Mohon tunggu...
Farid Fauzi
Farid Fauzi Mohon Tunggu... Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradigma "Wasathiyah"

14 Agustus 2018   14:27 Diperbarui: 14 Agustus 2018   15:12 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat betapa bahayanya perilaku takfir ghuluw tersebut, maka membangun paradigma wasathiyah sebagai solusi yang ditawarkan al-Qur'an mesti dimaksimalkan di setiap lini kehidupan. Al-Habib Umar bin Hafidz mengatakan, "Ekstrimisme yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan konsep wasathiyah yang mulai terkikis. Karenanya, sikap moderat harus menjelma di setiap dimensi kehidupan seorang muslim, baik dalam ranah akidah, pemikiran, etika, maunpun interaksi dengan orang lain." (Hafidz, 24/11/2015).

Memaksimalkan paradigma wasathiyah dalam kehidupan tentu tidak bisa dengan bersikap apatis, duduk santai dan berpangku tangan saja. Harus ada usaha dan aksi nyata, jika tidak wasathiyah yang diimpikan hanya akan menjadi sebatas teori tanpa ada aksi. Di antara upaya yang bisa dilakukan untuk membangun paradigma wasathiyah adalah dengan membangun generasi wasathiyah itu sendiri. 

Maksudnya adalah membagun generasi yang moderat, yang pandai memadukan antara alam materi dan alam spritual, serta jauh dari perilaku ghuluw atau berlebih-lebihan dalam beragama. Langkah paling efektif untuk membangun generasi wasathiyah tersebut adalah melalui edukasi atau pendidikan, Penulis menawarkannya melalui tiga lini;

Pertama, edukasi di lingkungan keluarga.

Rumah adalah madrasah pertama bagi seorang anak, sehingga pembentukan generasi wasathiyah atau moderat sangat efektif melalui lingkungan keluarga. Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membiasakan bermusyawarah. Misalnya, jika ada rencana untuk pergi rekreasi maka menentukan tempat rekreasi tersebut dimusyawarahkan terlebih dahulu. 

Contoh lainnya ketika menentukan tempat untuk melanjutkan studi anak, maka dimusyawarahkan terlebih dahulu. Intinya adalah membiasakan bermusyawarah ketika mengambil keputusan di lingkungan keluarga.

Oleh sebab itu tradisi makan malam bersama dengan keluarga mesti dihidupkan kembali. Sebab selesai makan malam adalah waktu yang sangat efektif untuk bermusyawarah, semua anggota keluarga sudah selesai beraktifitas di siang hari, apalagi di era moderen ini setiap anggota keluarga sudah mempunyai scadule masing-masing. 

Saat ini, fenomena magicger sebagai alat pemasak nasi secara tidak langsung telah membentuk tradisi makan sendiri-sendiri, yang jauh dari kebersamaan, sehingga waktu untuk bermusyawarah menjadi semakin menipis. Tidak salah memasak nasi memakai magicger, tetapi substansi makan malam bersama yaitu musyawarah jangan sampai dihilangkan.

Ketika bermusyawarah, tentu akan ada silang pendapat, maka seorang ayah dituntut untuk bersikap wasath (baca: adil) dalam mengambil keputusan, kemudian setiap anggota keluarga harus berlapang dada menerima hasil musyawarah. 

Jika musyawarah di lingkungan keluarga sudah dibudayakan, maka akan terbentuklah generasi wasathiyah yang pandai bermusyawarah, siap berbeda pendapat, lapang hati dalam menerima mufakat dan bijak dalam mengambil keputusan karena selalu dicontohkan oleh ayahnya.

Kedua, edukasi melalui pendidikan formal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun