Mohon tunggu...
Farhan Mustafid
Farhan Mustafid Mohon Tunggu... Penulis - penulis

"Ke-Aku-an" Ini perkara baju, tapi ketelanjangan "diri" yang begitu Sunyi dalam riuh-riuh realitas.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Absurditas Cinta dan Realitas Politik

31 Oktober 2023   16:33 Diperbarui: 31 Oktober 2023   16:39 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Farhan Mustafid, S.H. 


Seorang filsuf asal Yunani Aristoteles mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang politik (zoon politicon). Istilah ini menggambarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang senantiasa bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama. Secara harfiah, zoon politicon artinya makhluk yang selalu hidup bermasyarakat. 

Sebagai makhluk, manusia tidak bisa dipisahkan dari kelompok masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lain. Politik itu kejam. Naluri untuk mengalahkan demi berebut kekuasaan adalah sifat alamiah politik. 

Di politik, unsur ancaman dan kekerasan yang merupakan sifat-sifat hewani, lebih menonjol ketimbang sifat-sifat manusia yang rasional, dialogis, komunikatif, koperatif, dan konsensual.

Aristoteles (384-322 SM) mendefinisikan manusia sebagai "binatang politik" (zoon politikon) untuk menyebut sebagai makhluk sosial. Memang, dalam diri manusia selalu terbalut dua sifat alamiah: baik dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil.

Thomas Hobbes (1588-1679) mendeskripsikan manusia sebagai pemangsa. Manusia ibarat serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus). Istilah "manusia serigala" itu dicetuskan penulis drama Plautus (254--184 SM). 

Kata Plautus, manusia adalah serigalanya manusia (lupus est homo homini). Ini menandakan manusia sering menikam sesama manusia lain. Narasi yang terbangun di politik terlihat dominan soal kekerasan, kekejaman, saling menjatuhkan. Perebutan kekuasaan menjadi target dari nafsu kekerasan tersebut.

Apakah demikian sifat berpolitik?

Pertanyaan paling sah diajukan kepada Machiavelli (1469-1527), tokoh yang "menghalalkan segala cara" demi kekuasaan. Tipu muslihat, licik, dan kejam sangat efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Ini karena, Machiavelli melihat manusia memiliki sisi lain semirip sifat-sifat binatang yang rakus, bengis, kejam. 

Penguasa, menurut Machiavelli, bisa berlagak seperti singa ( atau rubah. Penguasa yang berkarakter singa sangat kejam dan menindas, sedangkan penguasa berwatak rubah begitu licik dengan tipu daya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun