Mohon tunggu...
Farida Virdaus
Farida Virdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa fakultas syariah universitas islam negri Raden mas said surakarta

Mendaki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

14 Maret 2024   12:00 Diperbarui: 14 Maret 2024   12:13 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perkawinan Islam, hak dan kewajiban antara suami dan istri didasarkan pada prinsip bertanggung jawab, yang mengatur bahwa keduanya memiliki beban tanggung jawab sendiri dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. Hak dan kewajiban ini terbagi dalam tiga konteks pembahasan, diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam:

Kedudukan: Suami dan istri memiliki kedudukan yang seimbang di mata hukum, dengan suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Mereka memiliki hak dan kewajiban terhadap peran mereka dalam rumah tangga dan masyarakat.

Kewajiban Suami dan Istri: Suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, melindungi, mendidik, dan menjaga keutuhan rumah tangga. Istri memiliki kewajiban untuk mengurus urusan rumah tangga dengan baik, serta berbakti pada suami secara lahir dan batin. Keduanya juga memiliki kewajiban bersama, seperti saling mencintai, menghormati, setia, dan ikhlas secara lahir maupun batin.

Kediaman: Suami dan istri memiliki kewajiban bersama untuk menyediakan tempat kediaman yang layak bagi mereka dan anak-anaknya selama berumah tangga. Bagi suami yang mempunyai istri lebih dari satu, ia berkewajiban memberikan tempat tinggal dan keperluan yang layak untuk setiap istrinya. Para istri juga diharapkan ikhlas untuk menempati rumah bersama di satu tempat.

Kebebasan Perkawinan dan Pecatatan Perkawinan 

Perkawinan beda agama di Indonesia tidak diatur secara detail dalam undang-undang, namun munculnya permasalahan ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang semakin global. Ada dua pendapat terkait legitimasi keabsahan perkawinan beda agama:

Pendapat yang Memisahkan: Beberapa menginterpretasikan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara terpisah antara ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa cukup dengan mematuhi hukum agama/keyakinan untuk mengesahkan perkawinan tanpa perlu pencatatan resmi. Namun, hal ini dapat menimbulkan masalah karena Negara tidak dapat melindungi hak-hak pasangan dan anak-anak mereka.

Pendapat yang Menyatukan: Sebagian lain menginterpretasikan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan (2) adalah satu kesatuan, yang mengharuskan perkawinan diakui oleh Negara dan dicatat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi pasangan dan melindungi hak-hak mereka, terutama bagi istri dan anak-anak.

Pencatatan perkawinan di Indonesia dilakukan untuk memberikan kepastian hukum, dan harus dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah melalui lembaga yang berwenang, seperti Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil. Akta nikah adalah bukti sahnya perkawinan dalam hukum, dan memiliki peran penting dalam menjamin hak-hak pasangan, termasuk penentuan status anak dan hak waris. Dalam prakteknya, rukun dan syarat perkawinan dalam agama Islam sudah diatur dalam undang-undang perkawinan Indonesia, dan pelaksanaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Perjanjian Perkawinan 

Perjanjian perkawinan, meskipun jarang dibahas oleh ulama klasik, merupakan hal penting dalam sebuah perkawinan. Pandangan masyarakat terhadapnya masih dianggap tidak etis karena dianggap materialistik. Namun, perjanjian ini, dalam bahasa Arab disebut ittifa' atau akad, merupakan persetujuan yang mengikat antara pasangan sebelum memasuki rumah tangga. Tujuan pembuatan perjanjian ini dapat bervariasi, termasuk mengatur ketidaksetaraan kekayaan, usaha sendiri, hutang sebelum kawin, atau latar belakang pernikahan sebelumnya. Meskipun diatur secara hukum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, isi dan kepentingan perjanjian perkawinan ditentukan oleh pasangan asalkan tidak melanggar hukum, agama, atau kesusilaan. Dalam Islam, Kompilasi Hukum Islam mengatur lebih detail tentang jenis-jenis perjanjian perkawinan. Pelaksanaannya mengikat bagi pasangan dan pihak ketiga dan dapat melibatkan pengadilan. Pembuatan perjanjian perkawinan dapat memiliki dampak psikologis, sosiologis, dan hukum, serta dapat dibatalkan atau diperlakukan dalam kasus pelanggaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun