Dengan arogan wanita keturunan bangsawan berkaki bunga lotus itu berteriak kepadaku.
"Kalau kamu mau berhenti melayani wanita mesum itu aku bersedia membayar dua kali lipat ongkos jahit yang kau terima darinya!"
Aku terperangah. Tidak siap dijadikan sasaran tembak berikutnya karena kedua perempuan itu sama-sama penting bagiku. Mereka adalah para pelanggan setia yang tak pernah pupus memberi pekerjaan dan upah yang besar untukku.
Nona Liu paham atas kesulitanku. Ia berbalik. Dengan anggun menimpali lawannya.
"Aku malah bersedia mengganti sepuluh kali lipat kerugianmu bila engkau bersedia menolak pekerjaan dari nyonya besar, tuan penjahit. Jadi menurutmu mana yang lebih menguntungkan?" Tanyanya sambil menjentikkan jarinya, menyentuh pipiku.
Sikapnya yang jalang dan profesional itu spontan membuat wanita malang yang salah memilih lawan tersebut sesak napas.
"Pelacur busuk. Lantas dari mana asal-usul uangmu yang bisa kau hamburkan seenaknya!"
Sambil beranjak menuju pintu keluar nona Liu memberikan pukulan telak terakhir. Suaranya halus, terkontrol namun setajam pisau.
"Dari mana lagi? Tentu saja dari ranjang suamimu, perempuan bodoh!"
Akibat ulah nona Liu yang kelewatan itu, aku kehilangan salah satu pelangganku yang langsung pergi diiringi sang pelayan sambil membawa pulang setumpuk kain yang tak jadi ia jahit.
Aneh bukannya marah, aku malah menikmati drama kehidupan yang disuguhkan oleh wanita malang itu. Seekor semut yang berhasil memberikan gigitan menyakitkan kepada gajah yang mencoba menginjaknya.