Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Selamat Terbang Burung Camarku

11 November 2023   13:35 Diperbarui: 11 November 2023   13:36 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Camar termasuk salah satu burung unik dari beragam satwa yang ada di muka bumi. Kendati hidup secara berkoloni, namun pada hakekatnya ia adalah burung soliter yang lebih memilih hidup menyendiri.Kendati memiliki bentangan sayap yang lebar dan kokoh, ia bukan tergolong burung yang senang terbang jauh. Lebih memilih beraktivitas di lingkungan sekitar sarang.  

Terjebak dalam rutinitas berputar-putar di alam bebas, sebelum kembali ke haribaan.

Burung yang masih berkerabat dengan dara laut tersebut termasuk hewan karnivor yang memilih membuat sarang di atas tebing. Ia tangguh dan tidak mudah menyerah. Tahan terhadap terpaan angin darat dan laut yang sesekali berubah menjadi badai. Ia tetap bertahan hidup di lingkungan tersebut kendati tahu sebagian dari kelompoknya bakal mati sia-sia terhempas angin hingga membentur dinding.

Dalam hidup aku kenal seseorang yang karakternya menyerupai burung Camar. Dia adalah kakak perempuanku. Ia anak kedua sedangkan aku anak ketiga dari tujuh bersaudara. Selisih usia kami dua tahun.

Rumah kami terletak di sebuah gang kecil jalan Sawangan Purwokerto. Dengan keluasan tak lebih dari 300 meter persegi kami ibarat ikan yang terlempar kedalam Bubu rotan, hidup berhimpitan nyaris tak terpisahkan. Ternyata situasi semacam ini tidak mampu mendekatkan kami secara emosional.

Setiap pagi aku dan kakak berangkat bersama menuju ke SD Kristen yang berjarak sekitar 3 km dari rumah dengan berjalan. Itu adalah langkah pilihan kami guna menghemat ongkos becak yang bisa kami bagi berdua demi menambah uang saku yang terlalu minim. Siangnya aku pulang dengan membonceng kakak sulungku yang dibelikan sepeda oleh ibu. Kakak perempuanku memilih tetap berjalan pulang dibawah teriknya mentari yang berada di puncak langit, sekitar jam satu siang.

Meskipun berangkat bersama, namun kakak yang memiliki langkah kaki panjang dan cepat membiarkanku tertinggal beberapa meter di belakangnya. Aku harus berlari kecil guna menjejerinya. Ia  tidak pernah menggandengku sebagaimana layaknya sikap seorang kakak terhadap adiknya.

Didalam rumah kami juga jarang main bersama. Ia lebih senang merentangkan sepasang kakinya menempel ke dinding. Lalu melambungkan bola bekel dengan taburan biji salak sendirian. Juga ketika bermain lompat tali. Ia menggunakan rangkaian karet gelang sepanjang dua meter yang ditambatkan salah satu ujungnya di gagang pintu. Ujung lain ia pegang sambil melompat mengikuti perputaran tali yang menyapu kakinya. Semua itu dilakukannya sendiri. Tidak pernah melibatkanku.

Aku bisa mengibaratkan dunia kanak-kanak kami terpisah oleh sebuah sekat. Kakak berada di sebuah kapsul kaca tembus pandang yang nampak benderang. Namun sesungguhnya kedap. Sementara aku bersama keenam saudara dan orangtuaku berada di luarnya. Bisa menyaksikan seluruh aktivitasnya, namun tidak pernah bisa memahami kedalaman perasaan maupun emosinya. Akibatnya ia seperti sosok asing didalam keluarga. Termasuk di mata orangtua kami.

Suatu ketika terjadi tragedi didalam rumah kami yang akhirnya mampu mempertautkan perasaan kami berdua. Semua itu dipicu oleh alasan yang sangat sepele.

Sedari kecil kakak punya kebiasaan tidur dan bangun lebih awal ketimbang kami semua. Oleh karena itu ia diberi tugas ibu untuk menjerang air dan menyeduh teh untuk keluarga. Berulang kali ibu menegur kakak agar jangan membubuhkan daun teh terlalu banyak kedalam teko. Demi penghematan. Namun itu tak pernah digubris.

Menjelang pagi aku terbangun oleh suara ribut di dapur. Waktu itu ibu baru pulang. Dalam keadaan mengantuk dan letih ia mendapati kakak tengah melaksanakan tugasnya menyeduh teh sebagaimana biasanya.  Saat itulah ia kehilangan kontrol emosi. Memaki kakak disertai kata-kata “Bila tidak mau mendengar nasehatku, sana pergi dari rumah!”

Seperti biasanya kakak hanya berdiri mematung. Tidak merespon kemarahan ibu.  Ia juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk membantah.

Hari itu pun berlalu sebagaimana biasanya. Aku baru menyaksikan efek sengatan kata-kata ibu terhadap kakak keesokan harinya.

Rumah kami memiliki empat buah kamar. Kamar pertama difungsikan sebagai gudang penyimpan barang dagangan ayah yang ketika itu masih sangat sedikit. Kamar kedua untuk kedua oraantua kami. Aku dan kelima saudaraku terhimpun dalam kamar ketiga yang memiliki dua ranjang besar. Sedangkan kakak perempuanku enggan bergabung dengan kami sehingga ibu memberikan kamar keempat untuk ditempatinya sendiri. Ia rajin membersihkan, menyapu maupun mengepel kamar. Mengunci dan menggemboknya bila keluar dari kamar, termasuk untuk keperluan singkat misalnya mandi. Sehingga tak seorangpun didalam keluarga yang pernah melihat isi kamarnya.

Menjelang pagi aku terbangun oleh suara Adzan yang sayup-sayup terdengar dari kamar. Tidak seperti biasa aku melihat kamar kakak terbuka lebar sehingga memancing rasa ingin tahuku.

Saat itu kamar sudah tertata rapi. Termasuk ranjangnya yang selebar 160 cm. Ternyata ia tengah berbenah. Menjejalkan beberapa potong pakaiannya kedalam tas.

Aku yang masih belum sadar sepenuhnya mengira sedang bermimpi ketika di tengah kesibukan ia memberi isyarat dengan melekatkan telunjuknya ke mulut agar aku tidak berisik.

“Aku mau pergi. Kemarin mama mengusirku.” Katanya.

Ia sama sekali tidak mau memandangku. Kembali menjejalkan sisa pakaian dan barang keperluannya kedalam tas usang yang dulu sering dipakai ayah keliling kampung menjajakan dagangannya.

Aku jadi panik. Mendekati dan mengguncang lengannya.

“Kamu gila apa? Memang mau ke mana? Kan kamu tahu kebiasaan mama ketika marah. Semua anaknya sudah pernah ia usir. Tapi ia kan tidak serius.”

Ia tak menggubris omonganku. Membuatku yakin atas tekadnya untuk pergi.  

Dengan tubuh gemetar aku lari ke kamar. Mengambil satu-satunya barang berharga yang kumiliki di bawah tumpukan baju. Itu adalah cincin kesayangan yang dihiasi mahkota batu berbentuk Aprikot berwarna merah. Aku membelinya dengan kumpulan angpao serta uang jajanku selama beberapa tahun.

Bergegas aku lari menghampirinya. Menyusupkan barang itu ke genggamannya.

“Kau bisa menjualnya bila kepepet uang,” kataku dengan mata berkaca-kaca.

Miris dan kekuatiran memenuhi benakku. Karena aku tahu betul kondisi keuangan kakakku. Semenjak mogok tidak mau sekolah ketika kelas empat SD karena sering mendapat perundungan teman-temannya, ia tidak pernah lagi diberi uang saku oleh ibu. Sehari-hari ia rajin mengumpulkan peti kayu bekas kemasan barang, kardus dan koran. Lalu menjualnya ke pengepul barang rongsok. Kurasa uangnya tidak banyak. Tidak akan mampu membiayai hidupnya kalau pergi dari rumah. Namun aku tidak mampu mencegahnya.

Jadi dalam keremangan fajar aku pergi mengiringinya hingga ke ujung gang. Ia memanggil becak. Melambai kepadaku seraya berjanji akan menyurati ku bila sudah sampai tujuan. Tapi ia tidak mau menyebut tujuannya kemana.

Demikianlah aku menyaksikan becak itu menjauh hingga akhirnya lenyap ditelan  kabut pagi yang basah dan dingin.

Peristiwa itu terjadi tatkala aku duduk di kelas lima SD. Kususuri jalan lengang di kotaku yang sangat kuakrabi liku-liku maupun sudutnya dengan limbung.

Aku berharap becak yang dinaiki kakak tiba-tiba bannya meletus. Atau bis yang dia tumpangi mogok. Apapun jadi, asal kakak tidak jadi pergi. Sayang hari itu tetap berjalan bersama rutinitasnya. Tidak membawa perubahan apapun terhadap keberlangsungan hidup keluargaku.

Siang setiba dari sekolah aku masuk ke kamarnya yang terbuka dan lengang. Lantainya nampak mengkilap karena terlalu sering dipel. Sangat berbeda dengan kondisi rumah secara keseluruhan yang kasar dan kusam, karena seluruh lantainya masih terbuat dari tegel berbahan semen.

Ku telungkupkan tubuhku di lantai yang dingin. Menumpahkan rasa kehilangan itu dalam isak yang tertahan. Hari itu aku disadarkan oleh kenyataan yang menyakitkan, bahwa aku ternyata begitu membutuhkan dan merindukan kakak yang selama ini sering kuabaikan kehadirannya.

Aku baru bisa menarik napas lega ketika menerima sepucuk suratnya dari Semarang dua minggu kemudian.

Ternyata kakakku orang yang penuh perhitungan. Tidak senekat dan segila yang kukira. Ia bukannya hidup menggelandang seperti yang kutakutkan, melainkan ikut tinggal di rumah bibiku yang terletak di jalan Anggrek.

Adik bungsu ayahku punya suami seorang Importir yang banyak memasukkan barang dari pelabuhan Tanjung Emas. Mereka berdomisili di Bandung. Hanya sesekali saja keduanya tinggal di Semarang, ketika ada urusan pekerjaan.

Kakak rupanya sangat menikmati petualangannya menempati rumah sendirian. Bibi cukup dermawan dalam memberi uang saku untuknya. Juga membiayainya ikut kursus memasak. Sayang sekali aku belum pernah menyaksikannya terjun ke dapur mempraktikkan hasil kursusnya tersebut.

Selama itulah keakraban diantara kami terjalin lewat surat-menyurat. Melalui komunikasi non lisan inilah setahap demi setahap aku belajar mengenal pribadinya yang selama ini begitu misterius. Sebagaimana anak yang mulai memasuki masa pubertas  sesekali ia juga mengisahkan pertemanannya dengan seorang pemuda yang rumahnya berada satu gang dengan rumah bibi.  Mungkin itu adalah cinta pertama kakak yang akhirnya tidak kuketahui kelanjutan kisahnya. Menguap bersama angin lalu.

Selama tiga tahun kakak pergi dari rumah. Setiap menerima suratnya kuceritakan garis besar isinya kepada ibu yang tidak bisa membaca tulisan dalam huruf alphabet. Aku ingin menggugah hati ibu terhadap kakak. Seiring berjalannya waktu kemarahan ibu akhirnya mereda.

Suatu pagi kulihat ia berkemas siap berangkat ke Semarang ditemani tetangga sekaligus sahabat keluarga kami.  Tujuannya adalah untuk menjemput kakak yang sudah dianggap anak hilang dalam keluarga kami.

Jam satu siang aku pulang dari sekolah. Ketika itu aku sudah duduk di kelas dua SMP. Aku begitu bersemangat mencari keberadaan saudaraku dengan menjelajahi seisi rumah.

Akhirnya aku mendapati dia tengah makan sendirian di ruang makan. Aku meluapkan kegembiraanku dengan mendekatinya. Sangat ingin memeluknya. Namun itu tak kulakukan karena merasa canggung.

Kakak yang kini terlihat lebih dewasa nampak mengambil sesuatu dari saku roknya. Menempelkannya ke telapak tanganku. Aku membuka tanganku dengan perasaan takjub. Ternyata itu adalah cincin bermata merah yang pernah kuberikan kepadanya sebelum perpisahan kami dulu.

“Simpanlah!” Ujarnya sambil menatapku dengan sorot mata yang lembut. “ Aku tidak tega menjualnya!”

Ia lantas membuang muka. Melanjutkan kembali makannya. Tidak mau menatapku lagi.

Namun semenjak hari itu aku memiliki keyakinan adanya ikatan batin yang erat diantara kami berdua. Saling mencintai, kokoh tak tergoyahkan. Kendati kami sama-sama punya hambatan untuk mengekspresikan perasaan tersebut.

                                                                      ***

Masa remaja pun tiba. Kakak yang introvert lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Senang membaca novel. Sementara aku lebih memilih menjalin kekariban bersama teman-teman sebaya dengan berbagai aktivitas di luar. Piknik, menghadiri pesta muda-mudi atau nongkrong di warung makan.

Satu-satunya aktivitas yang kami lakukan bersama adalah pergi ke bioskop. Menikmati filem mandarin: kisah drama percintaan atau silat. Biasanya setelah kedua orangtua yang nonton pertunjukan sore pulang. Bila filem yang ditonton dinilai bagus - tidak mengandung unsur sexual atau kekerasan - ibu akan memperbolehkan kami menyaksikan pertunjukan jam berikutnya. Maka dengan bersemangat kami berdua naik becak menuju bioskop Nusantara.

Berbeda dengan kakak, aku sangat impresif menikmati alur cerita maupun akting para tokoh dalam filem yang barusan kami tonton. Sepanjang perjalanan pulang kuungkapkan kesan maupun kritikku. Seperti biasa selalu dengan intonasi tinggi dan emosional. Sayang aku seperti berbicara kepada angin, tidak bergaung. Sesekali ia memandangiku yang asyik berceloteh. Lalu kembali mengalihkan tatapannya ke jalanan. Tidak menanggapi. Walau ia juga tidak menegurku.

Tak terasa waktu terus bergulir. Tiba saatnya bagi kami untuk berpisah. Karena aku harus pindah ke Bandung untuk kuliah. Larut dalam berbagai kesibukan aku jarang berkomunikasi dengannya.

Suatu ketika dalam liburan semester aku pulang. Diberi kejutan oleh ibu yang secara tiba-tiba menanyakan sosok salah satu teman mainku ketika SMP.

“Menurutmu orangnya gimana? Aku bermaksud menjodohkan dia dengan kakakmu.”

Aku bengong. Kuanggap ini hal yang aneh. Selama ini pemuda yang dia maksud lebih banyak mencariku ketika datang ke rumah. Aku tidak pernah melihatnya berkomunikasi dengan kakak. Ayahnya sudah meninggal. Sesekali ia datang ke rumah guna membeli barang dagangan ayah untuk dijajakan ke desa-desa sekitar kota kami. Waktu itu usaha ayahku sudah berkembang tambah besar.

“Ibunya juga sudah setuju,” kata ibu dengan antusias.

Apapun yang terjadi aku mendukung perjodohan tersebut. Karena di mataku teman tersebut cukup baik. Walaupun secara ekonomi belum mapan. Apalagi kami juga cukup mengenal keluarganya.

Kakak menikah secara sederhana beberapa bulan kemudian. Aku menyikapinya dengan rasa syukur dan lega. Karena saudara perempuanku akhirnya bisa keluar dari “kepompong” yang selama ini mengurungnya. Terbang guna mengarungi kehidupan baru bersama pasangannya yang dipertemukan Tuhan secara misterius.

Sayang sekali pernikahan tersebut berjalan kurang harmonis. Mungkin karena keduanya belum cukup mengakrabi karakter maupun sifat pasangannya sebelum membina hidup bersama.

Kakak iparku meninggal tahun 2000 dalam usia 43 tahun karena serangan jantung. Saat itu putra sulungnya baru berumur 14 tahun. Sedang adiknya masih 8 tahun.

Semenjak saat itu kakak perempuanku berjuang sendirian guna merintis tokonya yang masih berstatus kontrak sembari membesarkan kedua anaknya.

Kakak adalah wanita paling tangguh yang pernah kukenal selama hidupku. Sedari kecil aku belum pernah melihatnya berurai air mata. Termasuk ketika ayah maupun suaminya meninggal. Sedari kanak-kanak pula ia sangat rajin menabung. Tidak pernah jajan atau membeli pernak-pernik barang yang dinilai tidak penting.

Sangat mandiri. Kelak dalam menghadapi kesulitan hidup ia senantiasa berusaha menyelesaikannya sendiri. Nyaris tidak pernah meminta bantuan keluarga.

Pada masa usianya masih belasan tahun ia sudah memiliki pertimbangan sangat matang dalam mengelola keuangan. Senang menyimpan tabungan dalam bentuk emas curah ( Ciok Kim) bukan berupa perhiasan yang ketika dijual bakal mendapat potongan harga dari toko. Juga dolar USA. Tatkala Indonesia diterjang badai krisis moneter tahun 1998 kakak adalah satu-satunya saudara kami yang paling menikmati dampak positifnya.

Dalam setiap sendi kehidupannya kakakku sangat terobsesi hidup hemat. Suasana rumahnya suram lantaran berusaha mengurangi pemakaian listrik. Semua pekerjaan ia borong tanpa mengandalkan asisten rumahtangga. Membersihkan rumah, mencuci baju, menjaga toko sembari merawat dan membesarkan kedua anaknya. Ia berusaha menanamkan hidup prihatin terhadap mereka.Sepulang sekolah keduanya diwajibkan membantu sang ibu menjaga toko ketimbang pergi bermain sebagaimana layaknya kanak- kanak.

Berkat ketekunannya kakak mampu memiliki sebuah toko cukup luas yang menjual perabot rumahtangga di  Cilongok. Usahanya  berkembang pesat.

Sangat disayangkan semangatnya mengumpulkan uang tidak ia imbangi dengan keseriusannya menjaga kesehatan. Padahal keluarga kami punya warisan yang bersifat  “kutukan” yaitu penyakit Diabetes dan Tekanan Darah tinggi. Untuk generasi kami saya bersama kedua saudara perempuanku sama-sama menderita penyakit Pra Diabetes semenjak awal usia 40 tahun. Sangat beruntung semua saudara lelakiku hingga kini tidak terdeteksi terserang penyakit ini.

Beberapa tahun lalu sikap kakak terhadap hidup mulai berubah. Ia merasa sudah tiba waktunya memetik hasil kerja kerasnya puluhan tahun. Oleh karena itu ia berinisiatif membelikan anak-anaknya mobil agar bisa lebih leluasa menikmati akhir pekan. Gemar mengajak mereka melakukan wisata kuliner. Mencicipi beragam makanan enak yang semenjak kanak-kanak tidak pernah ia nikmati.

Sayangnya perilaku semacam ini justru menjadi bumerang bagi kesehatannya.

Akibat pola makannya yang tak terkontrol berulang kali kadar gula darahnya meluncur hingga ke angka 900. Beberapa kali terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit.

Minimnya kesadaran medis serta sifatnya yang keras kepala membuat anak-anaknya kewalahan menolong sang ibu mengatasi efek dasyat penyakit Diabetes yang mulai menggerogoti dan merusak organ-organ tubuh penderitanya secara masif. Kondisi kesehatan kakak jatuh ke titik nadir tatkala ginjal dan hatinya tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Tubuhnya membengkak. Ia sering menggigil kedinginan.

Wanita tangguh dalam hidupku tersebut harus menyerah terhadap takdir. Tanggal 26 Oktober 2023 pagi kakak kembali ke pangkuan Sang Pencipta setelah sekian lama dirawat dengan sepenuh hati oleh kedua anaknya.

Suatu ketika dulu burung Camarku pernah terbang. Untunglah setelah beberapa saat ia kembali ke sarangnya.

Kali ini untuk kedua kalinya ia terbang. Namun kini aku tidak bisa berharap ia bakal kembali. Karena ia sudah terbang terlalu jauh dan tinggi. Mengepakkan sayap mengarungi keluasan samudra serta membubung tinggi ke angkasa.

Selamat terbang burung Camarku. Selamat menikmati kebebasanmu yang abadi (fan.c)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun