Mohon tunggu...
Farid Fauzi
Farid Fauzi Mohon Tunggu... Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradigma "Wasathiyah"

14 Agustus 2018   14:27 Diperbarui: 14 Agustus 2018   15:12 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: dakwahjambi.com

Iftitah

James Volay adalah seorang jurnalis yang tewas dibantai. Peristiwa pembantaian Volay direkam dan diunggah ke youtube. Sementara itu ratusan perempuan dan anak kecil dari etnis Yazidi Suriah meregang nyawa saat dikubur hidup-hidup. Bahkan lebih dari 150. 000 muslim tewas dibunuh oleh kelompok muslim ekstrimis itu di Iraq dan Suriah (Muhammad, 2014: 43).

Kelompok muslim ekstrimis itu menamai dirinya ISIS, singkatan dari Islamic States of Iraq and Syiria. Mereka berkeinginan mendirikan negara ISIS di wilayah Iraq dan Suriah. Namun usaha mereka untuk mewujudkan keinginannya itu amat jauh dari nilai-nilai keislaman itu sendiri, bak panggang yang jauh dari api. Misalnya, menganggap kafir orang lain di luar anggotanya, sehingga halal dibunuh, bahkan sesama muslim pun ia penggal kepalanya.

Dalam acara ILC (Indonesia Lawyers Club) K.H. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa, akar penyebab terjadinya aksi radikal dan teror adalah takfir ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam menvonis kafir terhadap sesama muslim (TV One, akses 24/03/2015). Berlebih-lebihan yang dimaksud adalah menvonis kafir secara serampangan, padahal belum cukup syarat dan masih ada mani' atau penghalangnya menurut agama (Taqiyuddin, 2013: 20).

Mirisnya, perilaku takfir ghuluw yang merupakan ekspresi dari sikap ekstrem itu terus menjangkiti umat Islam, termasuk umat Islam Indonesia, bahkan sampai kepada bentuk-bentuk sederhana. Contohnya, perihal Maulud Nabi, ada yang mengamalkannya dan ada yang tidak. Keduanya tidak salah selagi mempunyai landasan kokoh yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. 

Masalah akan muncul apabila satu kelompok memaksakan pemahamannya kepada orang lain, kemudian mencap kafir jika tidak mengikuti pemahamannya tersebut. Hal serupa juga terjadi dalam masalah tahlilan, qunuth, basmalah dalam salat dan setumpuk perihal lainnya. Padahal kesemunya itu adalah ikhtilaf yang mesti berlapang hati dalam menyikapinya. 

Meskipun dalam bentuk sederhana, perilaku tersebut akan menjadi embrio-embrio subur aksi radikal dan teror, seperti yang dilakukan ISIS di atas. Jika ini terus berlanjut maka akan menyulut konflik sesama muslim. Tentu ini sangat berbahaya bagi umat Islam dan Islam itu sendiri. Jika konflik tersebut terjadi dalam skala yang lebih besar, maka berpotensi melahirkan perang saudara yang mengerikan, seperti yang sudah terjadi di Mesir, Iraq dan Suriah. Sangat memilukan bila itu juga terjadi di negeri seribu pulau ini.

Umat Islam harus segera berbenah, belajar dari peristiwa berdarah yang sudah terjadi di Timur Tengah. Jika terus menyebarkan virus takfir ghuluw ini, maka ibarat bom waktu, konflik yang berujung pada perang saudara juga akan terjadi di negeri ini. 

Oleh sebab itu, membangun paradigma wasathiyah adalah solusi yang ditawarkan al-Qur'an untuk mengobati penyakit berbahaya ini. Namun sebelum menjelaskan paradigma wasathiyah tersebut, Penulis akan memaparkan terlebih dahulu data fenomena ekstremisme yang berujung pada aksi-aksi radikal.

Dari Ekstrimisme ke Radikalisme 

Perilaku takfir ghuluw yang telah penulis paparkan di atas akan melahirkan muslim yang ektrem, ekstrem dalam pemahaman dan ekstrem dalam bertindak. Membenarkan pemahamannya sendiri atau kelompoknya, kemudian mencap kafir muslim lain di luar kelompoknya. Tentu sudah sangat sharih perilaku ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang rahmatal lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam. Seharusnya seorang muslim menjadi penyalur energi rahmat itu ke seluruh alam, bukan malah menyebar kebencian, permusuhan, pembunahan dan aksi-aksi teror.

Allah Swt. telah melarang perilaku ghuluw ini di dalam al-Qur'an, sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Maidah/5: 77, sebagai berikut:

Artinya: "Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (Departemen Agama RI, 2000:  174).

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa kata la taghlu terambil dari kata al-ghuluw, yaitu melampau batas yang dituntut akal sehat atau tuntunan agama, baik dalam kepercayaan, ucapan atau perbuatan. Sedangkan fungsinya adalah untuk meneliti hakikat sesuatu dengan sungguh-sungguh, serta menganalisis sesuatu yang tersembunyi dari sebuah teks, karena ayat itu menambahkan kata ghair al-haq atau dengan cara yang tidak benar atau tercela. 

Setelah menjelaskan makna la taghlu Shihab mengutip hadis Nabi Saw. riwayat Ahmad, "Janganlah kalian melampaui batas dalam beragama, karena umat sebelum kalian telah binasa disebabkan olehnya (Shihab, 2004: 172-173).

Merujuk pendapat Shihab di atas, dapat dipahami bahwa perilaku ghuluw tersebut sangat dilarang oleh agama, karena tidak rasional dan melenceng dari tuntunan agama. Bahkan Rasulullah telah mensinyalir bahwa penyebab binasanya umat terdahulu adalah karena perilaku ghuluw atau berlebih-lebihan mereka. Tujuan Nabi mengatakan demikian adalah supaya umatnya tidak binasa seperti umat-umat terdahulu. Salah satu contoh perilaku berlebih-lebihan itu adalah takfir ghuluw tersebut.

Kendati pun sudah sangat sharih larangannya di dalam al-Qur'an dan ditegaskan pula oleh Rasul yang mulia, namun virus takfir ghuluw itu terus saja menyebar ke tubuh-tubuh umat Islam. Seperti ISIS misalnya yang telah Penulis lansir di atas, menghalalkan darah dan harta orang lain di luar kelompoknya, sehingga boleh dibunuh.

Disebabkan takfir ghuluw ini juga MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sumatera Barat menfatwakan sesat kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah, karena menganggap musyrik, kafir dan najis muslim lain di luar kelompoknya (MUI Sumbar, 24/09/2007). Begitu juga LDII akronim dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang terindikasi mengkafirkan muslim lain di luar kelompoknya. Namun MUI belum menfatwakan sesat, statusnya baru sebatas diawasi.

Berakar dari perilaku yang sama juga, Satria Aditama melakukan aksi teror kepada warga dan aparat kepolisian, yang berujung pada tewasnya ia oleh senjata api laras panjang polisi. Ia ditembak tepat di rahang atas, yang memaksanya meregang nyawa di tempat. Pelaku masih tergolong sangat muda, yaitu 19 tahun, tetapi ia merupakan teroris muda yang sangat terlatih, ujar polisi (Tribunnews, 10/04/2017).

Dalam bentuk lain perilaku takfir ghuluw juga menggerogi umat Islam, ibarat jamur yang tumbuh subur di kayu yang lapuk, yaitu dalam perihal ikhtilaf. Seperti mauludan yang telah Penulis nukil di atas, begitu juga dengan tahlilan, qunuth dan basmalah dalam salat. 

Perilaku ini biasanya terjadi pada anak muda yang baru belajar agama. Belajar sedikit lalu menyalah-nyalahkan orang lain yang tidak sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya, sehingga jauh dari kebijaksanaan. Banyak ibadah orang lain yang di-bid'ah-kan dan disesatkan. Umpama orang yang baru belajar pencak silat, semua orang akan dilawannya, seolah sudah paham betul dengan seluk-beluk ilmu agama.

Perilaku tersebut tentu akan melahirkan kegamangan di tengah-tengah masyarakat. Mereka akan bingung dengan mana yang benar dan mana yang salah. Seharusnya seorang muslim yang baik bersikap arif, bijak dalam menyikapi perihal ikhtilaf ini, seperti perkataan Hasan al-Banna, "Saling tolong-menolonglah terhadap perkara yang disepakati, dan saling ber-tasamuh-lah terhadap perbedaan" (Al-'Adnani, 2004: 76). 

Kalapun betul mereka telah kafir, kenapa tidak diislamkan saja, kalau benar amalan mereka bid'ah kenapa tidak dibetulkan saja, itulah langkah yang betul. Bukan hanya mencap kafir, menyalah-nyalahkan ibadah orang lain, yang ujung-ujungnya melahirkan permusuhan, kebencian dan merusak persatuan.

Data fenomena yang telah penulis paparkan di atas adalah bukti bahwa umat Islam sedang darurat perilaku takfir ghuluw, suatu keadaan di mana apabila tidak sepaham maka dicap kafir, sesat dan semacamnya, dalam bahasa Haedar Natsir disebut "Hitam-Putih" (Republika, 14/08/2017), suatu sikap yang jauh dari kebijaksanaan. 

Tentu ini akan membuat citra Islam seolah jumud, kaku, tidak bersahabat dan beraroma kebencian. Ketika yakin dengan satu persoalan agama, lalu dipaksakanlah pemahaman itu kepada orang lain, tanpa menggunakan metode dakwah yang baik dan benar.

Masih dalam acara ILC, K.H. Hasyim Muzadi menjelaskan, "Dulu Wali Songo mendakwahi bangsa Indonesia dengan pelan-pelan, ramah dan lembut, sehingga umat Islam di Inodenesia saat itu mencapai angka 90 persen, dan itu dilakukan tanpa kekerasan dan perang. Namun mirisnya sekarang orang yang sudah memeluk agama Islam malah dikafir-kafirkan." (ILC akses, 24/03/2015).

Bukan tidak berbekas, tetapi ibarat luka yang meninggalkan jejak. Perilaku takfir ghuluw akan membahayakan umat Islam dan Islam itu sendiri, membuat citra islam seolah keras, kasar, kaku dan jauh dari kedamaian, sehingga berpotensi melahirkan keretakan antara umat seagama, permusuhan, pembunuhan dan perang saudara yang mengerikan. Bahkan penyakit ini pun tidak hanya menjangkiti orang dewasa saja, tetapi sudah lintas usia.

Maka tidak bisa tidak, permasalahan takfir ghuluw ini harus segera diurai dan diselesaikan. Jika tidak, maka akan menjadi malapetaka bagi umat Islam dan Islam itu sendiri, ibarat tumor ganas yang siap "membunuh" kapan pun dan di mana pun. Tentunya dengan merujung kepada al-Qur'an, kitab suci yang diyakini menawarkan solusi untuk berbagai persoalan umat manusia.

Paradigma Wasathiyah Qur'ani 

Term wasathiyah berasal dari bahasa Arab yaitu "wasath." Al-Raghib al-Ashfahani menyebutkan kata "wasath" berarti "sawaa'un" yaitu pertengahan di antara dua batas, bisa juga diartikan sebagai sikap adil, standar atau biasa-biasa saja. Setelah itu juga bermakna menjauhkan dari sikap ifrath (berlebih-lebihan) atau tafrith (memudah-mudahkan), (Al-Ashfahani, 1992: 879).

Di antara ayat yang berbicara tentang wasathiyah adalah firman Allah yang tertuang dalam surat al-Baqoroh/2: 143, sebagai berikut:

Artinya: "Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath (adil) dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad), menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi maha penyayang kepada manusia." (Departemen Agama RI, 2000: 36).

Ummatan wasathan berarti pertengahan, moderat dan teladan, demikian Quraish Shihab memulai penafsirannya. Sikap wasath itu akan menjadikan umat Islam dalam posisi pertengahan, sesuai dengan posisi Ka'bah yang berada di pertengahan pula.

Lebih lanjut Shihab menerangkan bahwa posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu sikap yang membuat manusia bersikap adil. Posisi pertengahan juga menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itulah ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak. 

Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapa pun dan dimana pun. Allah Swt. menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar umat Islam bisa menjadi saksi atas perbuatan manusia, akan tetapi sikap wasathiyah tersebut tidak akan bisa menjadi bagian dari diri seseorang jika tidak menjadi umat Rasulullah Saw. yang baik (Shihab, 2004: 347).

Merujuk keterangan Sihab di atas, dapat diambil 'ibrah bahwa umat Islam yang ideal itu adalah yang berperilaku dan berpemahaman wasathiyah atau moderat. Tidak ektrem kiri dan tidak pula ektrem kanan, sehingga umat Islam tersebut menjadi uswah atau panutan bagi umat yang lain, baik dalam bersikap maupun dalam beragama. 

Sikap wasathiyah tidak menjadikan umat Islam gila materi, dan tidak pula membuat umat Islam tenggelam jauh ke alam spritual, seolah tidak lagi menginjak bumi. Tetapi sikap wasathiyah tersebut memadukan antara alam materi dan alam spritual, sehingga terjadilah keseimbangan.

Syarat mutlak wasathiyah tersebut adalah dengan menjadi umat Nabi Muhammad Saw. yang baik, yaitu memahami dan mengamalkan al-Qur'an dan al-Hadits dengan benar, dengan mengikuti pemahaman yang benar pula. Sebab ada juga sebagian kelompok yang menyitir ayat-ayat al-Qur'an untuk mencari pembenaran, seperti ISIS yang telah penulis singgung di bagian awal makalah ini, yang menyitir "ayat-ayat pedang" untuk membenarkan tindakan biadap mereka.

Selanjutnya, wasathiyah atau sikap moderat bukan berarti tunduk dan patuh pada hukum barat, bersikap sungkem kepada kapitalisme dan sekularisme. Jangan sampai terjadi distorsi istilah, ketika umat Islam yang mengamalkan Islam secara kaffah lalu dicap tidak moderat atau muslim garis keras. Tetapi ketika umat Islam yang bisa menjadi mitra dan "ramah" kepada barat, baru dikatakan moderat. Ini adalah penyelewengan makna wasathiyah yang digadang-gadangkan barat untuk menghancurkan Islam.

Untuk menghidari distorsi istilah dan pemahaman yang keliru terhadap paradigma wasathiyah ini, adapun ciri-ciri muslim moderat tersebut: 1. Tawassuth (bersikap pertengahan) 2. Tawazun (seimbang dalam bersikap) 3. I'tidal (lurus dan tegas) 4. Tasamuh (toleransi) 5. Musawah (bersikap sama atau adil) 6. Syuro (pandai bermusyawarah) 7. 

Berjiwa Islah (pembaharu) 8. Mendahulukan yang prioritas (aulawiyah) 9. Tathowwur wa al-Ibkar (Dinamis dan inovatif )10. Tahadhdhur (berakhlah mulia), (Amin, 05/08/2016). Kesepuluh ciri-ciri ini adalah tolak ukur seseorang dikatakan muslim moderat.

Kemudian Syaikh Abdul Fadhil el Qoushi, seorang guru besar al-Azhar, pada acara pertemuan akbar Organisasi Internasional Alumni al-Azhar di Mataram mengatakan, "Moderasi Islam sangat dibutuhkan di tengah dunia yang sedang terkoyak oleh berbagai paham, aliran, dan kelompok yang serba ekstrem, baik kanan maupun kiri. Dari liberalisme, anti agama, hingga islamofobia, begitu juga dengan takfir ghuluw (menganggap orang lain kafir), tadhlili (menganggap orang lain sesat), hingga yang menganggap dirinya paling benar dan orang lain salah (Republika, 23/10/2017).

Mencermati penjelasan Amin dan el Qoushi di atas, mereka amat menekankan kapada pembangunan konsep wasathiyah atau moderasi Islam, maksudnya adalah membangun muslim yang moderat, jauh dari kekerasan, permusuhan, pembunuhan dan perang saudara.

Membangun Generasi Wasathiyah

Melihat betapa bahayanya perilaku takfir ghuluw tersebut, maka membangun paradigma wasathiyah sebagai solusi yang ditawarkan al-Qur'an mesti dimaksimalkan di setiap lini kehidupan. Al-Habib Umar bin Hafidz mengatakan, "Ekstrimisme yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan konsep wasathiyah yang mulai terkikis. Karenanya, sikap moderat harus menjelma di setiap dimensi kehidupan seorang muslim, baik dalam ranah akidah, pemikiran, etika, maunpun interaksi dengan orang lain." (Hafidz, 24/11/2015).

Memaksimalkan paradigma wasathiyah dalam kehidupan tentu tidak bisa dengan bersikap apatis, duduk santai dan berpangku tangan saja. Harus ada usaha dan aksi nyata, jika tidak wasathiyah yang diimpikan hanya akan menjadi sebatas teori tanpa ada aksi. Di antara upaya yang bisa dilakukan untuk membangun paradigma wasathiyah adalah dengan membangun generasi wasathiyah itu sendiri. 

Maksudnya adalah membagun generasi yang moderat, yang pandai memadukan antara alam materi dan alam spritual, serta jauh dari perilaku ghuluw atau berlebih-lebihan dalam beragama. Langkah paling efektif untuk membangun generasi wasathiyah tersebut adalah melalui edukasi atau pendidikan, Penulis menawarkannya melalui tiga lini;

Pertama, edukasi di lingkungan keluarga.

Rumah adalah madrasah pertama bagi seorang anak, sehingga pembentukan generasi wasathiyah atau moderat sangat efektif melalui lingkungan keluarga. Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membiasakan bermusyawarah. Misalnya, jika ada rencana untuk pergi rekreasi maka menentukan tempat rekreasi tersebut dimusyawarahkan terlebih dahulu. 

Contoh lainnya ketika menentukan tempat untuk melanjutkan studi anak, maka dimusyawarahkan terlebih dahulu. Intinya adalah membiasakan bermusyawarah ketika mengambil keputusan di lingkungan keluarga.

Oleh sebab itu tradisi makan malam bersama dengan keluarga mesti dihidupkan kembali. Sebab selesai makan malam adalah waktu yang sangat efektif untuk bermusyawarah, semua anggota keluarga sudah selesai beraktifitas di siang hari, apalagi di era moderen ini setiap anggota keluarga sudah mempunyai scadule masing-masing. 

Saat ini, fenomena magicger sebagai alat pemasak nasi secara tidak langsung telah membentuk tradisi makan sendiri-sendiri, yang jauh dari kebersamaan, sehingga waktu untuk bermusyawarah menjadi semakin menipis. Tidak salah memasak nasi memakai magicger, tetapi substansi makan malam bersama yaitu musyawarah jangan sampai dihilangkan.

Ketika bermusyawarah, tentu akan ada silang pendapat, maka seorang ayah dituntut untuk bersikap wasath (baca: adil) dalam mengambil keputusan, kemudian setiap anggota keluarga harus berlapang dada menerima hasil musyawarah. 

Jika musyawarah di lingkungan keluarga sudah dibudayakan, maka akan terbentuklah generasi wasathiyah yang pandai bermusyawarah, siap berbeda pendapat, lapang hati dalam menerima mufakat dan bijak dalam mengambil keputusan karena selalu dicontohkan oleh ayahnya.

Kedua, edukasi melalui pendidikan formal.

Sekolah adalah tempat seorang anak menuntut ilmu, oleh karenanya sekolah menjadi tempat yang efektif untuk membentuk generasi wasathiyah atau moderat. Oleh sebab itu sekolah seharusnya tidak hanya mengajarkan anak keilmuan umum saja, tetapi juga harus mengajarkan ilmu agama yang benar, sebagai perwujudan sikap wasathiyah di lingkungan pendidikan formal. 

Oleh karena itu wacana konyol penghilangan mata pelajaran agama di sekolah harus diberangus, bahkan sangat perlu untuk menambah jam pelajaran agama di sekolah. Tidak cukup dengan hanya dua jam seminggu lalu peserta didik akan paham dengan ilmu-ilmu agama.

Selanjutnya upaya yang bisa dilakukan untuk membentuk generasi wasathiyah di lingkungan sekolah adalah dengan membiasakan anak gotong royong, peduli sosial dan menjenguk teman sakit. Pihak sekolah seharusnya juga membuat slogan-slogan beraroma wasathiyah, misalnya "Jauhi kekerasan dengan bersikap wasathiyah" atau kata-kata yang senada dengan itu. 

Kemudian slogan-slogan tersebut dipajang di tempat-tempat strategis yang dapat dilihat oleh peserta didik setiap harinya, seperti di gerbang sekolah, pintu masuk kelas, di ruangan kantor dan tempat-tempat strategis lainnya, sehingga apabila slogan-slogan tersebut sudah dibaca oleh peserta didik setiap harinya maka akan tertanamlah dalam kepala dan nurani mereka sikap wasathiyah tersebut. 

Sehingga tanpa pikir panjang lagi nilai-nilai moderat yang sudah masuk ke kepala dan nurani anak akan spontan terlihat dalam perilakunya. Jadi, lingkungan sekolah formal idealnya tidak hanya mengajarkan anak ilmu pengetahuan umum saja, tetapi juga sebagai wadah pembentukan anak-anak yang berpemahaman dan berperilaku moderat.

Ketiga, edukasi melalui kearifan lokal Minangkabau.

Ada pepatah Minang yang sangat populer, "Lamak dek awak katuju dek urang," artinya adalah kita suka dan orang lain pun tidak menderita. Pepatah ini adalah buah pikir orang Minang dahulu yang belajar dari alam. Seharusnya pepatah ini diamalkan oleh masyarakat Minangkabau khususnya dan umat Islam umumnya.

Pepatah tersebut bisa diamalkan dalam perihal ikhtilaf, misalnya ketika kita menjadi imam dalam salat, maka hendaknya memperhatikan substansi "lamak dek awak katuju dek urang" tersebut. Jika kita lamak (suka) dengan men-sir-kan basmalah dalam salat tetapi makmum ndak katuju (tidak senang), maka tidak juga baik, salat pun akan berkurang ke-khusyu'an-nya. 

Alahkan lebih bijak, jika seorang imam membuat jamaah nyaman dan tenteram dalam beribadah, selagi mempunyai landasan kokoh dalam mengamalkannya. Sudah tidak zamannya lagi umat Islam pecah gara-gara perihal ikhtilaf ini, sebab berbeda pemahaman itu biasa, berbeda cara berfikir tidak mengapa, asalkan jangan menjadi petaka, sebab pepatah Minang mengatakan "basilang kayu di tungku di sinan api mangko ka iduik." 

Maksudnya adalah, perbedaan bukan meyebabkan kehancuran, tetapi tempat menyalakan api semangat persatuan, kebersamaan dan persaudaraan, bukankah sesama muslim itu bersaudara! (Q.S. al-Hujurat/49:10).

Oleh karena itu, Penulis sangat tidak setuju apabila kebersamaan di Ranah Minang ini bertukar menjadi sikap indvidualistik. Suatu sikap yang tidak peduli dengan orang lain, egois dan hanya mementinkan diri sendiri. Sikap ini sangat jauh dari nilai-nilai wasathiyah tersebut. Dahulu di Ranah Minang kebersamaan sangat terasa dzuq keberadaannya. 

Misalnya ketika ada sanak famili yang akan kenduri, bako (keluarga ayah) menyumbang kelapa, mamak menyumbang nangka, sedangkan induak-induak (ibuk-ibuk) masak bersama-sama untuk hidangan kenduri. 

Begitu tampak rasa kebersamaan tersebut yang jauh dari sikap ekstrem atau kekerasan. Oleh sebab itu, hidupkan kembali kearifan lokal tersebut sebagai pengejewantah sikap wasathiyah dalam beragama melalui kearifan lokal Minangkabau. Tidak usah "beo" dengan sikap invidualistik yang akan mengikis rasa kebersamaan dan persaudaraan.

Khatimah

Mencermati betapa bahayanya perilaku takfir ghuluw tersebut, sehingga mengancam umat Islam dan Islam itu sendiri, membuat citra islam seolah keras, kasar, kaku dan jauh dari kedamaian, sehingga berpotensi melahirkan keretakan antara umat seagama, permusuhan, pembunuhan dan perang saudara yang mengerikan. 

Maka tidak bisa tidak pembangunan paradigma wasathiyah sebagai solusi yang ditawarkan al-Qur'an mesti dimaksimalkan.

Memaksimalkan paradigma wasathiyah tentu harus ada usaha dan aksi yang nyata. Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membangun generasi wasathiyah itu sendiri, Penulis menawarkannya melalui pendidikan dengan menfokuskan pada tiga lini, yaitu edukasi melalui lingkungan keluarga, edukasi melalui pendidikan formal dan edukasi melalui kearifan lokal Minangkabau. Akhirul kalam, apabila pembangunan generasi wasathiyah di tiga lini tersebut dapat dimaksimalkan dengan baik maka generasi wasathiyah yang diimpikan akan terwujud nyata.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Al-Qur'an al-Karim

Al-Ashfahani, Al-Raghib, Mufrodat Alfadzi al-Qur'an, Beirut: Dar al-Fallah, 1992

Al-'Adnani, Abu Ibrahim ibn Sulthan, Al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah fa A'rafuha, Berut: Majalis Huda, 2004

https://coratcoreblog.wordpress.com/2015/11/24/pesan-al-habib-umar-bin-hafidz/

https:www.suara-islam.com/read/index/19304?utm_source=twetterfeed&utm_meduium=facebook

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Barat NO: 1/Kpt. F/MUI-SB/IX/2007 Tentang Al-Qiyadah Al-Islamiyah

Muhammad, Reno, ISIS Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam, Jakarta Selatan: PT Mizan Publika, 2014

Republika, 14/08/2017

Republika, 23/10/2017

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2004

Taqiyuddin, Ahmad, Dikafirkan Tapi Tidak Kafir, Depok: CV Hilal Media Grup, 2013

TV One akses 24/03/ 2015,

Https://plus.google.com/105271740773386989144/posts/2yhtmipfvhk 

Tribunnews, 10/04/2017

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun