"Lana, anginnya kencang banget nih!" Gita, teman sebangku ku dengan semangat berlari ke arahku sambil mengatakan pikirannya dengan berteriak.
Tuk.
Aku segera mengambil pulpenku yang terjatuh karena terkejut dengan suara teriakan Gita secara tiba-tiba.
"Iya Git, aku tahu tanpa kamu bilang begitu pun. Jadi bisa gak lain kali jangan suka teriak tiba-tiba? Pulpenku jadi jatuh nih karena kaget." Balas ku dengan kesal.
"Hehe, maaf Atlana sayang. Aku terlalu semangat untuk bilang ke kamu, soalnya kamu kan selalu bilang kalau kamu suka sama angin, bahkan kamu selalu hilang fokus kalau ada angin kencang sebelum hujan." Ujar Gita menjelaskan alasan mengapa ia berteriak padaku.
Mendengar ucapannya membuatku tersentak dan bergegas menengok ke arah jendela kelas untuk memastikan cuaca saat ini.
"Mungkin hujan akan turun." Batin ku.
"Tapi ya Lan, kenapa sih kamu suka sekali sama angin dan bukan sama hujannya? karena biasanya orang-orang pasti akan lebih suka hujan." Tanya Gita padaku.
Terdiam sejenak, aku segera tersenyum dan menjawab pertanyaan Gita.
"Tidak ada alasan khusus, aku hanya suka karena angin satu-satunya keberisikan yang aku suka." Jawabku padanya.
"Pasti bohong, memangnya ada alasan semacam itu?" Gita membalas tak percaya.
Mendengar ucapan Gita, aku tertawa ringan.
"Eh tapi bener loh? terlebih bukannya angin lebih menakjubkan daripada hujan ya Git, sebelum hujan turun pasti angin akan lebih dahulu memberikan tanda. Bahkan angin menerbangkan debu dan membuat pohon-pohon bergerak." Aku menyatakan alasan dengan lebih masuk akal supaya Gita bisa lebih mengerti.
Berbalik dari apa yang kuharapkan, Gita malah melihatku dengan tatapan aneh seolah baru pertama kali menemukan jenis orang sepertiku.
"Menerbangkan debu itu berarti akan ada banyak debu dimana-mana loh Lana, kita bisa kelilipan juga berarti. Apanya yang indah dari itu?" Gita menjawab dengan gemas mendengar alasanku yang tidak sesuai dengan pemikirannya.
"Tapi suasananya jadi lebih dingin dan sejuk kan?" jawabku dengan cepat.
"Kalau untuk yang satu itu setuju sih." Gita membalas dengan nada terpaksa.
"Tuh kan kamu juga setuju." Ujar ku.
"Terpaksa agar tidak semakin panjang masalahnya." Ucap Gita sembari mengambil tas sekolah nya.
"Lebih baik kita pulang sekarang deh Lan, kalo nanti takutnya kehujanan di tengah jalan." Sahutku kembali.
Mendengar ucapannya aku segera membuka handphone-ku untuk mengecek waktu saat ini, dan benar saja sekarang sudah pukul 15.30 yang menunjukan waktu para siswa untuk pulang sekolah.
"Duluan saja Git, aku akan pulang telat sekalian menyelesaikan tugas sejarah." Tolak ku sembari menunjukan pulpen yang tadi jatuh serta buku tulis sejarah di hadapanku.
"Tugas itu kan di kumpulinnya minggu depan jadi santai aja kali, yah tapi emang beda sih kalo anak rajin. Kalau begitu aku pulang duluan ya Lana, maaf gak bisa nunggu kamu dan nanti hati-hati di jalan." Pamit Gita tergesa-gesa.
"Oke Gita, kamu juga hati-hati di jalan ya!" balas ku dengan cepat.
Melihatnya berlarian seperti orang yang terburu-buru membuatku berpikir bahwa ia mungkin saja sudah di jemput oleh Ayahnya.
"Dijemput Ayah ya." Batin ku sambil tersenyum tipis.
Aku mulai menghapus beberapa pikiran yang terlintas di dalam kepalaku dan bergegas untuk menyelesaikan tugas sejarah supaya tidak pulang terlalu telat hari ini. Setelah menyelesaikan tugas sejarah aku bergegas merapikan peralatan tulis dan berniat untuk segera pulang ke rumah karena cuaca saat ini sudah terlalu mendung.
"Aku harus bergegas, mungkin beberapa menit lagi hujan akan turun." Gumamku.
Belakangan ini aku memang lebih sering mengerjakan tugas di sekolah dan menyelesaikannya lebih dahulu dibandingkan orang lain, karena aku yakin di rumah pasti akan berisik sekali. Akhir-akhir ini suasana rumah semakin kacau karena Ayahku.
Whuusshhh . . . .
Suara angin yang berhembus dengan kencang membuatku menghentikan langkah dan mengalihkan pandangan pada jalan sekitar. Suara berisik angin ini seratus kali lebih baik daripada suara Ayah yang setiap hari selalu membentak Ibu.
"Ini benar-benar nyaman sekali." Gumamku seraya tersenyum lebar.
"Ah, betapa aku mencintai angin yang membawakan rasa damai dan menerbangkan segalanya secara perlahan." Angin ini terasa sejuk dan membuat perasaanku membaik.
Pemandangan sekitar yang menunjukan semua pohon ikut bergerak sangat membuatku terpesona. Hasil pendapatan Ayahku yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga menjadi sumber permasalahan saat ini. Bukannya berusaha menghemat pengeluaran, Ayah malah menggunakan uangnya untuk membelanjakan hal-hal yang tidak dibutuhkan sehingga pengeluaran semakin banyak. Lebih menjengkelkan lagi ketika Ibuku berakhir menjadi tempat pelampiasan rasa kesal Ayahku hanya karena mencoba untuk menghentikan pemborosan itu.
Ibu adalah orang lemah lembut yang selalu setia dan mengutamakan keperluan suaminya, sedangkan Ayah adalah orang yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan tidak bisa mengendalikan emosinya saat ia sendiri mudah marah terhadap hal-hal kecil yang mungkin tidak berjalan sesuai dengan keinginannya. Hasilnya adalah ibu selalu diam membisu tanpa perlawanan ketika Ayah mulai melampiaskan emosinya ketika sedang mengalami suasana hati yang buruk.
"Orang bilang cinta pertama seorang anak perempuan itu Ayahnya, tapi aku tidak ingin mengakui orang itu sebagai Ayahku." Batin ku.
Selain Ibu, aku adalah korban kedua yang juga menjadi sasaran amukan Ayahku. Aku berkali-kali lebih sering mendengarkan umpatan kasar dan cacian yang dilontarkan oleh Ayahku, jika ada perbedaan maka itu adalah keberanian Ayahku yang menggunakan kekerasan fisik kepadaku saat sedang marah. Seringkali ia mencoba memukulku dan melemparkan barang-barang di sekitarnya ke wajahku.
Sedari kecil, aku bukanlah seorang anak yang akrab dengan Ayahnya dan mendapatkan kasih sayang berlimpah. Jadi aku sama sekali tidak menuntut atas hilangnya peran seorang ayah dalam kehidupanku. Aku masih ingat dengan jelas wajah Ibuku saat menceritakan rasa lelahnya selama ini.
"Lana, Ibu Lelah sekali. Ibu pusing memikirkan bagaimana hidup kita kedepannya, belum tentu kita bisa memenuhi kebutuhan hidup nanti. Kita bahkan sudah tidak memiliki uang untuk membeli makanan, haruskah ibu bekerja sebagai pembantu di rumah orang kaya untuk menambah penghasilan? kamu kan juga ingin lanjut kuliah setelah lulus sekolah nanti."Â Itu adalah kali pertama aku mendengar Ibu berkeluh kesah di hadapanku.
Betapa kaget dan sakit hatinya aku saat mendengarnya. Mungkin seharusnya aku tidak perlu kuliah supaya tidak membebani Ayah dan Ibu. Begitu memikirkan hal tersebut tanpa sadar air mataku mengalir.
"Ah, aku benci sekali memikirkan hal ini." Ketusku menjawab.
Angin-angin mulai berhembus dengan lebih kencang dari sebelumnya seolah memahami kesedihanku, anehnya aku merasa bahwa angin ini sedang bergerak menuju ke arahku, dan benar saja angin besar itu mulai melewati wajahku hingga membuat mataku ikut kelilipan. Aku mencoba menutup mataku untuk menghindari debu-debu yang masuk ke mata, namun begitu membuka mata betapa kagetnya aku saat melihat sebuah lubang besar transparan seperti membentuk sebuah ruang baru yang tidak terhubung dengan dunia ini berada di hadapan ku. Seolah terhipnotis dengan keberadaannya, aku secara sukarela berjalan untuk memasuki lubang transparan yang tampak berbahaya itu.
Duk.
Begitu melewatinya, suara langkah kakiku yang berpindah terdengar seperti sehabis jatuh di hamparan taman. Aku mulai memeriksa sekelilingku untuk memastikan dimana aku berada, namun aku segera menyadari bahwa tempat ini adalah tempat yang sama dengan tempat tadi hingga terlihat seolah aku tidak pernah berpindah tempat kemana pun. Ternyata hal yang berbeda dari perpindahan tadi adalah kondisi tubuhku yang menjadi tidak terlihat seolah berubah menjadi sebuah bayangan.
Dengan tenang aku mulai berjalan menuju rumahku untuk melihat apa yang terjadi dan apa yang harus kulakukan dengan situasi ini. Sepanjang jalan aku berpikir keras mengenai keadaan saat ini karena ini merupakan hal yang tidak masuk akal bagiku hingga tanpa sadar aku sudah sampai di depan rumahku, namun bukannya terkejut dengan situasi saat ini aku lebih terkejut dengan pemandangan yang ada di depanku.
"Hahaha, kali ini mimpi apa lagi." Aku mulai tertawa secara paksa melihat orang-orang di hadapanku.
Bagaimana tidak? mereka adalah aku dan kedua orang tua ku.
"Apa yang terjadi saat ini? apakah ini bukan duniaku?" gumamku.
Aku mengetahui dengan jelas bahwa tubuhku saat ini tidak dapat terlihat oleh mereka dan berbentuk seperti bayangan sehingga aku hanya bisa memperhatikan mereka saja.
"Hati-hati di jalan Lana dan Ayah." Ucap Ibuku setelah salim kepada Ayah.
"Kami berangkat dulu ya Ibu." Anak kecil di dalam dunia itu yang merupakan aku sedang melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan kepada sang Ibu, ia mulai memeluk perut Ayahnya sebagai tanda bahwa ia sudah siap untuk berangkat.
Mengetahui hal itu sang Ayah segera melajukan motornya untuk mengantarkan sang anak. Mengejutkan, aku tidak percaya dalam dunia ini seorang 'aku' bisa hidup dengan bahagia dan harmonis bersama kedua orang tuanya, hal yang selalu aku impikan dan inginkan terjadi secara nyata pada diriku di dunia lain. Pernah sekali aku merasa kesulitan ketika tidak ada orang yang mengantar dan menjemputku saat sekolah dan yang kuharapkan untuk itu adalah kedatangan Ayahku.
Kupikir aku tidak lagi butuh kehadirannya, namun jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku menginginkan itu sama seperti ketika anak-anak lain bisa mendapatkannya, hanya karena sudah terbiasa dengan hal tersebut dan tidak pernah menangis aku mulai merasa bahwa aku bisa melakukan semuanya tanpa perlu membebani orang tuaku. Rupanya aku masih butuh peran seorang Ayah untuk menanyakan dan memperhatikan kondisiku serta seorang Ibu yang bisa merawatku ketika sakit.
Aku merindukannya. Aku merindukan waktu dimana aku dan Ayahku masih bisa berbincang secara normal, aku merindukan waktu ketika kita bisa tertawa bersama, aku merindukan Ayah yang selalu membawaku ketika jalan-jalan menyusuri kota, aku merindukan Ayah yang selalu mengajakku ke suatu tempat dan membawakan beberapa makanan setiap ia pulang kerja, aku merindukan masa dimana kita sering berolahraga dan bermain bulu tangkis bersama, aku merindukan semua waktu bahagia yang telah kita lakukan. Aku benar-benar menahan semua perasaan ini sendirian selama ini.
Seolah waktu yang kumiliki sudah habis, aku berganti tempat dan sedang berada di kamarku sendiri, entah peristiwa mengharukan apa yang akan kusaksikan kali ini.
"Ayah bisa bantu Lana mengerjakan tugas ekonomi? Lana kurang mengerti tentang materi menghitung APBD dan APBN yah." Ucap Lana dengan ekspresi muka kusut.
"Lana sudah mencoba memahami apa yang guru jelaskan?" suara lembut Ayahku dengan tenang menjawab permintaan itu.
"Sudah yah, tapi Lana tetap tidak mengerti. Lana juga sudah mencoba untuk belajar lewat HP tapi tetap saja Lana masih tidak paham." Jelas ku.
"Kalau begitu biar Ayah bantu ajarkan materi yang Lana belum mengerti sampai sekarang." Jawab Ayah.
Mataku mulai berkaca-kaca, tidak menyangka bahwa akan ada saat dimana aku bisa meminta bantuan mengerjakan tugas kepada Ayah. Sedari kecil aku diajarkan untuk selalu mandiri dan menyelesaikan tugas sekolah ku sendiri, Ketika aku meminta bantuan maka Ayah dan Ibu akan menyuruhku untuk membuka kembali buku pelajaranku dan mencari jawabannya.
Rasanya sakit melihat anak lain bisa dengan bangga mengatakan bahwa mereka diajarkan dan dibantu oleh orang tuanya, terlihat sangat suportif pikirku. Seringkali tugas kerajinan dan kebudayaan membebaniku, ketika mendapatkan tugas untuk membuat sulaman maupun kerajinan dan karya seni lainnya. Meski tidak bisa melakukannya aku tetap berusaha menyelesaikan semua sendiri karena aku tahu akan sia-sia jika meminta bantuan Ayah dan Ibu. Mereka akan selalu menyuruhku berusaha karena itu adalah tugas pribadiku.
Sama dengan kejadian tadi, setelah menyaksikan peristiwa tersebut aku segera dipindahkan lagi ke tempat lain dalam sekejap mata. Kali ini ruangannya adalah di ruang tamu keluarga, meski baru melihat namun samar-samar aku merasakan kehangatan dari ekspresi mereka berdua.
"Lana capek bu." Ucapnya dengan nada lemah.
"Lana anak Ibu tersayang, ada sesuatu yang membuat Lana pusing di sekolah tadi? Lana boleh cerita ke ibu kalau tidak keberatan." Ibu dengan nada ramah dan lembutnya menjawab perlahan.
"Hari ini rasanya kacau sekali, tadi pagi Lana datang terlambat ke sekolah karena terjebak macet di jalan. Lalu di sekolah pun Lana belum punya teman sama sekali, Lana takut nanti tidak akan ada yang mau berteman dengan Lana sampai akhir." Lana mulai menjelaskan kejadian yang membuatnya gelisah hari ini.
Tidak langsung menjawab, Ibu tersenyum sejenak dan mulai mengusap kepalaku perlahan.
"Dengarkan Ibu Lana, untuk keterlambatan Lana karena macet itu bukan hal yang bisa Lana prediksi bukan? Kita tidak mungkin tahu bagaimana kondisi jalanan sebelum melewatinya, jadi ini bukan salah Lana karena terjebak macet. Namun lain kali jika Lana tidak ingin terlambat maka Lana harus bisa berangkat lebih awal dari biasanya supaya waktu yang dihabiskan tidak terlalu banyak, kita harus tau kemacetan itu dimulai dari jam berapa supaya tidak ikut terkena macet." Ibu tersenyum dan memandangku sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
 "Dan masalah pertemanan, Lana tidak perlu khawatir dan memaksakan diri untuk mendapatkan teman di hari pertama masuk. Seiring berjalannya waktu Ibu yakin Lana akan memiliki banyak teman hebat dan bersahabat dengan mereka, ini adalah fase yang dilewati semua orang. Belajar untuk melihat bagaimana kondisi kelas dan teman-teman, lalu cobalah ajak mereka mengobrol walau hanya perbincangan kecil. Lana juga bisa bergabung jika mereka sedang berkumpul bersama atau sedang bermain bersama." Jawabnya Kembali.
Aku tidak menyangka diriku disini akan mendapatkan perlakuan sebaik ini dari keluarganya, bahkan sampai bisa berbagi keluh kesah cerita terhadap Ibu. Ini merupakan hal yang tidak kudapatkan sebelumnya. Aku juga selalu ingin bercerita terhadap Ibuku saat aku memiliki masalah ataupun hanya sekedar hal-hal kecil yang menurutku menyenangkan, aku ingin memiliki Ibu yang bisa sepenuhnya mendukungku, aku ingin Ibu bisa memberikan saran padaku, Ibu adalah orang pertama yang aku harapkan untuk memberikan saran dan bantuan saat sedang hilang arah.
Sulit bagiku untuk bisa berbicara dan bercerita secara langsung dengan sosok Ibu tak peduli seberapa berat masalah yang kualami, meski aku memiliki hari buruk yang mungkin membuatku ingin menyerah namun tak sekalipun aku bisa membagikan masalah yang kualami dengan Ibu. Ibu dan aku adalah orang yang hidup dengan pendapat berbeda, jadi seringkali apa yang Ibu katakan padaku membuatku mulai tersulut emosi karena merasa kita tidak bisa saling memahami.
Kadang aku merasa bahwa Ibu selalu meremehkan perasaanku dan membuatku berpikir bahwa kejadian yang aku alami adalah hal biasa yang tidak pantas diceritakan. Jarang sekali aku dan Ibu bisa mengobrol secara tenang tanpa adanya nada teriak di antara kita berdua, respon yang Ibu berikan bukanlah respon yang aku harap dapatkan. Jadi sedari kecil aku mencoba untuk memendam semua masalah sendirian dalam kepalaku karena tidak ada orang yang bisa mengerti diriku tanpa menghakimi.
Zzzzt.
Kejadian ini mulai terulang lagi dan lagi secara terus menerus, hal-hal yang telah kusaksikan disini sangat berbeda dengan apa yang aku alami. Mulai dari makan bersama keluarga yang tidak aku alami, ataupun seorang Lana yang tidak mendapatkan tekanan dari orang tuanya tentang masa depannya, Lana yang tidak terbebani dengan kondisi keuangan keluarganya saat ia besar nanti, Lana yang tidak perlu mengkhawatirkan mimpi-mimpi dan keinginannya, ataupun Lana sebagai seorang anak yang selalu mendapatkan pujian atas segala hal yang dia lakukan, dan Lana yang mendapatkan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tuanya.
Senang mengetahui bahwa Lana disini adalah seorang anak dengan kebutuhan hidup yang tercukupi, tidak seperti diriku yang selalu menggunakan semua uang jajanku untuk tabungan yang digunakan untuk membeli kebutuhanku di sekolah maupun luar sekolah. Tidak sepertinya yang selalu bisa bepergian dengan temannya sembari menghabiskan uang, aku lebih memilih diam di rumah dan belajar supaya bisa mendapatkan beasiswa tanpa perlu menghabiskan banyak uang untuk kuliahku. Kita sama-sama Lana, tapi mengapa aku harus berusaha sedangkan kamu tidak?
Puk.
Apa? Bukankah tidak ada orang yang bisa melihat diriku, lalu kenapa aku merasa ada seseorang yang menepuk pundakku?
"Permisi, kakak bisa dengar saya? Maaf kalau tidak sopan tapi dari tadi saya sudah menepuk pundak kakak namun tidak ada balasan, pandangan kakak terlihat kosong." Orang itu berbicara padaku.
"Apa yang dia bicarakan? bukankah tadi ada sebuah lubang besar yang menyambungkanku dengan dunia lain?" aku bertanya dalam hati tentang apa yang kualami barusan, aku masih merasa bahwa itu nyata.
"Kakak baik-baik saja? Sebentar lagi hujan akan turun jadi sebaiknya kakak meneduh saja dulu bersama saya." Lagi dan lagi orang itu mengatakan hal yang tak bisa kupahami seakan berusaha merusak kenyataan.
Mendengar ucapannya aku mulai tersadar dan memeriksa dimana aku sedang berada, namun aku masih berada di tempat dimana aku menemukan gerbang tadi. Ini aneh, bukankah aku tadi berada di dunia lain dan bertemu dengan diriku yang lain? Mengapa sekarang tiba-tiba aku kembali berada disini.
"Kak." Orang itu mulai menepuk pundak ku sekali lagi dan memecah pikiranku.
"Ah iya, saya baik-baik saja tapi mungkin masih sedikit pusing." Tanpa sadar aku menjawab pertanyaan itu dengan asal supaya tidak di curigai.
1 Minggu kemudian.
Aku berniat membuka jendela kamar supaya bisa mendapatkan angin segar karena sekarang adalah waktuku belajar untuk ulangan mendatang, mungkin minggu depan jadwalku akan lebih padat dari ini jadi aku harus mulai mengerjakan dari sekarang. Segera setelah itu aku mulai mempelajari materi yang mungkin akan muncul di ulangan, dengan adanya angin luar semakin membuatku bersemangat dan lebih fokus belajar.
Mengingat tentang angin kembali membuatku teringat akan kejadian 1 minggu yang lalu dimana aku pergi ke dunia lain, jika dipikirkan lagi ternyata itu benar-benar lucu. Menurut kesaksian orang yang menepuk pundakku, saat itu ia melihat aku dengan tatapan kosong sambil tersenyum di hadapan angin-angin dan tidak bergeming sedikitpun, karena hujan akan turun membuat orang tersebut mau tidak mau memperingatiku agar tidak terkena hujan. Namun dia mengatakan bahwa aku tidak bergerak sedikitpun meski ditepuk berkali-kali.
Saat itu aku baru menyadari bahwa rasa sukaku terhadap angin membuatku terlena dan jatuh terhadap halusinasi yang aku pikirkan, perasaan sedihku saat itu dan adanya angin yang kusukai membuatku mengalami kejadian itu. Peristiwa yang aku alami tidak benar-benar nyata melainkan khayalanku dan khayalan tersebut adalah sesuatu yang aku inginkan.
"Ternyata aku menginginkan hal tersebut ya." Aku tersenyum tipis mengingat kilas balik yang aku saksikan seminggu yang lalu.Â
Itu adalah kehidupan seorang anak yang aku ingin dapatkan. Aku menyadari bahwa aku belum bisa menerima kondisi keluargaku saat ini.
Cr: Raihana Fauziyah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI