Mohon tunggu...
Farid Fauzi
Farid Fauzi Mohon Tunggu... Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradigma "Wasathiyah"

14 Agustus 2018   14:27 Diperbarui: 14 Agustus 2018   15:12 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Allah Swt. telah melarang perilaku ghuluw ini di dalam al-Qur'an, sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Maidah/5: 77, sebagai berikut:

Artinya: "Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (Departemen Agama RI, 2000:  174).

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa kata la taghlu terambil dari kata al-ghuluw, yaitu melampau batas yang dituntut akal sehat atau tuntunan agama, baik dalam kepercayaan, ucapan atau perbuatan. Sedangkan fungsinya adalah untuk meneliti hakikat sesuatu dengan sungguh-sungguh, serta menganalisis sesuatu yang tersembunyi dari sebuah teks, karena ayat itu menambahkan kata ghair al-haq atau dengan cara yang tidak benar atau tercela. 

Setelah menjelaskan makna la taghlu Shihab mengutip hadis Nabi Saw. riwayat Ahmad, "Janganlah kalian melampaui batas dalam beragama, karena umat sebelum kalian telah binasa disebabkan olehnya (Shihab, 2004: 172-173).

Merujuk pendapat Shihab di atas, dapat dipahami bahwa perilaku ghuluw tersebut sangat dilarang oleh agama, karena tidak rasional dan melenceng dari tuntunan agama. Bahkan Rasulullah telah mensinyalir bahwa penyebab binasanya umat terdahulu adalah karena perilaku ghuluw atau berlebih-lebihan mereka. Tujuan Nabi mengatakan demikian adalah supaya umatnya tidak binasa seperti umat-umat terdahulu. Salah satu contoh perilaku berlebih-lebihan itu adalah takfir ghuluw tersebut.

Kendati pun sudah sangat sharih larangannya di dalam al-Qur'an dan ditegaskan pula oleh Rasul yang mulia, namun virus takfir ghuluw itu terus saja menyebar ke tubuh-tubuh umat Islam. Seperti ISIS misalnya yang telah Penulis lansir di atas, menghalalkan darah dan harta orang lain di luar kelompoknya, sehingga boleh dibunuh.

Disebabkan takfir ghuluw ini juga MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sumatera Barat menfatwakan sesat kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah, karena menganggap musyrik, kafir dan najis muslim lain di luar kelompoknya (MUI Sumbar, 24/09/2007). Begitu juga LDII akronim dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang terindikasi mengkafirkan muslim lain di luar kelompoknya. Namun MUI belum menfatwakan sesat, statusnya baru sebatas diawasi.

Berakar dari perilaku yang sama juga, Satria Aditama melakukan aksi teror kepada warga dan aparat kepolisian, yang berujung pada tewasnya ia oleh senjata api laras panjang polisi. Ia ditembak tepat di rahang atas, yang memaksanya meregang nyawa di tempat. Pelaku masih tergolong sangat muda, yaitu 19 tahun, tetapi ia merupakan teroris muda yang sangat terlatih, ujar polisi (Tribunnews, 10/04/2017).

Dalam bentuk lain perilaku takfir ghuluw juga menggerogi umat Islam, ibarat jamur yang tumbuh subur di kayu yang lapuk, yaitu dalam perihal ikhtilaf. Seperti mauludan yang telah Penulis nukil di atas, begitu juga dengan tahlilan, qunuth dan basmalah dalam salat. 

Perilaku ini biasanya terjadi pada anak muda yang baru belajar agama. Belajar sedikit lalu menyalah-nyalahkan orang lain yang tidak sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya, sehingga jauh dari kebijaksanaan. Banyak ibadah orang lain yang di-bid'ah-kan dan disesatkan. Umpama orang yang baru belajar pencak silat, semua orang akan dilawannya, seolah sudah paham betul dengan seluk-beluk ilmu agama.

Perilaku tersebut tentu akan melahirkan kegamangan di tengah-tengah masyarakat. Mereka akan bingung dengan mana yang benar dan mana yang salah. Seharusnya seorang muslim yang baik bersikap arif, bijak dalam menyikapi perihal ikhtilaf ini, seperti perkataan Hasan al-Banna, "Saling tolong-menolonglah terhadap perkara yang disepakati, dan saling ber-tasamuh-lah terhadap perbedaan" (Al-'Adnani, 2004: 76). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun