"Dengarkan Ibu Lana, untuk keterlambatan Lana karena macet itu bukan hal yang bisa Lana prediksi bukan? Kita tidak mungkin tahu bagaimana kondisi jalanan sebelum melewatinya, jadi ini bukan salah Lana karena terjebak macet. Namun lain kali jika Lana tidak ingin terlambat maka Lana harus bisa berangkat lebih awal dari biasanya supaya waktu yang dihabiskan tidak terlalu banyak, kita harus tau kemacetan itu dimulai dari jam berapa supaya tidak ikut terkena macet." Ibu tersenyum dan memandangku sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
 "Dan masalah pertemanan, Lana tidak perlu khawatir dan memaksakan diri untuk mendapatkan teman di hari pertama masuk. Seiring berjalannya waktu Ibu yakin Lana akan memiliki banyak teman hebat dan bersahabat dengan mereka, ini adalah fase yang dilewati semua orang. Belajar untuk melihat bagaimana kondisi kelas dan teman-teman, lalu cobalah ajak mereka mengobrol walau hanya perbincangan kecil. Lana juga bisa bergabung jika mereka sedang berkumpul bersama atau sedang bermain bersama." Jawabnya Kembali.
Aku tidak menyangka diriku disini akan mendapatkan perlakuan sebaik ini dari keluarganya, bahkan sampai bisa berbagi keluh kesah cerita terhadap Ibu. Ini merupakan hal yang tidak kudapatkan sebelumnya. Aku juga selalu ingin bercerita terhadap Ibuku saat aku memiliki masalah ataupun hanya sekedar hal-hal kecil yang menurutku menyenangkan, aku ingin memiliki Ibu yang bisa sepenuhnya mendukungku, aku ingin Ibu bisa memberikan saran padaku, Ibu adalah orang pertama yang aku harapkan untuk memberikan saran dan bantuan saat sedang hilang arah.
Sulit bagiku untuk bisa berbicara dan bercerita secara langsung dengan sosok Ibu tak peduli seberapa berat masalah yang kualami, meski aku memiliki hari buruk yang mungkin membuatku ingin menyerah namun tak sekalipun aku bisa membagikan masalah yang kualami dengan Ibu. Ibu dan aku adalah orang yang hidup dengan pendapat berbeda, jadi seringkali apa yang Ibu katakan padaku membuatku mulai tersulut emosi karena merasa kita tidak bisa saling memahami.
Kadang aku merasa bahwa Ibu selalu meremehkan perasaanku dan membuatku berpikir bahwa kejadian yang aku alami adalah hal biasa yang tidak pantas diceritakan. Jarang sekali aku dan Ibu bisa mengobrol secara tenang tanpa adanya nada teriak di antara kita berdua, respon yang Ibu berikan bukanlah respon yang aku harap dapatkan. Jadi sedari kecil aku mencoba untuk memendam semua masalah sendirian dalam kepalaku karena tidak ada orang yang bisa mengerti diriku tanpa menghakimi.
Zzzzt.
Kejadian ini mulai terulang lagi dan lagi secara terus menerus, hal-hal yang telah kusaksikan disini sangat berbeda dengan apa yang aku alami. Mulai dari makan bersama keluarga yang tidak aku alami, ataupun seorang Lana yang tidak mendapatkan tekanan dari orang tuanya tentang masa depannya, Lana yang tidak terbebani dengan kondisi keuangan keluarganya saat ia besar nanti, Lana yang tidak perlu mengkhawatirkan mimpi-mimpi dan keinginannya, ataupun Lana sebagai seorang anak yang selalu mendapatkan pujian atas segala hal yang dia lakukan, dan Lana yang mendapatkan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tuanya.
Senang mengetahui bahwa Lana disini adalah seorang anak dengan kebutuhan hidup yang tercukupi, tidak seperti diriku yang selalu menggunakan semua uang jajanku untuk tabungan yang digunakan untuk membeli kebutuhanku di sekolah maupun luar sekolah. Tidak sepertinya yang selalu bisa bepergian dengan temannya sembari menghabiskan uang, aku lebih memilih diam di rumah dan belajar supaya bisa mendapatkan beasiswa tanpa perlu menghabiskan banyak uang untuk kuliahku. Kita sama-sama Lana, tapi mengapa aku harus berusaha sedangkan kamu tidak?
Puk.
Apa? Bukankah tidak ada orang yang bisa melihat diriku, lalu kenapa aku merasa ada seseorang yang menepuk pundakku?
"Permisi, kakak bisa dengar saya? Maaf kalau tidak sopan tapi dari tadi saya sudah menepuk pundak kakak namun tidak ada balasan, pandangan kakak terlihat kosong." Orang itu berbicara padaku.