersoalkan ulang Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 mengenai praktik perkawinan poligami, pelarangan perkawinan beda agama, pembakuan peran pria sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, menggejala kembali isu pemakaian jilbab sebagai identitas perempuan muslim dengan multi makna dan multi kepentingan.

Buku ini menyuguhkan bangunan pengetahuan dalam kerangka teologi Islam, sejarah sosial, dan Sosiologi dengan keragaman argumentasinya atas topik hak-hak asasi perempuan yang berkembang di era Reformasi dalam rentang waktu antara 1998-2006.

4. Isi Buku

Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas ini terdiri dari 3 bab, dan dalam bab tersebut terdapat beberapa subbab yang menjelaskan lebih detail lagi mengenai apa yang ingin disampaikan pengarang. Berikut adalah penjelasan singkatnya.

 

I. ISLAM DAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Pada bab pertama ini, kita langsung disuguhkan bagaimana derajat perempuan itu sendiri dalam kacamata Islam. Salah satu keutamaan ajaran Islam adalah memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial (kasta), ras, dan jenis kelamin. Sejarah Islam mencatat, orang yang pertama kali menangkap dan menghayati kebenaran Islam adalah seorang perempuan, yaitu Khadijah. Dialah yang meyakinkan Nabi Muhammad saw bahwa ia adalah seorang utusan Allah Swt yang harus menyampaikan ajaran-Nya kepada umat manusia. Selain Khadijah, perempuan lain yang juga dekat dan yang paling disayang Nabi Muhammad saw adalah Aisyah. Kepadanya Nabi Muhammad saw mengajarkan separuh pengetahuan yang ia miliki, sehingga Aisyah, istri Nabi Muhammad saw itu, tumbuh dan berkembang sebagai seorang ahli ilmu agama Islam dan ahli sastra. Para sahabat Nabi Muhammad saw dan penerusnya (tabiin) banyak yang berguru kepadanya. Lalu ada Fatimah, yang merupakan anak perempuan dari Nabi Muhammad saw yang sangat disayangi. Bukan dalam bentuk harta dan nama besarnya, namun Nabi Muhammad saw mendidiknya dengan pembentukan mental yang kuat dan hidup dalam kesahajaan. Ketiga perempuan inilah yang paling disayangi, dihormati, dan disantuni Nabi Muhammad saw sepanjang hidupnya.

Konsep dasar Islam yang harus dimaknai bersama adalah Allah Swt menciptakan manusia; laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin (QS. Al-Baqarah: 30). Pemimpin di sini memiliki makna dan cakupan yang sangat luas. Ia bisa menjadi pemimpin pemerintahan, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga, dan pemimpin untuk diri sendiri. Namun, yang jauh lebih penting dari makna kepemimpinan adalah bahwa manusia pada dirinya memiliki tanggung jawab yang harus diemban dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Ayat Alquran yang oleh sebagian orang dijadikan argumentasi untuk menolak kepemimpinan perempuan, seperti ayat, “Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan”(QS. An-Nisa’: 34). Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan pria pada posisi yang superior, sementara perempuan pada posisi yang inferior. Argumen superioritas laki-laki didasarkan pada asumsi bahwa umumnya laki-laki dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-Aql), tekad yang kuat (al-Hazm), keteguhan (al-Aznl), kekuatan (al-Quwwah), kemampuan tulisan (al-Kitabah), dan keberanian (al-Furusiyyah wa al-Ramy). Karena itu, dari kaum laki-laki ini lahir para nabi, ulama, dan imam.

Meskipun ajaran Islam tidak membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin, pemimpin perempuan di kalangan umat Islam jumlahnya masih sangat terbatas. Faktor yang menyumbat potensi kepemimpinan perempuan ini, di antaranya adalah pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran Islam. Faktor lainnya adalah ego kolektif masyarakat muslim yang melanggengkan nilai-nilai patriarki. Yang di mana internalisasi nilai bahwa laki-laki sebagai manusia utama, dan perempuan sebagai pelengkap.

 Karena itu, penting membentuk sebanyak mungkin pemimpin perempuan Islam dalam berbagai ranah kehidupan dengan cara: 1) Sejak kecil, pola pendidikan watak kepemimpinan, perempuan atau laki-laki sebaiknya tidak dibeda-bedakan. 2) Anak perempuan dan laki-laki berhak mengakses apa saja sepanjang membuat diri mereka berkembang. 3) Memberikan kebebasan untuk memilih sesuai pilihan nuraninya. 4) Melatih perempuan jatuh bangun dengan pilihannya, karena dalam proses itu akan muncul pendewasaan hidup dan “otonomi” diri. 5) Menghindari pengerangkengan perempuan dalam sangkar emas atas nama “perlindungan”, karena bisa menjebak perempuan menjadi kerdil dan tahap berhadapan dengan realitas kehidupan nyata.

1. KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DAN OTONOMI DIRI

Dalam masyarakat Islam, ganjalan terkuat seputar kemunculan pemimpin perempuan adalah ganjalan teologis. Benazir Bhuto seorang pemimpin perempuan muslim asal Pakistan, menyebut bahwa para mullah (ulama konservatif) Pakistan sebagai “sekelompok agamawan yang bisa mendikte apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang”, misalnya menentang keras kenaikan Benazir Bhuto. Dengan cerdik, Benazir Bhuto berargumen tidak adanya ayat Alquran yang secara tegas melarang perempuan menjadi pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, Alquran menggambarkan Ratu Bilqis (semasa Raja Sulaiman) yang berhasil memimpin negeri Saba secara arif, adil, dan bijaksana. Benazir Bhuto mengatakan, “Perempuan dan laki-laki di hadapan Tuhan berkedudukan sama. Saya bangga menjadi perempuan Islam. Isu dalam pemerintahan Pakistan bukanlah laki-laki melawan perempuan, tetapi diktator melawan demokrasi. Adalah interpretasi salah kaum pria atas ajaran Islam, dan bukan ajaran itu sendiri yang membatasi kesempatan perempuan untuk memerintah. Sejarah Islam sebenarnya penuh dengan perempuan yang memainkan peran penting dalam masyarakat serta pemerintahan yang tidak kalah penting dari pria” (The Straight Time, 18 November 1988).

Gejala tersebut sebenarnya tak ada dalam spirit ajaran Alquran. Karena prinsip dasar Allah Swt menciptakan manusia; laki-laki dan perempuan adalah untuk menjadi (innī jā'ilun fil ardhi khalīfatan). Kepemimpinan itu dibentuk, tidak datang dengan sendirinya. Sejak kecil, pola pendidikan watak kepemimpinan, perempuan dan laki-laki sebaiknya tidak dibedakan. Anak perempuan dan laki-laki, berhak mengakses apa saja sepanjang mampu membuat diri mereka berkembang. Pengerangkengan perempuan dalam sebuah sangkar emas atau atas nama “perlindungan” dan “kasih sayang” yang selama ini sering dilakukan, bisa menjebak mereka menjadi kerdil dan gagap berhadapan dengan realitas kehidupan yang sesungguhnya.

2. KEPEMIMPINAN PEREMPUAN: ANDAI MEGAWATI JADI PRESIDEN

Kebutuhan rakyat akan kepemimpinan yang menekankan aspek feminitas boleh jadi merupakan sebuah antitesis dari pola kepemimpinan yang patriarkat. Untuk menyebut beberapa contoh, ketika Filipina dikuasai rezim Marcos, rakyat senantiasa dihantui ketakutan bersuara dan keran demokrasi ditutup. Rakyat pun menggeliat dan memberontak. Dalam kondisi negara seperti itu, seorang ibu rumah tangga bersahaja, bernama Corazon Aquino dielu-elukan rakyat untuk tampil sebagai presiden, dan Cory tidak kuasa menolaknya. Contoh fenomena lain adalah Aung San Suu Kyi di Myanmar. Perempuan yang disebut Vaclav Havel sebagai tokoh kekuatan tanpa kekuasaan ini semula tidak menaruh perhatian terhadap dunia politik, tetapi rupanya ia tidak tega melihat saudara-saudaranya di Myanmar diinjak-injak hak dasarnya, dipasung hak-hak politiknya, dan dibayangi rasa takut dalam hidup kesehariannya.

3. POLITIK, ETIKA, DAN PEREMPUAN: SEBUAH PERTANYAAN

Kenapa perempuan yang duduk sebagai wakil rakyat di DPR hanya beberapa gelintir saja, padahal dari sekian ratus juta penduduk Indonesia lebih banyak mereka yang berjenis kelamin perempuan? Pertanyaan tersebut cukup menggelitik pemikiran saya. Hemat saya, politik sebagai sebuah profesi adalah sesuatu yang netral. Sebagai profesi ia bisa saja bersih dan juga bisa kotor, atau berada di antara keduanya. Hanya saja, ‘kotornya’ politik itu sangat transparan, dan lebih transparan dibanding dengan profesi lainnya. Politik menjadi ‘kotor’ ketika para pelaku politisi mencampuradukkan kepentingan bangsa dengan kepentingan pribadi atau golongannya, sehingga berlakulah penghalalan segala cara, termasuk politik uang, pemaksaan, keculasan, dan sejenisnya. Padahal kita bisa berkaca melalui sejarah bahwa kemerdekaan bangsa ini diperoleh dan diupayakan melalui politik.

Banyak orang terhenyak seolah-olah kita terjaga dari mimpi buruk. Kita dicukupkan kebutuhan raganya, tetapi tidak jiwanya. Pemeo yang sering terdengar ketika itu, adalah pejabat yang berusaha jujur pada nuraninya, akan tersingkir ke pinggir. Untuk menyelamatkan posisinya, berbaik-baiklah pada atasan. Jika perlu, berjalan pun harus membungkuk. Nilai manusia yang merupakan citra Tuhan di muka bumi terpuruk ke titik derajat hewani yang hanya dicukupi dengan kebutuhan yang bersifat fisik dan material, tetapi hak-hal dasarnya dirampas. Lantas di mana perempuan ketika itu? Perempuan diatur sedemikian rupa oleh alat negara yang bernama Dharma Wanita. Jika pun ada perempuan yang menonjol, akan segera disingkirkan jauh-jauh ke luar arena. Untuk menutupi bahwa negara ini bukan negara berbasis patriarki, maka diangkatlah menteri peranan wanita. Kini, di saat situasi negara sedang gamang, carut-marut persoalan bangsa tak dapat diletakkan, kekerasan merupakan pemandangan biasa, ibu-ibu stres karena sehari-hari berhadapan dengan melambungnya harga-harga, bapak-bapak sibuk mengatur posisi di partai, maka rakyat mencari model kepemimpinan yang cocok untuk bangsa ini.

4.  DAERAH DAN PEREMPUAN

Muncul gagasan bahwa Indonesia harus menganut sistem pemerintahan federalism, sementara yang lain berpandangan bahwa sistem federalisme dapat mengancam NKRI. Sebagai respons terhadap berbagai pandangan tersebut lahir kebijakan otonomi daerah. Di bidang politik, otonomi daerah bertujuan membuka ruang bagi lahirnya proses pemilihan kepala pemerintahan daerah secara demokratis. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan. Di bidang ekonomi, otonomi daerah mendorong lahirnya berbagai prakarsa pemerintahan daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi wilayahnya. Intinya, otonomi daerah memberikan peluang kepada masyarakat yang ada di daerah untuk mengurus dirinya tentang apa yang mereka mau dan apa yang mereka tuju. Dengan begini memacu kita untuk menggali potensi dan kreativitas pada diri kita, masyarakat dan lingkungan di sekitar kita untuk kita munculkan.

Dari berbagai “mudarat” yang dirasakan dan dialami sepanjang pemerintahan yang sentralistik ini, muncul suatu gagasan bahwa tidak bisa bentuk pemerintahan yang lalu dilanjutkan. Harus ada model baru di mana masyarakat Indonesia, perempuan dan laki-laki dapat mengatur dirinya sendiri, bisa menunjuk pemimpin, yang mereka percaya dan terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan daerahnya.

Dalam kaitannya dengan perempuan, selama ini potensi dan kreativitas perempuan, terutama di berbagai daerah belum sepenuhnya diberdayakan. Berbagai ruang musyawarah masyarakat hampir sepenuhnya diisi oleh laki-laki. Masjid, balai desa, balai rakyat daerah, dan pelbagai arena publik lainnya. Dalam semangat otonomi daerah, sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 22 Tahun 1999, potensi dan kreativitas perempuan harus kita gali bersama dan dapat menyongsong kemajuan agama, daerah, dan bangsa kita.

II. ISLAM DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN

Pada bab selanjutnya, kita akan disuguhkan bagaimana perempuan dalam pembahasan seksualitas dan perkawinan. Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting dalam hidup manusia dan telah dijalani selama berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagian orang menganggapnya sebagai peristiwa yang sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian, yang diusahakan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Salah satu fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci nama Tuhan.

Pandangan serupa terdapat pula dalam ajaran Islam. Alquran menyatakan bahwa kesinambungan ajaran Islam sangat ditentukan oleh kelanjutan keturunannya, dan keturunan yang lahir dari keluarga muslim harus memenuhi ajaran agamanya. Karenanya, Islam mengajarkan para laki-laki untuk kawin dengan perempuan yang bisa mempunyai anak. Kemandulan sering dianggap sebagai salah satu kemalangan terbesar bagi perempuan, karena banyak di antara mereka yang hanya memiliki “posisi tawanya” dengan suami karena ia mempunyai anak. Dan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 4 dan Pasal 5 membedakan para suami menikah dengan perempuan lain (poligami) jika istri pertamanya tidak dapat melahirkan keturunan.

Pengungkapan sejarah yang dapat kita petik dari peristiwa di atas adalah bahwa perempuan seharusnya memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan; pilihan dengan siapa ia harus kawin; pilihan menolak kepatuhan terhadap suaminya jika bertentangan dengan keinginan suaminya; dan pilihan menolak dipoligami. Dalam hal ini, perempuan pun dapat merobohkan mitos-mitos tentang perempuan, baik dalam konstruksi maskulin dan membongkar seksualitas perkawinan jika lembaga tersebut dirasakan mengangkangi dirinya dan merendahkan dimensi kemanusiaannya.

1.  DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA

Salah satu fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Namun, untuk menafsirkan ketenteraman tersebut, tafsir agama cenderung menempatkan perempuan pada ranah domestik dengan melekatkannya sebagai penjaga  “gawang” kebahagiaan dalam rumah tangga yang mewujud dalam bentuk memelihara anak, kapan pun dan di mana pun. Pandangan keagamaan ini sangat kuat mempengaruhi kesadaran masyarakat di berbagai belahan dunia tentang keberadaan perempuan. Posisi perempuan hanya direduksi perannya sebagai ibu dan istri, tidak sebagai manusia utuh yang memiliki otonomi atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya serta peran yang ingin dimainkannya.

Fungsi berikutnya dari perkawinan menurut perspektif agama-agama adalah melahirkan keturunan. Keturunan ini tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga untuk kepentingan pewarisan ajaran. Agama Yahudi secara jelas menyatakan akan fungsi ini, karena dengan keturunan terdapat wahana untuk meneruskan perjanjian, dari generasi ke generasi, yang tidak hanya merupakan sejarah dari kelangsungan hidup Yahudi, tetapi juga bagi kelangsungan teologinya. Fungsi yang sama juga ditekankan dalam Gereja Katolik. Mengutip ayat yang sama, Katolik menekankan bahwa buah dari perkawinan adalah adanya keturunan. Dipertegas oleh Deklarasi Konsili Vatikan II pada Gaudium et Spes, no. 48, “Anak-anak adalah pemberian terbaik perkawinan”. Dalam ajaran Islam pun mempunyai pandangan yang serupa, Alquran menyatakan bahwa kesinambungan ajaran Islam sangat ditentukan oleh kelanjutan keturunannya, dan keturunan yang lahir dari keluarga muslim harus mematuhi ajaran agamanya.

Lalu fungsi berikutnya dari perkawinan adalah menghindari praktik hubungan seksual di luar nikah (zina). Perbuatan ini dikecam hampir semua agama dan dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Dalam hal ini Gereja Katolik memandang hubungan seks di luar nikah sebagai tindakan pencabulan dan dianggap sebagai perbuatan dosa yang abadi. Hubungan seksual di luar pernikahan pun dipandang telah menentang hukum alam, karena dalam perspektif Katolik dengan mengutip Santo Thomas, ikatan cinta pada para pasangan yang tidak kawin memungkinkan putusnya tali cinta tersebut, padahal anak-anak dalam suatu keluarga membutuhkan suatu lingkungan yang stabil. Dalam agama Islam secara tegas dan jelas melarang praktik itu. Perbuatan ini dipandang sebagai perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk. Larangan itu terdapat dalam Alquran, “Janganlah kamu menghampiri zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk” (QS. Al-Isra’: 32). Pesan lain terdapat dalam hadis nabi yang melarang berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi dan berpandangan mata dengan yang bukan muhrim.

2. POLOGAMI DI DUNIA ISLAM DAN INDONESIA

Beberapa pemikir muslim kontemporer menyatakan, salah satu pemicu terpuruknya dunia Islam di tengah-tengah percaturan global adalah lemahnya generasi umat Islam akibat perkawinan poligami. Setelah mengalami masa kejayaan selama kurang lebih dua ratus tahun, umat Islam terlena dengan berbagai kemewahan dan kesenangan ragawi yang diperlihatkan di istana mereka, termasuk perkawinan yang lebih dari satu (poligami).

Sebagaimana di negara-negara lain, praktik poligami di Indonesia pun banyak dilakukan oleh para laki-laki dari mulai strata kelas yang paling atas hingga paling bawah, di kota maupun desa, Sukarno, presiden pertama RI melakukan perkawinan lebih dari satu kali, Demikian pula dengan wakil presiden keempat RI, Hamzah Haz. Meskipun telah ada upaya pengetatan terhadap poligami, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Di samping itu, poligami diperbolehkan bagi pria karena perempuan dipandang memiliki “cacat dan kekurangan”, tetapi pemberlakuan yang sama tidak terjadi pada perempuan. Hal ini yang patut dipertanyakan, apakah cukup manusiawi jika seorang perempuan yang sedang sakit atau mendapat cacat badan, lantas ditinggal suaminya menikah lagi? Apakah cukup manusiawi pula seorang istri yang tidak berketurunan, yang mungkin bukan kehendaknya, lantas suami berpaling kepada perempuan lain? Lantas, apa pula yang dimaksud dengan laki-laki bisa berpoligami jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri?

3. JILBAB DAN SEPUTAR AURAT PEREMPUAN

Penggunaan pakaian ini sesungguhnya telah ada jauh sebelum Islam dan dikenal di antara bangsa Assyria, Aramea, Persia, Yunani, Turki, India Timur, Yahudi, awal Kristen, dan beberapa suku di Arab. Jenis pakaian ini sering dihubungkan dengan kelas sosial menengah dan atas. Bagi umat Islam, pada surah An-Nur ayat 30-31, seruan mengenakan jilbab ini adalah sebuah akibat dari kuatnya anggapan bahwa laki-laki cukup rentan terhadap godaan biologis atau hasrat seksual. Oleh karena itu, anjuran untuk membersihkan hati sangat ditekankan pada ayat ini, sebab dengan cara itulah perempuan tidak melulu dilihat sebagai obyek fantasi seksual. Di samping itu, ayat ini juga menekankan etika berpakaian dalam Islam yang tidak memperkenankan seseorang untuk pamer kekayaan yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Dalam hal ini, Alquran mengajarkan bahwa sebaik-baik pakaian adalah takwa (QS. Al-A’raf: 26).

III. PEREMPUAN, ISLAM, DAN NEGARA

Pada bab terakhir ini tidak kalah menarik, justru hampir inti dari isi buku Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas. Dan pada bagian bab ketiga terkait “Perempuan, Islam, dan Negara” digambarkan cukup baik bagaimana gerakan perempuan dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dituliskan bahwa dengan seiring berjalannya waktu, pemikiran-pemikiran progresif untuk menggerakkan dan menaikkan derajat perempuan di Indonesia mulai bermunculan seiring dengan ide gerakan kebangkitan nasional.

Feminisme dan Islam di Indonesia dapat dilacak keberadaannya ketika sejumlah kelompok terpelajar muslim berinteraksi dengan gerakan perempuan lain di pelbagai belahan dunia, baik Eropa maupun Timur Tengah. Hubungan tersebut terjadi karena proses kolonialisme maupun modernisasi. Dalam perkembangan terkini, alat analisis feminism yang dipergunakan adalah analisa gender. Dengan paradigma analisis gender ini (Affiah, 2009: 155-156) menunjukkan bahwa sejak dasawarsa 1990-an organisasi Islam dan organisasi gerakan perempuan Islam dengan pemikiran progresif muncul. Faktor lain yang juga berkontribusi terhadap berkembangnya gerakan feminism dan Islam adalah terjalinnya interaksi antara sarjana dan aktivis muslim Indonesia dengan dunia luar dalam keikutsertaan pelbagai konferensi internasional dan nasional yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam progresif di Indonesia dan kelompok-kelompok studi (Nadjib, 2002; Affiah, 2009).

Dalam Kongres Perempuan 1928, organisasi Walfadjri mengungkapkan pemikiran yang sangat maju pada masanya, yakni tentang perlunya pembaruan hukum-hukum perkawinan dalam Islam, misal tentang hak cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, perlindungan laki-laki terhadap keluarga, dan sebagainya. Organisasi ini juga membela para perempuan yang berambut pendek yang pada masa itu tidak lazim bagi perempuan muslim karena dipandang mirip dengan laki-laki. Masih dalam kurun waktu yang sama, Agus Salim, dalam kongres Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925 di Yogyakarta menyampaikan ceramah tentang pemakaian kerudung dan pemisahan perempuan. Dalam isi ceramahnya, ia menyampaikan bahwa masyarakat Islam mempunyai kecenderungan memisahkan perempuan di wilayah publik dan menempatkannya di pojok-pojok ruangan, misalnya di masjid-masjid atau dalam rapat-rapat dengan kain putih yang disebut hijab. Tindakan itu mereka anggap sebagai ajaran Islam, padahal menurut Agus Salim, praktik tersebut adalah tradisi Arab di mana praktik yang sama dilakukan oleh agama Nasrani maupun agama Yahudi. Karena itu, menurutnya, umat Islam hendaknya mempelajari Islam secara benar agar memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam periode berikutnya, yakni akhir 1980-an dan awal tahun 1990-an, pemikiran pembaruan Islam tidak berhenti dalam dataran wacana, melainkan terimplementasi dalam bentuk gerakan sosial. Dari pendekatan transformasi sosial yang dikembangkan oleh Masdar F. Masudi P3M lahirlah tokoh-tokoh pesantren yang menjadi pionir di tengah-tengah masyarakatnya dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Sebut saja Kiai Hussein Muhammad, pengurus Pondok Pesantren Daarut Tauhid yang mengembangkan pemberdayaan perempuan di pesantrennya. Pesantren lain yang mengembangkan pemberdayaan perempuan adalah Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Melalui Ida Nurhalida Ilyas, putri Kiai Haji Muhammad Ilyas Ruhiat, mantan Rais Am Syuriah PBNU (1994-1999), pesantren ini memfokuskan pendidikannya dengan perspektif keadilan gender.

Perspektif keadilan gender yang diadopsi oleh kelompok perempuan dalam lembaga-lembaga swadaya dan organisasi berbasis massa Islam tersebut memungkinkan mereka bersentuhan dan bekerja sama dengan gerakan perempuan sekuler. Isu yang diangkat adalah subordinasi, marginalisasi, dan pemiskinan terhadap perempuan yang harus diperjuangkan bersama dan harus didesakkan solusinya menjadi kebijakan negara.

5. Kesimpulan 

Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas dari Neng Dara Affiah merupakan karya yang harus diapresiasi. Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami dan pemahaman Islam yang kontemporer dan relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.

Kehadiran Neng Dara Affiah sebagai pemikir perempuan dan ulama feminis menjadi penting di tengah kondisi bangsa yang sedang terjangkit irasionalisme dalam beragama. Buku ini menuntun kepada kita, beragama harus berdialektis, mendengar korban, dan melihat banyak hal dengan kacamata yang bisa melihat ke hal terkecil.

Di sisi lain, Neng Dara Affiah  mencoba membumikan pengalaman-pengalaman korban yang dikemas dalam perspektif hak asasi perempuan, berselancar dalam dunia intelektualisme dan tradisi Islam dari aspek budaya maupun tekstual dengan mengawinkan tradisi akademik dan aktivis, seperti yang ia tulis dari bukunya yang lain berjudul Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia.

Dalam konteks berbangsa, pemikiran yang diberikan oleh Neng Dara Affiah harus diberikan ruang yang lebih besar. Ia berhasil menunjukkan bahwa wajah Islam itu multidimensional. Dan suara-suara Islam itu sangat beragam. Neng Dara Affiah  menunjukkan wajah Islam progresif. Dan itu merupakan terbosan menarik, karena Islam seperti yang digambarkan ia, yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA 

Affiah, Neng Dara. 2017. Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun